Maaf... kalo boleh ingin belajar lebih banyak dari rekan berdua ataupun rekan lain ttg isu ini.
membaca tulisan rekan berdua saya mencoba meraba fenomena tsb dgn konsep yang sdg saya coba pelajari "social capital for collective action" ;trustworthiness, network dan institution to produce trust (E. Ostrom and TK Ahn 2003). Krn sy belajarnya u watershed partnership (Limboto Watershed lho study case-nya), apakah konsep ini bisa juga diberlakukan pada kasus kesadaran kolektif nasional?. artinya.. klo belum ada saling kepercayaan (trust) antara masy - pemerintah (stakeholders dlm arti luas) yang dibentuk dr 3 unsur social capital di atas, mungkin orang masih akan pikir2 diajak berjamaah dan bertanggung jawab kolektif; "kalo sy jujur ...orang lain tdk..ya sama saja, malah sy rugi g kebagian.. mending ikut g jujur sekalian". mohon pencerahan. Sebagai PNS, sy sendiri berpendapat reformasi biroraksi sbg slh satu kunci meraih kepercayaan rakyat (jujur sayapun masih jauh dari sempurna baik dari dalam diri maupun terkondisikan lingkungan.. tapi sementara sekolah ini..rasanya bisa lebih jelas melihat). Terus terang awal ketertarikan saya meneliti di GTO pun berawal dari penerapan reformasi biroksi yg dimulai dari konsep TKD dan aturan terkaitnya. Bila Allah SWT mengijinkan bisa lanjut S-3, semoga sy masih bisa belajar banyak dan meneliti ttg pengelolaan DAS Limboto, ditambah lokasi lain di indo dan jepang. Mohon doanya saja. Mohon maaf bila kurang berkenan. Salam dari Sapporo Gun Gun --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, "Elnino van Gorontalo" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Sekali lagi, bang Hamka menunjukkan kelasnya. Dia tidak mau terjebak > dengan wacana "ecek-ecek" yang sering muncul serta menjadikan kita > seperti berdebat ala warung kopi. Bang Hamka lebih tertarik dengan > menulis artikel yang paradigmatik, visioner, bahasanya enak dan > cerdas. Kita tunggu tulisan bang Hamka selanjutnya. > > Btw, untuk bang Hamka, > Kadang saya berpikir yang me-nasional itu cuma mental korupsi, bang. > Perilaku yang bersih dari korupsi sebetulnya ada dan mengakar di > daerah-daerah, tetapi kemudian mental korup itu dijangkitkan oleh > orang-orang jakarta dan jadilah korupsi sebagai "endemi" di > indonesia. > > Sebagai contoh, > Sewaktu provinsi Gorontalo diperjuangkan, mana ada orang/pejuang > yang korup dana perjuangan? Setelah penjabat gubernur Tursandi Alwi > dilantik, tidak pernah saya mendengar ada orang Gorontalo yang > korupsi APBD. Baru setelah pemerintahan definitif mulai berjalan, > interaksi-interaksi dengan pemerintahan pusat (orang Jakarta) mulai > intensif, maka mulailah penyakit korupsi itu melanda Gorontalo. > Mulai dari kasus 5,4 Milyar DPRD PRovinsi sampai kasus 16 Milyar > Ismet Mile. Seluruh daerah lain juga kayaknya begitu. Daerah yang > masih bermental bagus tapi kemudian dirusak oleh orang-orang Jakarta. > > Hipotesis saya, kalau kita bicara "nasionalisme" hari ini, bang > Hamka, maka yang palit tepat untuk menyatukan kita adalah mental > korupsi itu. Pendek kata, nasionalisme baru akan muncul kembali > kalau kita menggaungkan, "Mari bangun nasionalisme dengan korupsi > ramai-ramai." Mungkin itu akan lebih efektif untuk mempersatukan > rakyat Indonesia. Mungkin itu yang akan membuat kita lebih solid, > lebih kompak dan senantiasa bergandengan tangan secara "nasional". > > Hehehe.... > > Elnino > > > --- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, "hamka_hn" <hamka_hn@> > wrote: > > > > > > KESADARAN KOLEKTIF NASIONALISME > > > > > > > > Oleh: > > > > Hamka Hendra Noer > > > > Ketua Umum PP Gerakan Pemuda Islam dan > > > > Kandidat Doktor Ilmu Politik, Universitas Kebangsaan Malaysia > > > > > > > > Koran Seputar Indonesia, 31 Oktober 2007 > > > > Genap 79 tahun bangsa Indonesia memperingati heroisme > kaum > > muda. Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 merupakan pernyataan > > eksplisit lahirnya kebangsaan Indonesia. Spirit kebangsaan yang > > diusung itu diikrarkan dalam trilogi kebangsaan, satu tanah, satu > > bangsa, dan satu bahasa Indonesia. Tampak spirit historis ini, > > memperlihatkan adanya kesadaran akan semangat persatuan yang > ditopang > > praktik solidaritas dan kebersamaan. > > > > Pertanyaan konstruktif kemudian atas peristiwa historikal > ini > > adalah, sungguhkah makna kebersamaan yang juga menjadi jargon > > politik kampanye SBY-JK, memberi warna komprehensif dalam hidup > > berbangsa dalam konteks saat ini? Apakah praktik solidaritas > hidup > > berbangsa dan bernegara diberi porsi yang "lebih"? Tulisan > > pendek ini akan mencoba menelahnya, walaupun belum menjadi > acuan > > untuk menakar tentang kesadaran kolektif nasionalisme suatu > bangsa. > > > > Mitos Integratif > > > > Kata "Indonesia" semula hanya digunakan para ilmuwan > > Belanda dalam mengajar mahasiswanya, sehingga mahasiswa > Indonesia > > saat itu telah terbiasa dengan kata tersebut dalam > studinya. > > Ketika mencari nama baru untuk sebuah negara, > diambillah kata > > "Indonesia" dan ditanamkan pengertian politik di dalamnya, > > dengan mangambil frasa "Indonesia Merdeka" sebagai slogannya. > > > > > > > > Untuk memberi penguatan pada perubahan dan untuk memperluas > > propagandanya, diterbitkan booklet yang sampulnya merefleksikan > apa > > yang akan dijadikan simbol gerakan nasionalis, yaitu sebuah bendera > > merah putih berkibar dan kepala kerbau di tengahnya. Hal ini > > mengindikasikan sebuah gerakan pemuda radikal telah lahir dan > dengan > > lantang menuntut "Indonesia Merdeka Sekarang". > > > > Ketika setelah nama Indonesia diperkenalkan, kemudian > menjadi > > bola salju yang bagaikan perekat baru dalam perjuangan melawan > > penjajah. Nama Indonesia yang semula hanya dikenal dalam > > kepustakaan etnologi telah ditingkatkan menjadi sebuah > identitas. > > Nama Indonesia telah menjadi identitas politik baru yang mengatasi > > pengertian dan batas- batas suku bangsa di Indoneisa. > > > > Elite Indonesia baru yang semula hanya pandai berbahasa daerah dan > > bahasa Belanda melihat peluang kemungkinan dipakainya bahasa > Melayu > > sebagai instrumen komunikasi politik. Peran para jurnalis > dalam > > menggunakan bahasa Melayu dalam pemberitaan telah menjadikan > bahasa > > Melayu lebih cepat diterima dikalangan masyarakat. Setelah itu, > nama > > Indonesia telah dipakai secara luas diberbagai surat kabar, > organisasi, > > dan judul karangan. > > > > Hubungan antara tokoh-tokoh Perhimpunan Indonesia di negeri > Belanda dan > > tokoh- tokoh pemuda Indonesia, seperti Sugondo Djoyopuspito dan > > Muhammad Yamin—melalui majalah—telah memberikan semangat > > baru bagi elemen gerakan pemuda di Indonesia ketika itu. > Adanya > > kemauan dari para pemuda inilah akhirnya muncul Kerapatan Pemuda I > tahun > > 1926 dan Kerapatan Pemuda II tahun 1928, yang kemudian dikenal > dengan > > Sumpah Pemuda. > > > > Nama Indonesia menjadi instrumen propaganda yang efektif, bahkan > dalam > > Sumpah Pemuda 1928, Kongres mengakui adanya bahasa, bangsa, dan > tanah > > air Indonesia. Suatu mitos baru tentang Indonesia telah terbentuk. > > > > Spirit Kebangsaan > > > > Sangat signifikan pemaknaan ulang semangat sumpah pemuda pada > kondisi > > faktual dalam hidup berbangsa saat ini. Kesignifikansi terletak > pada > > realita semakin luntur dan hilangnya spirit kebangsaan yang telah > > dirintis dan tegas diperjuangkan dalam aktifitas kaum muda > > pra-kemerdekaan Indonesia. Dengan latar