Provinsi Marsa Matruh adalah salah satu provinsi terbesar yang ada di  Republik 
Arab Mesir. Ia berada di sebelah Barat Laut Mesir, dengan luas  166.563 KM 
persegi. Penduduknya saat ini berjumlah 318.878 jiwa. Marsa  Matruh dikenal 
dengan objek wisatanya yang berlimpah. Ada objek wisata  peninggalan sejarah 
dan peradaban kuno, seperti tempat peribadatan  Ramsis II (yang ditemukan oleh 
tentara Libya tahun 1942), tempat  pemandian Cleopatra, dan bekas peninggalan 
dan kuburan orang-orang  Yunani. Ada objek laut yang indah; seperti pantai 
Ajibah (yang digelari  surga laut tengah), pantai asmara, pantai Mubarak dan 
pantai Romel. Ada  juga objek wisata flora dan fauna, yang menyajikan panorama 
tanaman  langka, kijang, kelinci hutan dan beragam jenis burung. Tidak  
ketinggalan objek pengobatan alami, seperti yang ada di kawasan Siwa.  Para 
wisatawan banyak yang berkunjung ke sana, menyewa penginapan dan  menghabiskan 
banyak uang untuk mendapatkan ketenangan suasana yang 
 benar-benar dapat dirasakan di sana.
  
  Selain corak warna wisata  yang begitu indahnya, ada sisi kehidupan lain yang 
tak kalah menarik  perhatian. Kehidupan orang-orang Badui yang mendiami padang 
pasir  Matruh menjadi satu corak kehidupan yang menarik untuk dicermati. Kali  
ini, saya ingin berbagi cerita tentang perkampungan orang badui yang  berada di 
Marsa Matruh itu. Kesempatan liburan musim panas tahun ini  adalah kali keempat 
saya bisa berkunjung ke kilo arba'ah, tempat dimana  sebuah keluarga masyarakat 
badui tinggal. Kisah tentang masyarakat  Badui adalah kisah tentang kelompok 
masyarakat yang tampak tenang  menjalani hidup, bersahabat dan selalu kelihatan 
riang gembira. 
  
  Dari  Alexandria ada dua jalan untuk mencapai Matruh. Pertama, ‘thariq bahri’ 
 yang sepanjang jalannya adalah pesisir pantai. Kedua, ‘thariq shahrawi’  yang 
membelah padang pasir di kanan kirinya. Di kawasan jalan padang  pasir ini, 
dari kawasan khathathbah (setelah Alexandria) sampai kawasan  Sallum (dekat 
perbatasan Mesir-Libya) orang-orang badui ini tinggal.  Ketika menyebut orang 
badui, kita tidak usah membayangkan seperti  badui-badui di zaman Rasul yang 
hidupnya di pegunungan, nomaden,  mempunyai sifat yang keras dan semacamnya. 
Yang dimaksud dengan ahlul  badawa ini, seperti penuturan Syekh Abdussalam, 
seorang yang ditokohkan  di kalangan orang Badui di Kilo arba'ah, ialah mereka 
yang tempat  tinggalnya berada di tengah-tengah padang pasir dan berketurunan 
arab.  Mereka adalah warga keturunan arab hijaz yang datang ke Mesir bersama  
tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Amr Bin Ash.
  
  Cerminan  masyarakat ahlul Badâwâ adalah cerminan sebuah kehidupan yang 
tenang,  tentram, penuh persahabatan dan mempunyai ikatan kekeluargaan yang  
kuat. Untuk yang terakhir ini, mereka mempunyai kawasan-kawasan  keluarga 
masing-masing. Satu kampung itu biasanya ditinggali oleh satu  keluarga dengan 
satu mesjid tempat mereka shalat berjamaah.
  
  Orang-orang  badui ini mempunyai kebiasaan senang memuliakan tamu. Mereka  
bersungguh-sungguh melayani dan memberi makan tamu yang datang  berkunjung, dan 
mereka bahagia melakukannya. Kebiasaan ini adalah  kebiasaan terpuji yang sudah 
ditekankan oleh Nabi sejak beberapa abad  yang silam. Kebiasaan memuliakan tamu 
inilah yang menjadi salah satu  sebab sehingga Nabi Ibrahim AS diangkat menjadi 
khalilullah.
    
