Bung Fany utiy,
 
Ada juga yang bilang : F.M. adalah batu loncatan  bagi "kampung udik"
Gorontalo untuk dikenal di level nasional maupun internasional  hi hi hi
..Maka marilah kita ganti nama Gorontalo menjadi Fadel City seperti nama
kampung pinggiran kota Manila diganti dengan nama Quezon City  ha ha
ha..
 
Wass.OH
 
-----Original Message-----
From: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of fany salamanya
Sent: Sunday, February 10, 2008 2:45 AM
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: Bls: [GM2020] Opini : Setelah Fadel dan Peta Masa Depan
Gorontalo
 
Maksudnya  :
GORONTALO ADALAH BATU LONCATAN.....?????...????
----- Pesan Asli ----
Dari: "[EMAIL PROTECTED]" <[EMAIL PROTECTED]>
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Terkirim: Sabtu, 9 Febuari, 2008 8:24:59
Topik: Re: [GM2020] Opini : Setelah Fadel dan Peta Masa Depan Gorontalo
Singkat saja:
FADEL FOR PRESIDENT... !!!

-----Original Message-----
From: funco tanipu <[EMAIL PROTECTED] com <mailto:func0%40yahoo.com> >
Sent: 2008-02-09 18:34:06 GMT+08:00
To: gorontalomaju2020@ <mailto:gorontalomaju2020%40yahoogroups.com>
yahoogroups. com
Subject: [GM2020] Opini : Setelah Fadel dan Peta Masa Depan Gorontalo

Ini opini saya buat Gorontalo Post..(baru saya kirim tadi). Sebagai
bahan diskusi buat Gorontalo Maju, telah saya copy kan ke GM2020. 

Funco Tanipu.

--

Setelah Fadel dan Peta Masa Depan Gorontalo


Funco Tanipu
(Ketua Umum PB HPMIG)




