http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/01/08/brk,20080108-115075,id.html

Arif Satria

Catatan Politik Kelautan dan Perikanan 2008
Selasa, 08 Januari 2008 | 16:57 WIB 


TEMPO Interaktif, Jakarta:

Ada pepatah "pelajari laut sebelum laut memberi
pelajaran kepada kita". Ternyata kita terlambat. Laut
telah lebih dulu memberikan pelajaran kepada kita.
Tsunami dan gelombang pasang yang telah
memporak-porandakan daratan adalah buktinya. Ditambah
lagi wacana pemanasan global yang muncul pada akhir
2007 seolah memberi isyarat bahwa mempelajari dan
peduli pada laut sudah tidak bisa ditawar lagi.
Kondisi inilah yang kini telah menggeser wacana
kelautan dari ekonomi ke ekologi. Bagaimana kita
mencermati pergeseran wacana ini? Bagaimana
implikasinya terhadap kebijakan sektor kelautan dan
perikanan 2008?

Pergeseran wacana
Memang pada masa awal berdirinya Departemen Kelautan
dan Perikanan (DKP) hingga 2004, wacana ekonomi
dominan, yaitu bahwa laut dapat menjadi sumber
kemakmuran bangsa karena potensi ekonominya. Hal ini
dapat dipahami karena saat itu Indonesia baru saja
terkena krisis, sehingga perlu dicarikan sumber
pertumbuhan ekonomi baru yang berbasis pada sumber
daya alam. Akibatnya, banyak kebijakan yang diarahkan
untuk mendongkrak peran sektor kelautan dan perikanan
dalam pembangunan ekonomi.

Posisi DKP saat itu dapat dipahami karena memang
kondisi politik menuntut demikian. Dewan Perwakilan
Rakyat berkali-kali menegaskan bahwa DKP harus
menyetor sumbangannya ke negara dalam bentuk
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebanding dengan
anggaran pembangunannya, yakni sekitar Rp 1,3 triliun
waktu itu. Kalau tidak mampu, diusulkan agar DKP
dibubarkan saja. Kondisi inilah yang menuntut DKP
bekerja keras "menghasilkan" uang dengan berbagai
kebijakannya, seperti kebijakan kapal asing, pungutan
hasil perikanan, serta harta karun. Beberapa kebijakan
memang kurang populer. Tapi apa mau dikata, karena
sudah merupakan tuntutan politik. Dan maksimalisasi
peran politik DKP dalam merebut wacana ekonomi relatif
berhasil, meski Gerbang Mina Bahari (GMB) sebagai
kendaraannya boleh dikata kurang efektif. Periode ini
bisa disebut sebagai periode economic mainstreaming.

Namun, sejak kejadian tsunami 2004 hingga akhir 2007,
wacana ekologi mulai menguat. Apalagi pada 2007
sejumlah kasus gelombang air pasang terjadi. Wacana
ekologi makin kuat lagi ketika berkembangnya isu
pemanasan global. Menguatnya wacana ekologi ini tidak
lain karena laut memang telah memberikan pelajaran
kepada kita, yang dampaknya terhadap sosial-ekonomi
tidak kecil. Dengan pemanasan global, akan terjadi
kenaikan permukaan air laut. Bayangkan saja, hasil
penelitian Dasgupta dkk. (2007) menunjukkan bahwa
kenaikan permukaan laut 1 meter akan berdampak
terhadap 1,3 persen penduduk dunia dan merugikan
senilai 1,3 persen produk domestik bruto (PDB) dunia,
1 persen wilayah kota, dan 0,4 persen lahan pertanian.

Meski kita menyadari pentingnya aspek ekologis dari
ekosistem pesisir dan terumbu karang, ternyata sektor
kelautan dan perikanan belum kuat posisinya dalam arus
utama lingkungan. Buktinya, dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim di
Bali lalu, isu kehutanan jauh melebihi kelautan.
Padahal luas hutan hanya 1,31 juta kilometer persegi,
sementara laut kita seluas 5,8 juta km persegi. Di
Indonesia, terumbu karang mampu menyerap 73,5 juta ton
C02 per tahun. Sementara itu, mangrove menyerap 75,4
juta ton CO2 per tahun, padang lamun menyerap 56 juta
ton CO2 per tahun, dan laut lepas kita dapat menyerap
40,4 juta ton CO2 per tahun. Sehingga total serapan
karbon dari wilayah laut dan pesisir sekitar 245,6 ton
CO2 per tahun (BRKP DKP, 2007).

Kita kini sudah menyadari betapa pentingnya ekosistem
mangrove untuk menahan gelombang pasang ataupun
tsunami. Juga pentingnya ekosistem terumbu karang
dalam mencegah abrasi serta menjadi pilar peningkatan
stok ikan dan suburnya fitoplankton. Fitoplankton
dapat menyerap 40-50 miliar ton karbon per tahun, yang
mirip tumbuhan yang mampu menyerap 52 miliar ton
karbon per tahun. Namun, ternyata sektor kelautan dan
perikanan belum mampu meyakinkan publik bahwa laut
dapat menjadi penyelamat atas pemanasan global.