  Dalam  hal komunikasi sehari-hari, mereka menggunakan dialek bahasa arab  
khusus yang berbeda dengan dialek bahasa arab yang digunakan di Kairo  dan 
sekitarnya. Ammiyah mereka mirip dengan ammiyah Libya dan Yaman.  Huruf ‘qaf’ 
dalam kata ‘Qamus’ misalnya, dibaca ‘gha’ menjadi ‘Gamus’.  Berbeda dengan 
ammiyah kairo yang membacanya menjadi ‘Amus’. Begitu  pula dengan huruf 'jim', 
mereka tetap membacanya sesuai aslinya. Mereka  berbicara dengan cepat yang 
hampir-hampir tidak dapat saya tangkap  dengan baik. Saat kami tiba, mereka 
biasanya menyambut kami dengan  ucapan ya hala-ya hala (ahlan-alan) atau ya 
marhab-ya marhab  (marhaban-marhaban) yang berarti selamat datang. Mereka juga 
mempunyai  semacam ‘mantra’ yang digunakan untuk memanggil burung agar mendekat 
 dan masuk ke jebakan yang mereka pasang atau yang menjadi sasaran  tembak 
ketika berburu, seperti ucapan lûtha-lûtha-lûtha, salwu alai  dalwu alai, dan 
yang semacamnya. Mereka terbiasa dan pandai membaca  kondisi alam
 melalui isyarat dan peta bintang yang terbentang di langit  yang kelam. 
  
  Hampir tidak kelihatan ada perempuan yang  berjalan-jalan di pasar atau di 
jalan jalan desa. Kalaupun ada, itu  hanya sebagian kecil dan menggunakan 
pakaian yang tertutup rapat.  Sebagian besar dari mereka bercadar. Para kaum 
hawa lebih banyak  berdiam di rumah. Adalah sebuah keaiban menyebut nama 
perempuan dalam  pembicaraan umum, apalagi terus terang menyatakan kecintaan 
kepadanya. 
  
  Bila  sudah ada keinginan dan kemampuan, seorang pemuda bisa segera  
melaksanakan akad nikah. Pernikahan di sana biasanya antar keluarga.  Antara 
suami dan istri masih ada hubungan darah namun bukan hubungan  mahram. 
Misalnya, seorang menikah dengan anak pamannya atau bibinya.  Kebanyakan mereka 
beristri lebih dari satu dan itu sudah menjadi hal  yang biasa. Setiap istri 
disediakan rumah sendiri-sendiri yang tidak  jauh dari rumah istri yang pertama.
  
  Karena pernikahan ini  pernikahan antar keluarga, maka setiap orang itu 
mengenal seluruh  anggota keluarganya. Mereka juga tau urutan nasab dan 
silsilah  keluarganya sampai datuk mereka yang ke sekian.
  
  Kebanyakan dari  orang-orang Badui ini pernah menggembalakan kambing. 
Sebagian dari  mereka bahkan menggembalakan Onta. Kegiatan menggembala ini 
nampak  menjadi sebuah keharusan dan juga kebahagiaan bagi mereka. Mereka  
berdalil bahwa para Nabi dulu sebelum diangkat menjadi utusan Allah,  profesi 
mereka adalah penggembala kambing. 
  
  Kehidupan warga  badui adalah kehidupan yang tenang, tentram dan penuh 
kekeluargaan.  Disaat malam menjelang, maka suasana menjadi begitu tenang dan 
senyap.  Hanya desiran angin yang terdengar mengiringi berlalunya waktu.  
Keheningan ini pecah oleh kumandang azan dari mesjid yang terdekat. Dan  
lihatlah, orang-orang yang berada di sekitar mesjid itu  berbondong-bondong 
dengan segera menyambut panggilan tuhannya. 
  
  Orang-orang  Badui ini begitu akrab dengan alam dan puas dengan kehidupan 
yang  cukup. Inilah kiranya, seperti kata Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya,  
yang membuat orang-orang badui itu lebih dekat kepada fitrah dan lebih  mudah 
menerima kebenaran.
  
  Indahnya kehidupan warga badui membuat  seorang kawan yang ikut bersama 
ketika itu bergumam: “ah, seandainya di  Matruh ini ada Universitas Al-Azhar, 
saya milih disini dan tinggal  bersama orang-orang badui”.

Umarulfaruq Abubakar 
   

       
---------------------------------
Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows.
Yahoo! Answers - Check it out.

Kirim email ke