Fadel dan Hegemoni Wacana
Menjadi seorang Doktor, Gubernur, Bendahara DPP Golkar era Akbar Tanjung
dan kini disebut-sebut sebagai representasi kemenangan pemilihan
Presiden di 2009 (jika Ia digandeng) adalah sesuatu yang tak dibayangkan
oleh seorang Fadel Muhammad, apalagi Umi dan Abahnya di masa lampau.
Menjadi seorang Fadel yang kini gemilang dengan kuasa dan materi serta
menjadi inspirasi bagi sebagian orang adalah hikmah dari sebuah
perjalanan panjang hidup, konsistensi dan komitmen pada nilai-nilai yang
luhur. Fadel menurut saya adalah integrasi nilai-nilai luhur tadi. Tak
mungkin ia mencapainya tanpa representasi nilai yang kemudian termaktub
dalam sanubari dan geraknya. Praktisnya, keberhasilan yang kini direguk
tak lekang dari usaha, kerja keras, cucuran keringat, berani susah, dan
komitmen moral. Kesemuanya ini akan berkelanjutan dan mendapat momentum
jika nilai-nilai tadi akan senantiasa dipertahankan dan tak tergoda oleh
sikap menjadi seorang pecundang tangguh.
Sebagai manifestasi keberhasilan, citra sukses, dan kemenangan, tentu
Fadel menjadi inspirasi bagi sebagian atau mungkin hampir keseluruhan
masyarakat Gorontalo hari ini. Raupan suara diatas 80 % menjadi bukti
bahwa Fadel tidak saja memiliki antibodi politik yang kuat tetapi juga
social capital yang luar biasa di sanubari rakyat Gorontalo. Hal ini
tentu tak terjadi begitu saja, kerja keras selama 5 tahun serta
pencitraan yang luar biasa (bahkan terlampau over acting) menjadi
pendongkrak citra Fadel yang dulunya sangat lekat dengan pengalaman
mengenai negatifitas Fadel di Jakarta. Sebagaimana diketahui, Fadel
dulunya adalah ikon dari trauma, kekecewaan, buangan hingga anti trust,
dan kini berhasil membalikkan keadaan dan pandangan publik, bahwa
negatifitas ada masanya, dan ada pula masanya membangun sesuatu yang
positif.
Gorontalo sebagai basis sosial-kultural yang dikonstruksi seiiring dan
sepadan dengan simbolisasi Fadel, tentunya hari ini dan kedepan mesti
berpikir serius mengenai masa setelah Fadel atau post Fadel condition
(pasca Fadel).
Dalam pada itu, saya tak ingin membawa konstruksi kesadaran masyarakat
Gorontalo kearah personifikasi Fadel dan segala tindak tanduknya yang
selama ini ia lakukan. Fadel bukanlah dewa yang mesti kita jadikan
maskot dan lambang kebesaran, bahkan ikon Gorontalo. Suatu saat jika
waktunya datang, Fadel pasti akan meninggalkan Gorontalo. Mungkin di
tahun 2009 jika ia masuk ke DPR atau melalui pemilihan presiden atau
mungkin saja masuk pada kabinet berikutnya. Namun, satu yang pasti, di
tahun 2011 yang kini tinggal 4 tahun lagi, Fadel akan menyelesaikan
ke-Gubernurannya. Saya, dalam pada ini, tak berpikir siapa yang layak
dan cocok menjadi pengganti Fadel. Saya tak ingin melakukan konstruksi
kesadaran politis itu ke sanubari rakyat Gorontalo. Walaupun akhir-akhir
ini, begitu banyak nama beredar di tengah masyarakat. Dan tentu saja,
kesadaran yang coba dikonstruksi adalah konstruksi elit, yang nantinya
terserah apa kata elit, maka itulah representasi pilihan politik
masyarakat
Gorontalo mengarah. 
Perspektif ini tentu tak bicara tentang personifikasi lagi. Masa depan
Gorontalo lebih nyata dan besar dibanding elit-elit yang sedikit itu.
Kita, sebagai warga Gorontalo, harusnya berpikir lebih strategis dan
taktis mengenai keadaan Gorontalo sesudah Fadel. Fadel yang kini
menggejala, bahkan hampir menjadi sebuah isme bagi rakyat Gorontalo
mesti kita periksa secara arif dan bijak.
Nilai-nilai yang selama ini dibawa Fadel adalah sesuatu yang berharga
dan baru bagi kita. Tentunya, kita mesti lebih bersandar dan berpatokan
pada nilai-nilai tadi, bukan pada personifikasi Fadel. Kita mesti
membedakan mana nilai, simbol dan tubuh Fadel. Ketiga hal ini adalah
sesuatu yang berbeda satu sama lain, tetapi mesti dihargai dan dijadikan
memori kolektif masyarakat Gorontalo kini dan akan datang. Walaupun
seperti itu, tentunya tak semua mesti kita ambil dan jadikan sebagai
memori kolektif. Nilai dan simbol tadi seharusnya kita periksa, saring
dan diberi injeksi ke-Gorontalo- an. 
Tetapi, yang patut dicatat, Fadel telah membubuhkan sesuatu yang tidak
pernah terjadi bahkan terbayangkan masyarakat Gorontalo di masa lalu.
Fadel merubah yang biasa menjadi segala-galanya, menjadikan yang
kampungan menjadi nasional, mendorong yang kecil menjadi besar. Fadel
berhasil menjadi ikon Gorontalo kontemporer.
Lalu, seperti apa kondisi Gorontalo setelah Fadel? Saya hanya bisa
menebak-nebak bahwa harapan, impian, kondisi, cita-cita, ambisi dan
keinginan masyarakat Gorontalo tentunya menginginkan Gorontalo dipimpin
oleh orang yang memiliki kemampuan minimal seperti Fadel. Lalu, menjadi
pertanyaan lanjut, apakah Gorontalo memiliki stok pemimpin seperti itu?
Jawabannya tentu ada pada kenyataan politik nanti di tahun 2011. Tetapi
satu yang pasti, bahwa harapan, impian, kondisi, cita-cita, ambisi dan
keinginan masyarakat Gorontalo saat ini telah terkonstruksi sedemikian
rupa bahwa itu semua mestinya harus berada dalam personifikasi seseorang
yang akan menjadi pengganti Fadel. Dan, jika itu telah menjadi memori
kolektif masyarakat, maka yang terjadi hanyalah dua hal, pertama,
bahagia dan senang, karena mendapatkan seseorang yang memiliki kemampuan
minimal seperti Fadel dan berhasil melanjutkan keberhasilannya. Kedua,
kecewa dan apatis, karena orang tersebut malah berada di bawah
standar yang telah dipatok, bahwa ia minimal harus seperti Fadel.