Mestinya pada 2007 dan menjelang Konvensi PBB tentang
Perubahan Iklim ada upaya sistematis DKP untuk
mengarah ke pengarusutamaan lingkungan dan ekologi
(ecological and environmental mainstreaming),
tampaknya upaya itu kurang maksimal. Tentu bukan hanya
karena faktor komunikasi publik, tapi data-data yang
mendukung upaya itu memang kurang tersedia. Ini pun
juga karena aktivitas riset di laut lebih rendah
intensitasnya daripada riset kehutanan. Karena itu,
pada 2008 perlu dilakukan langkah lebih serius untuk
meningkatkan peran sektor kelautan dan perikanan dalam
arus utama ekologi dan lingkungan.

Perlu desain baru
Pergeseran wacana dari ekonomi ke ekologi dan
lingkungan ini mestinya ditindaklanjuti dengan arah
kebijakan yang jelas dan dukungan politik anggaran.
Pada tahun anggaran 2008 ini, DKP mendapat anggaran Rp
3,35 triliun. Namun, formulasi anggaran 2008 disusun
pada awal 2007 sehingga apa yang terjadi sepanjang
2007 baru bisa direspons dan dijawab pada tahun
anggaran 2009. Diduga kuat bahwa anggaran DKP 2008
masih kental dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi
sebagaimana sebelum-sebelumnya. Hal ini pun sejalan
dengan moto DKP yang "pro-job, pro-growth, pro-poor",
sementara yang pro-ecology tidak ada. Padahal
mengintegrasikan ekonomi, sosial, dan ekologi adalah
wujud pembangunan berkelanjutan yang diidamkan.

Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan seperti
itu, tentu menguatnya wacana ekologi dan lingkungan
tidak berarti bahwa aspek-aspek sosial-ekonomi tidak
penting. Justru saat inilah penting untuk melakukan
intervensi di bidang sosial-ekonomi akibat perubahan
lingkungan. Dengan isu pemanasan global, tentu tidak
semata terumbu karang dan mangrove yang kita tangani,
tapi juga masalah adaptasi masyarakat pesisir terhadap
perubahan iklim tersebut. Dulu nelayan bisa
memprediksi musim ikan, sekarang mereka kesulitan
merencanakan jadwal melaut.

Dengan kondisi seperti ini, tentu kelompok yang paling
rentan terhadap perubahan lingkungan adalah nelayan
kecil yang tidak punya modal dan tidak mampu melakukan
diversifikasi usaha. Karena itu, perlu desain baru
kebijakan sektor kelautan dan perikanan yang sudah
mempertimbangkan berbagai perubahan lingkungan
strategis baru, khususnya perubahan lingkungan akibat
pemanasan global itu. Desain baru tersebut tidak
saling meniadakan desain kebijakan ekonomi dan sosial
yang sudah ada. Justru kalau meniadakan malah akan
menjadi kontraproduktif karena bagaimanapun isu
sosial-ekonomi secara politik lebih "seksi" daripada
isu lingkungan.

Hal ini mengingat pada kenyataannya kemiskinan nelayan
dan masyarakat pesisir lainnya masih cukup besar, dan
banyak politikus serta partai politik berkepentingan
terhadap isu itu. Dan ini merupakan sebuah kewajaran
di negara sedang berkembang. Namun, kemudian menjadi
penting dan mendesak pula untuk membangun kesadaran
masyarakat dan politikus betapa pentingnya sektor
kelautan dan perikanan masuk dalam arus utama ekologi
dan lingkungan. Sehingga, keseimbangan orientasi
kebijakan kelautan dan perikanan akan menguntungkan
secara ekologis dan ekonomi sekaligus dalam jangka
panjang.

Integrasi orientasi kebijakan dan pembangunan kelautan
dan perikanan tersebut membutuhkan perubahan pola
kerja birokrasi DKP yang masih tersekat-sekat. Untuk
itulah sekat-sekat kepentingan antardirektorat dan
antardirektorat-jenderal di DKP harus mulai dicairkan
melalui dialog, kerja sama, dan koordinasi yang lebih
baik. Tanpa koordinasi yang baik, program-program DKP
akan kembali terkotak-kotak yang pada akhirnya akan
menghambat misi menyeimbangkan masuknya sektor
kelautan dan perikanan dalam arus utama ekonomi dan
ekologi. *

Arif Satria, dosen ekologi-politik Fakultas Ekologi
Manusia Institut Pertanian Bogor


      
____________________________________________________________________________________
Never miss a thing.  Make Yahoo your home page. 
http://www.yahoo.com/r/hs

Kirim email ke