Kalau begini caranya apa yang dilakukan oleh UNG. Disini juga akan muncul 
kolusi lagi, yang diberi hak untuk pergi menyeleksi kegiatan ini hanya orang2 
dekat saja penguasa UNG, kalau sepereti orang yang tak punya hubungan tak akan 
dapat pergi : sedangkan ini UNG harus memebrikan visi kepada masyarakat 
bagaimana, dulu saya waktu bimbing KKN di Bongomeme dis ebuah desa terpencil 
saya bawah 2 orang mahasiswa untuk studi, dan pak rektor sambut baik, terus 
kenapa ada kolusinya, karena yang menjadi turun itu harus senir saja kalau yang 
yunior jangan berharap banyak. alias belum layak, sedangkan turun ke daerah itu 
bukan hanya meliht dari kebredaan dosen itu darimana asalnya tetapi harus 
menjadi nama UNG tetapi cara berpikir ini masih pola lama dilakukan oleh UNG, 
contoh mau buat Sk apa saja di UNG harud di TTD oleh Rektor, kalau saya usul 
setiap jurusan itu harus masing berusaha bukan PT itu saja, misalnya saya mau 
jual biodang2 apa di fisika akan tertarik oleh siswa, terus saya
 harus berikan paparan seminar di hadapan mereka, bukan turun ke lokasi bawah 
sppd terus ttd. Llu la[por sekian formulir yang habis.
  tyradisi dan pardigma itu harus di rubah oleh UNG.
   
  kenapa saya sampaikan ke millis kareena kalu bicaran di UNG ke pimpinan mana 
mau diterima malah hanya di marahin saja.
  Wassalam'
  my
   
        Perguruan Tinggi Harus Jemput Bola!                  Ditulis oleh 
Irwandi        Monday, 11 February 2008     Perguruan Tinggi Harus Jemput Bola! 
5 Februari 2008, dalam Konferensi Pers di Gedung Pancasila, Kampus Pusdiklat 
Pegawai Depdiknas, Sawangan, Depok, Dirjen Dikti meminta  perguruan tinggi agar 
menjemput bola ke sekolah-sekolah Menengah menelusuri  para siswa berprestasi, 
tanpa membedakan status sosial ekonomi keluarganya.  Penelusuran ini bisa 
dimulai semenjak kelas  II dan III SMA dan terhadap mereka dilakukan talent 
scouting. Buat anak-anak yang secara akademik baik tetapi kondisi ekonomi 
keluarga susah agar diteruskan untuk mendapat beasiswa bila mereka berminat 
untuk melanjutkan ke Perguruan tinggi.     
  Sebab tambah Fasli, dalam konteks akses, “ kalau kita hanya menunggu dan 
memberikan beasiswa sesudah mereka menjadi mahasiswa sudah terlambat. Data yang 
ada justru menunjukkan bahwa jumlah kelulusan dari 20 % keluarga termiskin, 
hanya 3 % saja dari total mahasiswa. Dengan pemantauaan dan talentscouting, 
akan terselamatkan anak-anak dari keluarga miskin berprestasi ini.
   
    Dalam komposisi beasiswa itu, disamping beasiswa untuk pembayaran SPP, 
menurut Dirjen yang kritikal adalah biaya-biaya relokasi dan settlement awal. 
Sebab mereka ini memang tidak memiliki apa-apa untuk membayar itu. jangan 
sampai nanti gara-gara tidak sanggup membayar biaya-biaya tersebut, mereka 
tidak jadi untuk memenuhi undangan yang sudah dibuat oleh suatu perguruan 
tinggi.
   
  Selain itu, Dirjen juga meminta perguruan tinggi agar menganalisa secara 
benar bagaimana pengalokasian beasiswa dan bagaimana keketatan kriterianya. 
Adakah data mahasiswa yang benar-benar miskin dan layak mendapatkan beasiswa. 
“Sebab terbetik kecurigaan di kita, jangan-jangan beasiswa yang sudah banyak, 
sampai 170 ribu nanti, hanya atau juga dinikmati oleh anak-anak 20 persen 
terkaya. Begitu banyak beasiswa kok masih ada suara-suara yang mengatakan bahwa 
pemerintah tidak memegang prinsip-prinsip keadilan”, kata Dirjen.
   
  Dikti, dalam mengalokasikan beasiswa untuk mahasiswa S I, untuk memperluas 
akses dan keadilan, dari 170 ribu beasiswa yang tersedia, 80 ribunya khusus 
untuk mahasiswa “Dhuafa’ (Quintile seperlima termiskin).
    By Irwandi.
    Recommend this article...

       
---------------------------------
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it now.

Kirim email ke