Barangkali pak Ambo yang orang Bugis itu bisa minta sama Dubes Awaluddin
,kalau ia meninggal, agar disemayamkan di kedutaan besar Indonesia di
jl. Kutznetsov, berarti so sempat pulang ke tanah leluhur sebelum
dimakamkan.  Kan premisses kedutaan besar itu merupakan bagian dari
negara Indonesia....ia kan,ia kan? He he he
 
Wass.OH
 

-----Original Message-----
From: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
[mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of imusafir
Sent: Sunday, July 06, 2008 11:32 PM
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: [GM2020] Kerinduan Pak Tua




Hanya sebagai bacaan akhir pekan

Bolo Maapu

Imusafir

 

 

Kerinduan Pak Tua

 Pintu Masuk ke Lapangan Merah di Moskow (Yahoo! News/AFP/Yuri Kadobnov)
<http://gatra.com/images/gambar/245/81.jpg> Virginia Rose (Gina) dan
Abraham Lincoln (Aam), dua anak muda Parepare, kini merantau ke Rusia.
Keduanya mengelana ke negeri nun di ufuk barat bumi, mengejar ilmu dan
kebajikan. Dan sore itu, keduanya berjalan mengitari kota tua yang
eksotis itu dan mampir di Gorky Park, taman di sisi Sungai Moskow yang
terkenal.

Di Gorky Park yang menjadi arena bagi seniman Moskow menampilkan
karya-karya mereka, Gina dan Aam berbaur dengan para wisatawan. Di dekat
sebuah galeri lukisan jalanan, keduanya tertegun melihat seorang lelaki
tua yang wajahnya teramat Melayu. Pak Tua ini juga menatap mereka. Hanya
saja, Gina dan Aam tidak berani langsung menyapa, khawatir jika Pak Tua
itu bukan orang Indonesia.

Tapi keraguan mereka sirna. "Anak berdua d! ari Indonesia?" tanya Pak
Tua itu. Senyum Gina dan Aam langsung merekah. Mereka mengangguk, lalu
memperkenalkan diri. "Nama saya Ambo Upe. Saya sudah hampir 50 tahun di
sini," katanya. Saking gembiranya, Pak Tua yang telah berusia 75 tahun
itu mengajak mereka berjalan menyusur Gorky Park dengan setengah
menyeret badan.

Pak Ambo lantas bercerita. Ia datang ke Moskow setengah abad silam untuk
bersekolah. Tapi ia kemudian jatuh cinta pada warga setempat dan
menikah. Jadilah ia menetap di ibu kota Rusia itu, bahkan belakangan
menjadi warga negara setempat. Istrinya telah meninggal, beberapa tahun
silam. Ia sendiri tak pernah pulang ke Indonesia.

Kerinduannya pada negeri leluhur hanya ia lampiaskan dengan berkirim
surat kepada kerabat di Tanah Air. Tapi kini, kerabat-kerabat sebayanya
sudah berpulang. Putus sudah hubungannya ke Indonesia. Karena itulah, ia
begitu girang bertemu Gina dan Aam. "Kenapa Kakek tidak kembali saja ke
Indonesia. Bukankah di sini tidak ada ! sanak saudara?" tanya Gina yang
penasaran.

Pak Tua Ambo hanya m enerawang sejenak, lalu menjawab, "Itu memang
keinginan terbesar dan terakhir saya. Betapa inginnya menghabiskan
hari-hari tua di Indonesia. Tapi di sana, saya mau makan apa? Lagi pula,
saya ini orang asing, warga negara Rusia. Tentu tidak mudah berurusan
dengan birokrasi di sana, apalagi saya sudah tua. Di sini, hidup saya
dijamin negara. Saya menerima uang pensiun dan tunjangan sosial."

Gina tertegun penuh iba, tapi tak bisa berbuat banyak. Untunglah ada Aam
yang menemukan ide --meski tak mudah.

Bagi Aam, pengalaman Pak Ambo tentu juga dialami banyak orang Indonesia
yang pada saat ini tinggal di berbagai belahan bumi lainnya dan menjadi
warga negara asing. "Bapak tidak sendirian. Tapi nasib dan kerinduan
Bapak sebenarnya bisa dicarikan jalan keluarnya," kata Aam.

Kendati telah mengantongi paspor negara baru, sebagai bangsa Indonesia,
mereka tetap berharap, suatu saat menghabiskan hari-hari tua di
Indonesia. Hanya saja, karena telah lama tercerabut dari! kegiatan
sosial bangsanya, mereka tak mungkin menanggalkan status WNA dan kembali
menjadi warga negara Indonesia. Jika jalan ini yang mereka tempuh, tentu
mereka akan sengsara karena tidak lagi berpenghasilan. Sedangkan di
negara baru itu, mereka ditunjang oleh negara.

Aam pun teringat, pada saat ini Undang-Undang Keimigrasian hendak
dibahas di DPR-RI. Ia mengharapkan, ada satu pasal dalam RUU itu yang
kurang lebih mengatakan: untuk orang-orang Indonesia yang telah lama
tinggal di luar negeri dan sudah menjadi warga negara asing dan
setidak-tidaknya telah berusia 70 tahun, dibolehkan tinggal di Indonesia
tanpa batas waktu dan tanpa harus mengubah status kewarganegaraan yang
dipegangnya.

Lagi pula, kata Aam, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan membuka diri mengenai orang Indonesia yang telah
kehilangan kewarganegaraannya dapat kembali menjadi warga negara tanpa
melalui proses naturalisasi.

Pendapat Aam itu didasari tiga hal. Pertam! a, dari aspek kemanusiaan,
Aam tahu benar pemeo hidup manusia yang dia nut di banyak tempat di muka
bumi: di mana manusia lahir, di situ pula ia cenderung menghabiskan masa
tua dan menutup hidupnya.

Kedua, kemudahan bagi orang Indonesia warga negara asing berusia di atas
70 tahun ini membantu mereka untuk melakukan rekonsiliasi dengan
keluarga besar yang lama ditinggalkan. Ketiga, dari segi ekonomi tentu
menguntungkan karena orang-orang tua ini tetap menerima dana pensiun dan
tunjangan sosial dari negaranya, tapi membelanjakannya di Indonesia
sepanjang sisa hidupnya.

Selapis air bening tampak menjadi kabut di mata Pak Ambo mendengar
uraian Aam. "Mudah-mudahan, Nak. Kalau itu bisa terwujud, sayalah orang
tua pertama yang akan memesan tiket ke Indonesia," katanya.

Pertemuan di Gorky Park itu singkat tapi sungguh membekas, bagi Gina dan
Aam, juga bagi Pak Tua Ambo. Setelah berbincang panjang lebar, membagi
kerinduan tentang Tanah Air, mereka berpisah. Gina dan Aam kembali
berjalan menuju stasiun bawah tanah terdekat. Masih dit! olehnya Pak Tua
tadi yang menyeret kaki menyusuri Gorky Park di pinggiran Sungai Moskow
yang tenang.

Hamid Awaludin
Pemerhati Masalah Hukum
[Kolom, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 26 Juni 2008] 




 

Kirim email ke