-- j.gedearka <j.gedea...@upcmail.nl>
https://mediaindonesia.com/read/detail/357044-partai-dan-pelembagaan-politik Sabtu 31 Oktober 2020, 03:05 WIB Partai dan Pelembagaan Politik Thomas Tokan Pureklolon Dosen Universitas Pelita Harapan | Opini Partai dan Pelembagaan Politik Dok. Pribadi DALAM ilmu politik, salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami lebih jauh perkembangan partai politik (parpol) di Indonesia ialah melakukan kajian tentang pelembagaan yang telah berlangsung lama di dalam suatu parpol. Makna utama dalam pelembagaan parpol yang dimaksud ialah sebuah proses politik dalam pemantapan parpol, baik dalam wujud perilaku yang terpola maupun dalam sikap yang sering muncul secara reaktif dalam perilaku politik (political behavior) yang selalu berpengaruh langsung terhadap budaya politik (political culture) seseorang. Dengan kata lain, problem utama tentang pelembagaan politik ialah sebuah sisi lain dari logika deontik yang selalu saja secara langsung berurusan dengan konsep-konsep kewajiban, permisibilitas dan nonpermisibilitas, ataupun suatu keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam suatu sistem yang koheren atau berkesinambugan yang telah ditetapkan setiap partai politik. Seluruh penetapan apa pun di dalam partai politik kini sebetulnya menjadi pedoman operasional partai, dalam seluruh perilaku politiknya yang terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi partai di mata publik. Perilaku semacam ini selama ini terendap menjadi lingkaran budaya yang hadir untuk merespons sekaligus sebagai jalan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi publik dalam pengertian luas yang mencakupi kepentingan segenap warga negara. Di sinilah, perilaku politik di setiap proses politik dari setiap parpol bisa menunjukkan sosoknya secara terang-benderang di mata publik. Perilaku dan proses politik Perilaku politik suatu bangsa sangat terkait dengan landasan filosofi negara beserta evolusi organ-organ kenegaraan. Selain itu, peran pemerintah yang dapat disebut sebagai aktor politik sentral, partisipasi dari warga negara, ditambah lagi dengan media massa yang terus mengembuskan isu-isu politik (political issues) dalam membentuk pendapat umum. Perilaku politik ini sangat menyatu dengan budaya politik baik dalam klasifikasi budaya politik yang terus menekankan aspek homogenitas atau uniformitas berbagai kebudayaan politik. Dengan demikian, sistem politik yang secara dominanlah merupakan cerminan kebudayaan partisipan warga negaranya. Jadi, antara perilaku politik dan budaya politik terjadi semacam proses individuasi politik yang mengemuka sebagai bagian langsung dalam perilaku politik setiap warga negara. Kedua hal ini, perilaku politik dan budaya politik, terjadi koeksistensi (berdampingan) dalam proses politik yang jika dikenali dan dijalankan dalam perilaku politik di dalam sebuah negara, tentu bisa berdaya ledak tinggi, baik ke dalam negeri sendiri ataupun secara keluar dalam relasinya dengan negara lain. Kekuatan sebuah proses politik antarnegara bisa terjadi secara unik dan dapat memperluas jangkauan pengaruhnya terhadap negara lain secara mondial. Hal itu tecermin seperti dalam salah satu tesis dasar dari tokoh politik dunia, Mahatma Gandhi, yang mengatakan the weak can never forgive. Forgiveness is the attribute of the strong. An eye for eye only ends up making the whole world blind. Konteksnya ialah seorang lemah tidak dapat memaafkan. Kemampuan untuk memaafkan hanyalah ada pada mereka yang kuat. Bila pencungkilan mata dibalas dengan pencungkilan mata, seluruh dunia akan menjadi buta. Dengan memaafkan, kita memperoleh energi yang luar biasa. Energi itu pula yang kemudian menjadi kekuatan kita yang bisa terus menambah semangat dan daya kita untuk terus berjuang demi kebajikan dengan cara yang bajik pula (dalam Thomas Tokan Pureklolon, Perilaku Politik, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2020: 200-2001). Proses pelembagaan politik di dalam setiap partai selalu saja melewati dua aspek utama yang selalu saja hadir, yakni di satu