Gorontalo dan Geografi Masa Depan Oleh: Basri Amin
Publik Gorontalo kini sudah sekian kali diberitahu bahwa masalah listrik akan segera selesai. Kita pun bangga karena Sional (Angkatan Laut) di Leato sudah diresmikan (7/5/07) dengan harapan bahwa keamanan laut (?) kita makin terjamin. Sayang karena awal tahun 2007 kita masih terus dikejutkan dengan bencana banjir/longsor di Isimu dan Anggrek, di Kota dan Limboto. Yang agak menggembirakan karena ada berita bahwa operasi illegal logging di wilayah Gorontalo tergolong sukses (?). Di saat yang sama, kemiskinan dan pendidikan juga kembali marak dibahas sampai pertengahan 2007. Hal lain, dari beberapa pihak saya mendengar bahwa nama Gorontalo akan mengalami penyesuaian (dalam) penggunaannya dalam administrasi tata pemerintahan. Ini wajar karena "Gorontalo" sudah menjadi nama untuk provinsi kita, kabupaten dan kota. Lepas dari kenyataan historis bahwa "Hulontalo" adalah puncak pencapaian dari konfederasi "Pohalaa" secara sosio-kultural dan politik. Tapi, semangat "prestasi historis" ini jangan sampai terkikis oleh tuntuan "administrasi pemerintahan" semacam: penentuan nama daerah, pendirian kabupaten-kabupaten baru, dsb. Kini, satu hal yang terang bahwa "geografi masa depan" harus kembali kita perhatikan agar bisa melihat Gorontalo lebih jujur dan jernih. Meski, Gorontalo yang ditawarkan tulisan ini bukan semata merujuk sebuah lokasi geografis dan administratif. Gorontalo adalah sebuah konsep dalam domain pengalaman dan pikiran manusia. Begitu banyak orang yang terlibat dalam "rumah pengalaman" Gorontalo ini. Ada begitu banyak "pergulatan" kisah, nostalgia, tindakan dan paradoks yang mengitari pengalaman dan harapan setiap orang di wilayah ini, dan karena itulah cukup absah pula apabila setiap orang bisa berada pada titik yang berbeda dalam merasakan dan memahami ke-Gorontalo-an itu. "Geografi masa depan" meniscayakan wawasan teritorial di satu sisi, tapi juga mensyaratkan kawasan "pengaruh" yang diagendakan secara lintas generasi dan lintas institusi dan disadar-kerjakan dari waktu ke waktu. Tentu, lokasi geografis dapat dengan tegas dipahami dan ditancapkan batas-batasnya. Tapi, dalam hal pengalaman dan konsep, kata dan makna "Gorontalo" bisa demikian lentur, cair dan terbuka untuk setiap orang. Menentukan batas-batas cakupan emosi, harapan dan rasionalitas setiap kita tentang Gorontalo tidaklah mudah. Tidak segampang menancapkan sebuah patok tapal batas di seberang jembatan untuk membedakan batas-batas wilayah dan kewenangan yang dibagi-bagi. Kita sewajarnya makin gigih berusaha "melibatkan diri" dalam membagi pandangan optimis dan solusi alternatif dengan banyak pihak guna mempercepat kemajuan di Gorontalo. Meski kemajuan itu sendiri selalu diperbaiki ukuran-ukurannya dari waktu ke waktu, oleh semua pihak. Kehidupan masyarakat di Gorontalo akan makin kompleks. Dan kita tidak mungkin menyiapkan segalanya guna memenuhi setiap perubahan yang terjadi. Terkadang "pengendalian sosial" kita perlukan agar perubahan-perubahan (change) dan keteraturan (order) tetap bisa ditoleransi dan dikelola oleh masyarakat. Pihak pemerintah dan pranata sosial lainnya (keluarga, sekolah, agama, pasar, birokrasi, dsb) diharapkan lebih aktif bergerak dan menjadi wilayah hidup manusia yang membetahkan dan menyehatkan. Dengan begitu, peradaban Gorontalo dibangun di atas harmoni yang wajar antara kehidupan "daya cipta" manusia Gorontalo dan "daya dukung" lingkungan alam dan praktik sosial yang dipandu secara terpadu oleh spritualitas, intelektualitas dan moralitas. Gorontalo adalah sebuah "proyek yang belum selesai". Dalam catatan dan tuturan sejarah kita bisa menelusuri bayang-bayang Gorontalo yang penuh gelombang mitos penciptaan, konflik, karya-karya agung, konsensus linula dan pohalaa. Namun hanya dengan menghayati dan mengerjakan "kearifan" dan "keteladanan" para leluhur secara kritis, Gorontalo bisa lebih tegar menghadapi perubahan masa kini. Meski belum tentu berhasil, tapi adalah sangat penting memegang modal "moral" yang pernah ada di masa lalu untuk menegaskan bagaimana benang-merah moralitas demikian berperan dalam setiap kesempatan untuk melakukan perubahan. Loncatan kemajuan Gorontalo sudah lumayan tampak dan dirasakan. Indikator-indikator yang "kasat mata" (tampilan statistik, dokumen daerah, pilot projects dan pemberitaan media, dsb) cukup membanggakan dan bahkan bisa dikatakan mencengangkan. Meski demikian, ketertinggalan dan tantangan masih serius dalam lapangan ekonomi, prestasi pendidikan dan peran generasi muda, progresifitas budaya, pengelolaan lingkungan hidup dan hal-hal dasar lainnya, sebut saja itu persoalan kemiskinan, kesehatan dan pelayanan publik. Kita berharap kiranya pemimpin-pemimpin kita, yang di Provinsi, di Limboto, di Kota, di Boalemo, di Pohuato dan yang di Bone Bolango dan Gorut untuk makin menunjukkan komitmen dan konsistensi besarnya dalam menyelesaikan masalah-masalah utama tersebut. Setiap kita perlu memihak dengan sikap, tindakan dan pikiran. Tugas kita yang belum tuntas adalah bagaimana mengubah "geografi keterbelakangan" menjadi "geografi masa depan".***