Membaca artikel Kompas di bawah ini
membuat saya semakin berpikir dan berpikir...
dan  di dalam pikiran saya saya melihat
diri saya sendiri  sedang terus berpikir...dan berpikir
dimana  di dalam pikiran itu  saya terus terihat
berpikir ...dan tak pernah  habis berpikir....

Odu Olo 
yang lagi berpikir



KOMPAS Artikel Terkait:

Senin, 21 Januari 2008 | 09:04 WIB

"Dulu modal saya untuk jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu Rp 187
juta. Enam bulan pertama sudah BEP, break even point."

Sembari makan siang di kantin, seorang anggota Dewan menceritakan
pengalamannya secara blak-blakan kepada wartawan.
Dia juga menceritakan bagaimana praktik-praktik politik uang yang
terjadi di DPR yang tidak bisa diceritakan dalam tulisan ini.
Karena itu, dia termasuk yang tidak setuju dengan berbagai kebijakan
anggaran di DPR yang arahnya terus menguras uang negara demi
mempertebal "kantong" anggota Dewan. Dia merasa berbagai fasilitas
yang selama ini dia terima sudah lebih dari cukup.
Pemberian insentif legislasi Rp 1 juta ke semua anggota Dewan yang
tidak terlibat dalam pembahasan setiap kali pengesahan rancangan
undang-undang, menurut dia, salah satu kebijakan yang tidak tepat.
Dua tahun terakhir Seorang anggota Dewan lain secara blak-blakan
menunjukkan seluruh catatan penghasilan yang dia terima dari negara
selama dua tahun terakhir.

Dari catatan itu diketahui, penerimaan anggota DPR terbagi menjadi
tiga kategori. Ada yang bersifat rutin bulanan, ada yang rutin
nonbulanan, dan ada juga yang sesekali.

Yang sifatnya rutin bulanan adalah gaji paket Rp 15.510.00; bantuan
listrik Rp 5.496.000; tunjangan aspirasi Rp 7,2 juta; tunjangan
kehormatan Rp 3,15 juta; tunjangan komunikasi intensif Rp 12 juta; dan
tunjangan pengawasan Rp 2,1 juta. Total berjumlah Rp 46,1 juta per
bulan. Jadi, setahun mencapai lebih dari setengah miliar, Rp 554 juta.
"Pendapatan bulanan ini semua anggota DPR sama," katanya.

Penerimaan nonbulanan banyak jenisnya, mulai dari penerimaan gaji
ke-13 setiap Juni Rp 16,4 juta dan dana penyerapan aspirasi setiap
masa reses Rp 31,5 juta. Dalam satu tahun sidang ada empat kali masa
reses. Ada juga dana perjalanan dinas komisi, perjalanan dinas ke luar
negeri, atau perjalanan dinas saat reses. Total keseluruhan dalam
setahun sekitar Rp 188 juta.

Sementara itu, penghasilan yang sifatnya sewaktu-waktu adalah insentif
pembahasan rancangan undang-undang dan honor melakukan uji kelayakan
dan kepatutan yang besarnya Rp 5 juta per kegiatan.

Dengan adanya kebijakan baru berupa uang insentif legislasi Rp 1 juta
per-RUU, semakin menambah lagi pemasukan anggota DPR. Uang insentif
legislasi yang dia terima Rp 39,7 juta.

Apabila keseluruhan penerimaan negara itu dihitung, total uang yang
diterima seorang anggota DPR dalam setahun hampir Rp 1 miliar. Sebagai
anggota DPR yang tidak terlalu aktif saja, selama tahun 2006, dia
menerima Rp 761,3 juta, sedangkan tahun 2007 Rp 787, 1 juta.

Anggota Dewan yang merangkap anggota badan selain komisi juga mendapat
tunjangan khusus. Demikian pula anggota yang merangkap pimpinan alat
kelengkapan, banyak melakukan studi banding ke luar negeri, memimpin
panitia-panitia khusus pembahasan RUU, serta menjadi pimpinan fraksi,
atau pimpinan DPR.

Dengan uang yang diberikan negara itu, dia yakin semua anggota DPR
bisa menjadi profesional, independen, dan bersungguh-sungguh
memperjuangkan aspirasi rakyat.

Namun, kalau ditanya soal cukup, menurut dia, setiap orang akan
memiliki pandangan yang berbeda.

"Ibarat minum air, ada yang merasa cukup, ada juga yang malah semakin
haus," ucapnya sambil tertawa.

Idealisme 550 anggota DPR yang duduk di Senayan memang beragam. Mereka
tidak bisa begitu saja digeneralisasi. Terkait pemberian insentif
legislasi Rp 1 juta saja, misalnya, ada fraksi yang menolak dan ada
fraksi yang menerima dengan sejumlah alasan.

Anggota yang memiliki idealisme seperti tadi sesungguhnya tak hanya
satu, dua. Namun, karena jumlahnya kalah banyak, suara mereka sering
kali tertelan. Seorang anggota Dewan yang dulu bergelut di dunia
akademisi dan sekarang terjun ke politik praktis malah mengaku sempat
juga terkena getahnya. Saat dia ke kampus, rekannya menyesalkan
dirinya terjun ke dunia politik praktis karena menjadi ikut "kotor".

Tidak semua kotor

Menilai anggota DPR seluruhnya "kotor" tentu tak tepat karena pada
kenyataannya ada juga yang berusaha untuk "bersih" di tengah
kekeruhan. Yang perlu dilakukan adalah memberikan dukungan kepada
mereka yang bersih agar mereka tak tercemar, tetapi malah membawa
warna jernih.

DPR yang bersih akan membawa pemerintahan juga menjadi bersih karena
salah satu fungsi DPR adalah bidang pengawasan. Anggaran di eksekutif
juga beratus-ratus kali lipat anggaran di DPR.

Siapakah anggota DPR yang perlu didukung itu? Tentunya, mereka yang
bisa merasakan cukup dan lebih memprioritaskan orang yang
kerongkongannya kering karena dahaga. (Sutta Dharmasaputra)



Kirim email ke