Keberlanjutan Generasi
Beberapa hal diatas adalah pekerjaan berat bagi kita sekalian. Karena
usaha mendekonstruksi kenyataan dan kesadaran yang hampir membatu adalah
usaha yang akan memakan waktu dan energi yang cukup lama. Kondisi ini
mungkin akan sama dengan kondisi masyarakat Indonesia yang kini sebagian
besar merindukan sosok Soeharto. Begitu pula dengan Gorontalo hari ini.
Fadel adalah kenyataan yang sukses. Tapi ia tak akan lama lagi di
Gorontalo. Karena Fadel punya cita-cita yang lebih besar, dan kita
sama-sama harus mendorong serta membantu Fadel mencapai cita-cita
tersebut, demi keberlajutan kader Gorontalo. Sebagaimana juga kita harus
mendorong Rahmat Gobel, Suharso Monoarfa, Mochtar Mohammad, Reiner
Latif, Tony Uloli, Alex Sato Bya dan beberapa orang Gorontalo yang kini
berkiprah di tigkat nasional. 
Mereka yang telah besar diatas bukan lahir dari rahim peradaban kita.
Mereka adalah sosok yang besar secara alamiah dengan kemampuan mereka
secara personal. Gorontalo hanyalah bagian kecil dari kesuksesan mereka
hari ini. Kita kemudian terbiasa dengan hal-hal yang lebih kumuh lagi,
dengan mengklaim mereka adalah Gorontalo. Bisa kita lihat banyaknya
tokoh-tokoh lokal kita yang bersimpuh dan memohon jika ketemu mereka
tadi. Yang parah kemudian, mereka ditawari dengan seuntai penghargaan
lokal (Pulanga) tatkala berhasil. Bukankah penghargaan itu kita untaikan
disaat mereka telah sukses dan top saja? Dimana kita di saat mereka
berdarah-darah membangun karir di Jakarta sana. Kita selama ini hanya
mengekor pada keberhasilan orang. Kita lebih senang berada di balik
kebesaran orang yang kebetulan lahir atau bermarga Gorontalo saja.
Tetapi, lebih dari itu, kita adalah bangsa pencundang, yang hanya
sanggup menggadaikan Pulanga sebagai penghargaan yang paling besar dari
rakyat
Gorontalo. Kita tak usahlah dulu berbicara tentang keberhasilan bangsa
Yahudi menjadi bangsa yang minim jumlah, tetapi memiliki kemampuan
menggenggam dunia. Di samping kiri dan kanan, kita terlalu menutup mata
dengan keberhasilan bangsa Bugis-Makassar yang bersatu-padu melahirkan,
merawat, mendorong hingga mengawasi tokoh-tokohnya yang kini berkiprah
di Pusat. Kita terlalu ketinggalan dengan Minahasa yang kini (dengan
diam-diam) bisa mencetak kader-kader terbaiknya untuk bermain di tingkat
Nasional. Saya hanya bisa bertanya, kapan kita bisa mencetak seorang
Presiden dari Gorontalo, yang kita besarkan, kita rawat, kita bina, kita
awasi dan kita dorong? 
Di akhir periodenya ini, Fadel mesti kita rawat sekaligus kita periksa.
Fadel mesti kita dorong sekaligus kita awasi. Perlu adanya mekanisme
keberlanjutan antar generasi yang kini hampir hilang dari setiap
perubahan sosial yang terjadi. Kita mesti mengondisi yang selama ini
terjadi; baku bunuh, baku tikam dan saling mematikan antar sesama.




Peta Masa Depan Gorontalo
Kedepan, menurut saya, masyarakat Gorontalo mesti merubah perspektif
yang selama ini masih paternalistik ke arah yang lebih berkesinambungan.
Gorontalo harus berpatokan pada nilai-nilai yang luhur, visioner,
humanis, egaliter, bermartabat, berakhlak, komitmen pada moral, dan
konsisten pada cita-cita bersama. Gorontalo harus menyandarkan pada
nilai-nilai diatas. Gorontalo mesti menjadikan sanubarinya dipimpin
integrasi nilai-nilai tadi. Keterjebakan kita selama ini adalah terlalu
membiarkan nurani kita diporak-porandakkan oleh konstruksi wacana
keseharian yang diproduksi elit.
Tentunya, setelah membaca tulisan ini, Fadel mestinya bisa lebih seksama
dan cermat melihat kemungkinan- kemungkinan setelahnya. Begitu pula
dengan tokoh-tokoh lokal yang kini sibuk bermimpi dan tebar pesona untuk
menjadi Gubernur. Apalagi kita (rakyat Gorontalo) yang selama ini masih
terganga, terkesima, dan takjub oleh dan apa yang Fadel telah lakukan
selama ini. Saya, yang masih menaruh harapan pada kemungkinan terbaik
dan tak ingin berkabung setelah Fadel, mengajak elit, kelas menengah,
kaum intelek, warga kampus hingga rakyat jelata, bahwa politik kumuh
yang selama ini kerap menjadi kebanggan kita mesti kita sudahi dan beri
perspektif baru. Perspektif baru itu adalah politik untuk kemanusiaan
dan peradaban yang mengedepankan sikap dialog sebagai basis moral
penyelesaian perubahan sosial kita yang mengarah pada kekalutan. Sebelum
itu, kita mesti sama-sama membangun banyak ruang publik sebagai kamar
dialog peradaban kita, dimana disitulah kita akan membincang tentang
cita-cita sebagai bangsa terbaik di Jazirah Sulawesi bahkan Indonesia.
Dan seturut dengan Goenawan Mohamad, bahwa masa lalu itu adalah sesuatu
yang penting, tetapi sejarah tidak bisa mandek. Karenanya, sejarah
Gorontalo mesti diberikan terus air perspektif baru. Sejarah tak bisa
berhenti pada Agropolitan. Kita mesti membuat peta masa depan; masa
depan yang beradab.


------------ --------- --------- ---
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try
it now.
 
 
  _____  

Bergabunglah dengan orang-orang yang berwawasan, di bidang Anda di
Yahoo!
<http://sg.rd.yahoo.com/mail/id/footer/def/*http:/id.answers.yahoo.com/>
Answers
 

Kirim email ke