Dokter orang Gorontalo?
 
Coba di ingat2, ada di Gorontalo dokter seperti cerita dibawah ini?
 
Wass.OH
 
-----Original Message-----
From: HMO-Peliharakesehatan [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Sunday, August 26, 2007 11:50 AM
To: undisclosed-recipients:
Subject: Fwd: Mengapa Mau Jadi Dokter?
 
Mengapa Mau Jadi Dokter?
 
Menjadi dokter pada hakikatnya mengabdikan ilmu, melayani pasien dan
bukan menjadi kaya. Kaya itu adalah "efek samping" dari profesi yang
jasanya mandapat imbalan berupa uang.
 
Anda dan saya pastri ingat dulu jika anak-anak ditanya kalau sudah besar
mau jadi apa? Umumnya jawabnya seragam kalau tidak jadi dokter ya
insinyurpun boleh. Sedikit sekali anak yang bilang mau jadi hakim, jaksa
dan pengacara atau polisi. Persepsi di masyarakat memberi sugesti kepada
anak-anak bahwa hidup menjadi dokter itu enak dan sangat dihormati.
 
Masih belum lepas dari ingatan saya awal 1974 ketika pekan orientasi
berlangsung, saya dan 40 calon mahasiswa kedokteran ditanya satu-persatu
oleh mahasiswa senior. "Kenapa kamu pilih kedokteran? " atau   "Mengapa
mau menjadi dokter?"  Jawabnyapun hampir-hampir sama walaupun bervariasi
" Ingin hidup layak", "Saya lebih menguasasi biologi dari matematik",
"Ingin menjadi dosen","Dokter adalah profesi yang mulia", "Lebih mudah
cari pekerjaaan", "Mandiri tidak tergantung perusahaan" dan lain-lain.
Saat itu, tidak ada yang berani bilang "ingin dapat duit atau menjadi
kaya" ...
 
Hampir tigapuluh dua tahun telah berlalu, dan mungkin hampir semuanya
sudah tidak ingat lagi sumpah Hipokrates yang rutin diucapkan layaknya
"Sumpah Pemuda" di setiap perayaan HUT Kemerdekaan Indonesia. Bedanya
"Sumpah Pemuda" diucapkan atau didengar setiap tahun, sedangkan  "Sumpah
Hipokrates" hanya sekali seumur hidup. Yang lebih parah lagi, banyak
juga yang sudah lupa dengan wajah atau nama kawan seangkatan. Sebagian
disebabkan banyak dokter yang sudah berubah bentuk. Kalau dulu kurus
kerempeng dan gondrong, sekarang sudah botak dan ubanan dan bobot
bertambah secara signifikan karena menu berubah sesuai dengan
peningkatan status kekayaan dan kurang olah raga. Mukapun menjadi bulat
bak moon face karena efek samping steroid. Banyak di antaranya sudah
tidak bisa lagi menghitung imbang masukan dan pengeluaran energi,
sehingga tahun demi tahun menumbun lemak dalam dinding perut dan
omentum. Dengan kata lain "We eat insensibly".
 
Kawan-kawan banyak yang sudah menjadi dokter spesialis sukses dan
tinggal di rumah mewah dengan anggota keluarga masing-masing bawa mobil
ke kantor atau ke sekolah, ada yang jadi dokter spesialis kebidanan dan
punya Rumah Sakit Bersalin sendiri dengan pasien ibu hamil dari golongan
ekonomi papan atas. Ada yang menjadi ahli radiologi dan punya apotik
besar di luar kota dan sanggup menyekolahkan 3 anaknya di Australia.
Rata-rata sudah menjadi spesialis mulai dari spesialis bedah digestif
sampai spesialis akupungtur. Hanya satu dua yang menjadi dosen dg
tambahan embel-embel MSc atau PhD dan sampai sekrang masih naik angkutan
umum untuk berangkat ke fakultas. Ada juga yang drop-out, namun sudah
menjadi marketing director atau sales director di perusahaan farmasi.
 
Pendek kata, tidak salah jika ketika orientasi mahasiswa dulu banyak
yang beranggapan bahwa kuliah di fakultas kedokteran pasti lebih
berhasil, walaupun tidak berani menyebut secara eksplisit.
 
Bagaimana dengan prestige & Kepercayaan Masyarakat?
 
