FYI..Wass.OH -----Original Message----- From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of korandigital Sent: Monday, March 24, 2008 11:54 AM To: [EMAIL PROTECTED] Subject: [Koran-Digital] Ada Apa dengan DPR? Senin, 24 Maret 2008
Ada Apa dengan DPR? Bambang Harymurti * Wartawan Tempo Mengapa Dewan Perwakilan Rakyat menolak calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan pemerintah? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan sedang menunggu surat pemberitahuan resmi pimpinan DPR untuk mengetahui jawabannya. Rakyat pun tentu ingin tahu apa gerangan alasan di balik penolakan Agus Martowardoyo dan Raden Pardede itu oleh para wakil mereka di Senayan. Keingintahuan ini wajar. Calon yang diajukan pemerintah sudah memenuhi aturan yang berlaku. Raden Pardede mendapatkan gelar doktor di bidang ekonomi dari Universitas Boston dan, selain menjadi wakil direktur PT Perusahaan Pengelola Aset, alumnus ITB ini sehari-hari aktif sebagai Ketua Forum Moneter Indonesia. Kompetensinya di bidang keuangan jelas tak perlu diragukan. Kalaupun ada kelemahannya, mungkin soal jam terbangnya sebagai seorang manajer. Jika soal manajemen yang jadi pertimbangan, Agus Martowardoyo justru telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pucuk pimpinan berbagai bank di Indonesia. Bankir yang mengawali kariernya di Bank of America ini juga tercatat berhasil membuat kinerja bank terbesar negeri ini, Mandiri, yang nyaris bangkrut menjadi moncer. Agus Martowardoyo dilantik menjadi Direktur Utama Bank Mandiri pada 16 Mei 2005, menggantikan E.C.W Neloe yang ditangkap karena diduga korupsi. Mantan Direktur Utama Bank Permata ini pun segera bekerja keras melakukan berbagai pembenahan di bank yang kelahirannya turut ia bidani itu. Ini bukan pekerjaan yang mudah. Pada pertengahan Juni 2006, Bank Mandiri sudah di ambang kebangkrutan. Tingkat kredit macetnya parah. Non-Performing Loan (NPL) mencapai lebih dari 26 persen. Padahal, bank yang sehat NPL-nya harus di bawah 5 persen. Upaya Agus Martowardoyo dan tim manajemen Mandiri untuk menyehatkan kembali bank pemerintah ini tidaklah gampang. Sekitar 65 persen dari kredit macet itu ternyata bersumber dari pinjaman kepada 30 konglomerat saja. Para konglomerat ini jelas mempunyai hubungan yang baik dengan berbagai pejabat tinggi di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mereka bahkan memiliki hubungan pula dengan sejumlah perwira tinggi di kepolisian dan TNI, pimpinan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berpengaruh, dan pemilik media. Pendek kata, mereka memiliki banyak "teman" di kalangan elite negeri ini. Menghadapi puluhan gurita raksasa itu ternyata tak membuat nyali Agus Martowardoyo ciut. Berbagai gebrakan dilakukannya untuk menekan para debitor bermasalah itu. Ia bahkan mengancam mempublikasikan daftar nama para peminjam itu, termasuk jumlahnya. Sikap tegas ini ternyata membuahkan hasil. Para konglomerat itu mulai lancar membayar pinjaman mereka. Tahun lalu, tingkat NPL Bank Mandiri turun hingga di bawah lima persen. Ini tak hanya menyebabkan bank terbesar Indonesia ini sehat, keseluruhan sektor perbankan pun ikut bugar karena tingkat NPL rata-rata industri menjadi di bawah lima persen pula. Keberhasilan Agus Martowardoyo menyehatkan Bank Mandiri ini rupanya diharapkan pemerintah dapat dilakukan di Bank Indonesia yang sedang dirundung berbagai masalah. Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah dan dua anak buahnya sedang menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi. BI sedang diinvestigasi karena penyaluran dana Rp 100 miliar yang diduga dimaksudkan untuk menyuap beberapa penegak hukum dan anggota DPR. Penelusuran media terhadap skandal ini menunjukkan masih belum berlangsungnya sistem tata kelola pemerintahan yang baik di bank sentral. Ini masalah serius karena Bank Indonesia mempunyai tugas utama menjaga stabilitas dan nilai mata uang rupiah. Tugas yang sulit di era sekarang ini, ketika perekonomian dunia sedang berada dalam keadaan tidak pasti akibat krisis kredit sub-prime di Amerika Serikat dan harga minyak mentah yang terus meroket. Peran Bank Indonesia dalam menjaga tingkat inflasi nasional agar tak gonjang-ganjing lantaran ekonomi global amatlah besar. Menurut pengamat ekonomi Dr Chatib Basri dari Lembaga Penelitian Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia, sumbangan inflasi inti terhadap tingkat inflasi tahun lalu mencapai 57 persen. Ini berarti hampir dua kali lipat dari peran kenaikan harga pangan, yang sekitar 32 persen. Besarnya peran bank sentral dalam menjaga kestabilan laju perekonomian nasional di saat ekonomi global saat ini memang tak dapat disangkal. Itu sebabnya Bank Indonesia harus dipimpin oleh sosok yang mempunyai rekam jejak prima dalam mengelola organisasi yang besar. Agus Martowardoyo yang sukses memperbaiki kinerja berbagai bank di Indonesia jelas memenuhi persyaratan ini. Persyaratan lain yang dimiliki alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini adalah integritas pribadinya. Kelebihan ini ternyata di mata banyak anggota DPR dianggap sebagai kelemahan. Sikap tegas dan tanpa pandang bulu dalam menjalankan aturan dibaca sebagai sikap kaku, bahkan arogan. Kelurusannya dalam menjaga uang negara malah dicemooh. Seorang wakil rakyat di Komisi XI malah sempat berkomentar, "Hari gini kok songki-songki." Celetukan yang segera disambut derai tawa anggota DPR yang lain itu kira-kira berarti "Sekarang ini kok tak ada rezeki yang dibagi-bagi alias kosong." "Kosong"-nya upaya mencalonkan Raden Pardede dan Agus Martowardoyo ke Senayan memang dapat dibaca dengan dua sudut pandang. Bagi kalangan yang menginginkan negeri ini bebas dari virus KKN jelas ini adalah cara yang benar. Bagaimana mungkin mengharapkan munculnya pemimpin Bank Indonesia yang berintegritas bila pencalonannya harus dilumuri uang suap? Sebaliknya, dari sudut pandang para politisi pragmatis, pencalonan yang songki-songki pastilah akan berakhir dengan penolakan. Banyak politisi, sayangnya, masih merasa perlu mengembalikan modal uang yang telah mereka kucurkan untuk mencapai kedudukannya saat ini. Apalagi pencalonan Agus Martowardoyo pasti ditentang oleh puluhan konglomerat hitam yang ulahnya terganggu oleh kinerja pria kelahiran Amsterdam tahun 1956 ini. Dengan kata lain, pencalonan kali ini mungkin berbalik arah dibandingkan sebelumnya. Yang mendukung dapat songki songki dan yang menentang boleh berharap dapat rezeki. Rezeki akhirnya terbukti memenangkan pertandingan. Maka memang menarik untuk mendengar penjelasan resmi DPR. Apa alasan mereka menolak calon yang jelas jelas memenuhi syarat? Kita tunggu saja. Sumber : Tempo --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ Anda menerima pesan ini karena berlangganan ke Grup "Koran Digital" Google Groups. Untuk memposting ke grup ini, kirimkan email ke [EMAIL PROTECTED] Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Untuk pilihan lain, kunjungi grup ini di http://groups.google.com/group/koran-digital?hl=id -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---