belakang perbedaan suku, > > agama, budaya, dan kelas sosial, kaum muda bersatu mendeklarasikan > > semangat persatuan, kebersamaan, dan solidaritas dalam sidang > pleno > > ke-3 Kongres Pemuda Indonesia II di gedung Indonesisch > Clubgebouw, > > Kramat Raya 136. > > > > > > > > Keberanian untuk mengikrarkan kesatuan ini dilatarbelakangi spirit > hidup > > berbangsa untuk pencapaian kemerdekaan Indonesia secara > defenitif. Di > > sini egoisme kelompok dan pribadi tidak menjadi prioritas. > > Semuanya mengagendakan visi dan misi yang politis, > menuntaskan > > keterpecahbelahan bangsa akibat politik kolonial dan membangun > > kerjasama mutualisme demi terciptanya kemerdekaan dan kesejahteraan > > hidup berbangsa. > > > > Jika semangat luhur ini dibenturkan dengan kebijakan > > pemerintah saat ini yang tidak berpihak kepada rakyat, maka akan > > terlihat kontras dengan nafas sumpah pemuda. Contoh kasus, > fenomena > > keseharian yang bisa dilihat adalah, harga barang yang semakin > melambung > > sedangkan daya beli masyarakat sangat rendah. Diikuti juga > dengan > > lapangan pekerjaan yang semakin kecil, pengangguran terjadi > > dimana-mana menyebabkan angka kemiskinan semakin signifikan. > Hal > > ini kalau tidak ada solusi konkrit dari pemerintah, maka jelas > ini > > terjadi tindakan pengkhianatan terhadap spirit kebangsaan > yang > > digaungkan kaum muda sebagai perekat persaudaraan hidup > berbangsa. > > > > Kalau kita menyetir pernyataan Bung Karno, bangsa yang > besar > > adalah yang bisa menghargai jasa pahlawannya. Dalam konteks > ini > > bangsa Indonesia belum "maksimal" memberikan tempat bagi > > rakyatnya sendiri. Maka tidak mengherankan ada "fenomena" malu > > untuk mengungkapkan diri dengan identitas bangsa sebagai seorang > > Indonesia. > > > > Tanggungjawab Kolektif > > > > Diperhadapkan dengan berbagai realitas kehidupan saat ini, sudah > saatnya > > kita perlu kembali memberdayakan spirit kebangsaan sebagai > fondasi > > hidup bersama. Inilah raison d'etre hidup bersama > sebagai > > bangsa. Di saat bangsa dihimpit oleh penderitaan dan kesulitan > seperti > > inilah, semangat solidaritas dan kebersamaan hidup berbangsa > perlu di > > gelorakan kembali dalam keseharian hidup. Bukan mencari > keuntungan > > dengan menekan hak hidup wong cilik. Pada tataran realita- > empirik > > dalam hidup bersama, nilai solidaritas dan kebersamaan > yang > > telah digagas dan dicetuskan dalam sumpah pemuda, perlu > diberdayakan > > kembali jika kita tidak ingin terperangkap dalam keterpurukan dan > > ketidaksejahteraan hidup berbangsa. > > > > Seluruh anak bangsa perlu belajar dari semangat sumpah pemuda. > > Peristiwa sumpah pemuda mengajarkan kepada kita tanggung jawab > kolektif > > tentang moralitas dan kehendak luhur untuk mendahulukan > kepentingan > > bangsa yang lebih besar, bukan terperangkap pada kepentingan > pribadi, > > keluarga, dan partai politik sekalipun. Kesadaran kolektif harus > > mampu "merangsang" para anggota legislatif dan birokrasi > > untuk mengadakan pembaruan etos dan praktis politik > yang > > lebih berbasis pada kepentingan masyarakat. > > > > Rakyat Indonesia sudah saatnya keluar dari kultur tumbal dan > korban. > > Bukannya ramai-ramai para tokoh partai politik menjagokan kandidat > > presidennya, ini hanya akan "membelah" kepentingan kelompok > > masyarakat yang ada, dan ironisnya rakyat semakin termaginalkan > serta > > harga diri bangsa semakin tidak menentu. > > > > Kini saatnya, kita rapatkan barisan, bergandengan tangan, > membangun > > soliditas dan kebersamaan horizontal. Mari kita bangkit > secara > > berjamaah dan bergerak menuju penciptaan hidup berbangsa dan > > bernegara yang peka dan solider terhadap sesama anak bangsa. > > >