Dulu sejak awal kuliah kodokteran, dosen dan mahasiswa senior
menyebutkan bahwa fakultas kedokteran adalah yang paling favorit,
dibandingkan fakultas-fakultas lain karena persyaratan masuk lebih sulit
dan saringannya lebih ketat. Di samping itu, jenis jurusan di perguruan
tinggi masih sedikit. Sebagai contoh, sampai tahun 1990 di Indonesia
belum berkembang jurusan ilmu komputer. Tidak heran jika rasa bangga
menjadi dokterpun terbawa-bawa sampai ketika tamat kuliah dokter,
terlebih setelah menjadi spesialis. "Ingin dihormati" adalah naluri
paling mendasar dari manusia. Begitupula dokter. Sayangnya banyak yang
ingin dihormati berlebihan tidak hanya oleh pasien, tetapi juga bukan
pasien. Banyak dokter dengan status guru besar, enggan atau malas
berkomunikasi kalau hanya dipanggil "Dok" oleh pasien atau profesi lain.
Padahal gelar "Profesor" itu hanya signifikan dalam komunikasi mereka
dengan mahasiswa atau kolega. Yang diharapkan pasien adalah si profesor
bisa menyembuhkan penyakitnya. Itu saja! Yang lebih parah lagi, ada juga
mereka yang ketika masih menjadi dosen biasa berperilaku "humble" atau
rendah hati, tetapi ketika baru dilantik menjadi guru besar mendadak
sontak menjadi "sangat berwibawa" dan menjaga jarak dengan
kenalan-kenalan yang selama ini akrab. Padahal dengan status
"kegurubesaran"nya itu belum tentu menguntungkan atau membawa berkah
bagi orang lain. Keluarganya tentu bangga, jika ayah atau ibu menjadi
profesor atau dokter, tetapi orang lain merasa biasa-biasa saja.
 
Mengapa demikian? Di era teknologi informasi ini, banyak profesi lain
yang dianggap sama atau bahkan lebih sukses daripada profesi dokter.
Yang paling jelas saja, sekarang posisi pengacara atau "lawyer" kondang
terasa berada di atas angin dibandingkan "super" spesialis kedokteran,
apalagi dengan banyaknya isu malapraktik dan diberlakukannya
undang-undang praktek kedokteran. Yang diberlakukan Oktober 2005 Lebih
aneh lagi, dokter yang "kemarin" terlihat garang dan berwibawa kok
tiba-tiba merasa didzalimi!!
 
Mengutip pernyataan tokoh kedokteran terkemuka, saat ini kepercayaan
masyarakat kepada dokter (di Indonesia) sudah terkikir habis. Tidak
salah juga kalau dikatakan sebabnya adalah ulah dari perilaku dokter itu
sendiri. Berkolusi dengan pabrik obat sudah banyak diketahui, tetapi
sukar diberantas. Ini salah satu penyebab pemberian resep yang tidak
rasional, abuse obat-obat mahal tanpa indikasi jelas. Si pabrik obatpun
semakin menggila merusak akhlak dokter. Etika promosi obat dilanggar
terus. Di negara "kapitalis" sekalipun ada etika atau code yang mengatur
tatacara promosi obat yang benar, IFPMA(International Federation of
Pharmaceutical Menufacturers and Associations) code. Etika atau code ini
merupakan rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh perusahaan farmasi
multinasional. Di Indonesia, rambu-rambu ini diobrak-abrik karena tidak
ada jerat hukumnya, dan  dokterpun sudah merasa enak karena terbius oleh
servis dari pabrik obat. Namun demikian, masih banyak juga pabrik obat
yang patuh terhadap code ini.
 
Dewasa ini, jangankan mendapatkan resep yang "bijaksana" , yang
"rasional"pun sudah susah. Karena, tujuan utamanya adalah menyembuhkan
gejala dengan cepat. Tidak masalah pasien diberi sekian macam obat dg
kategori sama, dua antibiotik sekaligus. Yang penting batuk atau pilek
si anak cepat sembuh. Resistensi kuman urusan nanti. Ketika kuliah
belajar obat ke dosen farmakologi di tingkat 3. Sesudah tamat kuliah dan
menjadi spesialis, belajar obat dari medical representative (detailer)
dan MIMS yang hanya memuat abbreviated product information. Jadi, tidak
aneh jika textbook menganjurkan profilaksis antibiotik bedah hanya pada
pasien-pasien risiko tinggi untuk infeksi dan itupun diberi sefalosporin
generasi I. Di sini, sefalosporin generasi III dan IV pun dieksploitasi.
Antibiotik yang menurut anjuran asli dari pabrik digunakan sebagai last
resort, di sini menjadi garis pertama. Lebih hebat lagi, mungkin anda
tidak tahu bahwa sales penjualan antibiotik intravena generik dari
sebuah perusahaan farmasi bisa mencapai 300 milyar rupiah per tahun!
 
Kalau anda ikut menghadiri simposium kedokteran di luar negeri, sebagai
contoh sederhana Singapura, Korea, Jepang para peserta betul-betul
serius dan lebih banyak berada di ruang simposium. Lama sedikit anda di
pameran (exhibition booth), bisa tidak kebagian kursi di ruang
simposium. Bagaimana dengan di Indonesia? Kita sudah tahu sama tahu,
acara-acara kongres nasional (KONAS) lebih banyak dimanfaatkan sebagai
ajang untuk reuni, ketemu kawan lama dan sebagian besar peserta lebih
banyak berada di pameran ketimbang dalam simposium. Yang lebih memalukan
lagi, di sebuah stand pameran pernah ada seorang dokter wanita sampai
terluka tangannya karena berebut payung gimmick!!
 
Jadi dengan mentalitas seperti ini bagaimana dokter bisa memulihkan
kepercayaan masyarakat atau pasien pada khususnya, terhadap kepiawaian
dokter sebagai penyembuh?
 
 
 
 

Reply via email to