Berikut literatur bacaan tambahan di hari minggu.
Salam. Lusi.-

Hadapi Anies, Mesin Istana “Agresif” Menyerang

5 Oktober 2020

Oleh: Tony Rosyid

Istana serang Anies, itu biasa. Seperti sarapan pagi. Kalau gak
nyerang, justru publik nanya: Kapan lagi ya? Tumben!

Serangan istana ke Anies sudah jadi ritual. Ini sekaligus menegaskan
posisi istana sebagai opisisi Anies. Sampai kapan? Sampai Anies tak
lagi jadi gubernur DKI dan pindah kursi di Istana.

Kali ini aktor penyerangnya adalah Mahfud MD dan Airlangga Hartarto.
Posisi Mahfud sebagai Menko Polhukam dan Airlangga Hartarto adalah
Menko Perekonomian.

Menko Polhukam dan Menko Perekonomian kok urus Covid-19 DKI? Mungkin
berbagi tugas dengan Menko Maritim. Menko Maritim urus covid-19 tingkat
nasional, Menko Polhukam dan Menko Perekonomian bagian wilayah DKI.

Kalau Menhan? Biar urus singkong saja. Ini bagian dari ketahanan
pangan. Entar kalau terjadi perang, kita buat senjata dari singkong.

Kemana Menkes? Mungkin sedang sidak ke kerumunan yang pakai masker.
Menurut beliau, ngapain pakai masker. Orang sehat gak perlu!

Kembali soal Mahfud. Menko Polhukam ini bilang: “Di DKI yang tidak ada
pilkada, justru angka infeksinya tinggi, selalu menjadi juara satu
penularannya”(2/10). Juara satu pak ya? Dapat sepeda dong…

Sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020 justru turun status dan
zona merah Covid-19, kata Mahfud lagi. Dari 45 daerah berstatus zona
merah, ada 16 daerah yang turun statusnya sehingga kini tinggal 29
daerah yang masih zona merah, lanjut Mahfud. Sementara di daerah yang
tidak ada pilkadanya, zona merah naik, dari 25 menjadi 33, kata Mahfud.
Begitu pak ya?

Data yang diungkap Mahfud mungkin benar. Yang jadi soal adalah cara
Mahfud membaca data itu. Kalau salah membaca, maka akan salah analisis
dan salah pula menyimpulkan.

Di Indonesia, kemampuan negara melakukan tes PCR secara nasional itu
sangat rendah. Hanya 1.799.563 dari total penduduk Indonesia yang
jumlahnya 271.052.473. Gak sampai 2%.

Dari 1.799.563 penduduk yang dites, 857.863 ada di Jakarta. Artinya,
48% penduduk Indonesia yang dites covid-19 itu adalah warga Jakarta.
Sisanya, yaitu 941.700 itu warga di 33 propinsi.

Penduduk Jakarta itu jumlahnya 10.944.986. Tapi telah melakukan tes PCR
sebanyak 857.863. Sementara 33 provinsi di luar Jakarta, jumlah
penduduknya 260.407.487. Yang dites PCR 941.700. Terus, gimana mau
membandingkan Jakarta dengan 33 provinsi lain? Jumlah tes PCR jomplang
banget.

Sekali lagi, 48% penduduk yang mendapatkan tes PCR secara nasional
berada di Jakarta. 52% sisanya tersebar di 33 provinsi. Wajar jika
Jakarta lebih dulu berhasil melakukan tracing terhadap warga yang
terinveksi covid-19. Kalau jumlahnya paling banyak, wajar! Karena yang
dites jauh lebih banyak. Rupanya, ini bukan masalah data dan angka.
Tapi masalah otak. Ada isinya apa gak? Hehe.

Kalau menggunakan standar WHO, dimana 1 orang dari 1000 orang perminggu
yang dites, maka tes di DKI itu 6x lipat lebih tinggi dari standar WHO.