pihak aspek perilaku politik yang selalu saja muncul secara internal di dalam negara sendiri. Hal itu yang akan melahirkan tokoh-tokoh sentral dalam sebuah negara yang tentu tidak lepas dari perjuangan politiknya di dalam dan melalui parpol. Di lain pihak, terdapat aspek eksternal di luar negara dalam hubungan secara langsung antarwarga negara dan juga aspek struktural-kultural, yang bersifat tetap dan terus mengikat menjadi garis perjuangan partai. Jika kedua dimensi itu dipersilangkan secara tepat dalam perpolitikan di dalam sebuah negara, akan terdapat bentukan baru yang sangat terpadu. Dalam ilmu politik lahirlah hukum kerja sama dalam permainan politik (political game) yang harus diikuti sebagai tonggak dan pedoman arah yang disebut dengan nama kompas. Ada kompas moral (memandang ke atas) dalam artian pelembagaan partai yang bisa menjadi hebat kalau sejalan dengan integritas tertinggi dengan selalu memandang ke atas. Ada juga kompas intuitif (melihat ke dalam) dalam artian bahwa pro blem kelembagaan politik dapat menjadi sukses kalau adanya semangat dan keyakinan sejati yang datang dari dalam. Jadi, bersifat refl ektif. Kompas yang berikutnya segera menyusul ialah kompas historis, bahwa problem tentang pelembagaan politik yang baik, kalau dapat menyelami pernyataan ini, yakni ‘jangan singkirkan pagarnya sebelum Anda tahu mengapa pagar itu ada di sana’. Dengan kata lain, kompas historis (lihatlah ke belakang) menjadi perhitungan utama dalam pelembagaan politik yang dikatakan sukses kalau dibangun atas dasar masa lalu yang baik. Segera sesudah itu dalam pelembagaan politik yang sukses kalau adanya kompas arah (ajakan untuk memandang ke depan). Seorang pujangga, Hendry David Thoreau, menulis, ‘Kalau seseorang maju dengan penuh percaya diri ke arah impian-impiannya, dan berupaya menjalankan kehidupan yang telah dibayangkannya, ia akan menemukan sukses secara tak terduga di waktu-waktu biasa’. Inilah yang disebut sebagai sebuah visi, dengan sebutan kompas visionary, yakni melihat jauh ke depan melampaui keadaan-keadaan sekarang dan kelemahan-kelemahan yang sudah teridentifikasi secara tepat kembali pada partai dan pelembagaan politik. Sebetulnya keseluruhan ‘kompas’ di atas menyiratkan sebuah premis mayornya ialah spirit pembangunan politik kebangsaan Indonesia yang mestinya menyiratkan kompas perjuangan politik yang mengacu pada tiga hal utama. Pertama, sense of belonging yang memiliki karakter rasa memiliki bangsa. Kedua, sense of participation yang terpanggil secara terusmenerus untuk terlibat dan mau berpartisipasi dan mau berbagi. Ketiga, sense of responsibility dengan setiap anggota partai dalam menjalankan aktivitas kelembagaan mestinya terus didorong sebuah semangat yang tak pernah pudar, yakni rasa tanggung jawab di setiap aktivitas politiknya dan diterima sebagai properti utamanya. Mental dan kapasitas seperti itulah bisa menjadi garansi untuk menjaga dan menata hidup bersama, dalam upaya penguatan kelembagaan politik, baik di internal partai atau antarpartai politik. Sebuah pertanyaan pokok yang terurai cukup panjang dan jawabannya bisa ada pada setiap warga negara dan juga para politikus yang adalah pemilik perilaku politik, yakni dalam posisi mana setiap kompas itu harus dimaknai dan diberi nilai secara tepat, yang kemudian dirumuskan secara formal dalam aksentuasinya secara tepat pula? Harapan utamanya ialah upaya pelembagaan menuju kebaikan bersama (bonum commune), bisa bermaanfaat bagi setiap warga negara pada umumnya, atau pun bagi politikus pada khususnya dalam urusan pelembagaan partai. Sebagai afirmasi tentang parpol dan pelembagan politik; periksalah kompas kita masing-masing. Pada aras mana, setiap individu bisa berpijak, entah sebagai warga negara atau terutama sebagai politikus. Tentu kebaikan bersama tetap terus dijunjung tinggi dalam upaya pelembagaan politik di sebuah negara, dan tetap berada pada bobotnya kerja parpol setiap hari, di setiap masa. TAGS: # Partai Politik Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/357044-partai-dan-pelembagaan-politik