Kalau kita menggunakan analisis mortality (tingkat kematian) karena
covid-19, dimana rate mortality global 3,3% dan rate mortality nasional
di kisaran 4%, maka rate mortality nasional jauh lebih tinggi dari rate
mortality global. Sementara mortality di DKI hanya 2,8%. Jauh lebih
rendah dari rate mortality nasional, dan sedikit lebih rendah dari rate
mortality global. Bandingkan dengan Jawa Timur 7,3%, Jawa Tengah 6,3%,
NTB 5,9%, Sumatera Selatan 5,6%, Bengkulu 4,9%, Sumatera Utara 4,2%,
Kalimantan Selatan 4,1%, Sulawesi Utara 3,9% Aceh 3,9%, Kalimantan
Timur 3,8% dst.

Kenapa tingkat kematian (rate mortality) nasional dan sejumlah daerah
jauh melampaui batas mortality global? Jawabnya sederhana: karena
penduduk nasional yang dites masih terlalu amat sedikit. Jauh dibawah
standar global Kalau jumlah penduduk yang dites covid-19 itu sama
prosentasinya dengan Jakarta misalnya, maka angka kematian gak akan
sebesar itu. Kalau toh selisih, gak akan jauh dari angka kematian
global.

Masalahnya, daerah punya dana gak untuk melakukan tes seperti yang
dilakukan Anies di Jakarta? Atau dananya masih ngendap di kementerian
keuangan? Gimana mau memperbanyak jumlah tes PCR jika gak punya dana?
Ini masalah tersendiri.

Jadi, data kematian (mortality) di berbagai wilayah Indonesia di atas
rate mortality global 3,3%, bahkan di atas 7%, jangan dibaca bahwa
masyarakat di luar DKI itu lebih rentan mati. Belum tentu! Penyebabnya
bukan karena meraka kurang gizi, banyak penyakit, daya tahan tubuhnya
lemah. Tidak! Apakah karena kepala daerahnya yang gak pecus atau gak
serius? Bisa iya, bisa enggak.

Tapi, faktor yang pasti adalah karena jumlah penduduk yang dites jauh
di bawah jumlah standar global. Ini juga menunjukkan bahwa banyak
sekali orang Tanpa Gejala (OTG) yang belum mendapat tes PCR. Dan tanpa
disadari, mereka terus menebar dan menjadi agen virus ke orang lain.
Sesungguhnya ini yang akan memperpanjang masa pandemi di Indonesia.
Makin kecil jumlah populasi yang dites, maka akan makin lama negeri ini
hadapi pandemi.

Lagi-lagi, ini diantaranya terkait soal kesungguhan dan kemampuan
menyediakan anggaran, baik daerah maupun pusat. Sayangnya, hanya 87,5 T
dari anggaran covid-19 yaitu 905 T yang dipakai untuk tangani
kesehatan. Kurang dari 10%. Sisanya? Silahkan tanya ke Abu Janda dan
Ade Armando.

Uniknya, ada yang menyerang Anies soal anggaran ini. Katanya, 10 T
anggaran covid-19 di DKI, hasilnya banyak yang terpapar. Ini “goblok
kok yo nemen”. Justru anggaran itu diantaranya digunakan untuk
melakukan deteksi sebanyak mungkin warga yang terinfeksi. Setelah
mereka ketahuan positif, segera ditangani agar penyebaran terkendali
dan pandemi cepat selesai. Banyak daerah gak mampu ngikutin langkah
cepat dan agresif Jakarta diantaranya karena keterbatasan anggaran.

Jika kemampuan anggaran sama besar, dan prosentase populasi yang dites
kurang-lebih sama jumlahnya dengan Jakarta dan kota-kota lain di dunia,
maka angka terinveksi covid-19 di banyak daerah pasti akan naik tajam.
Sebaliknya prosentase kematian akan berangsur turun.

Nah, data di atas hanya dipahami oleh mereka yang otaknya lurus. Waras
maksudnya. Kesimpulanya, cara membaca yang benar akan melahirkan
kesimpulan yang benar. Cara baca yang salah akan membuat kesimpulan
salah. Kecuali, memang ada niat untuk membaca dan menyimpulkan dengan
salah. Ya, silahkan tanya ke istana.

Jakarta, 4 Oktober 2020.***

Penulis merupakan Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

Kirim email ke