betul itu k iqbal, masih banyak penyebab climate change yang lain...
industri peternakan memang memproduksi gas (manusia juga), tapi berapa persen 
sih pengaruhnya???

--- Pada Kam, 11/9/08, iqbal makmur <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
Dari: iqbal makmur <[EMAIL PROTECTED]>
Topik: Re: [GM2020] Akibat Pemanasan Global dan Peternakan Sapi
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Tanggal: Kamis, 11 September, 2008, 2:06 PM










    
            Assalamualaikum Pak Ramang and milister...
Artikel Cindy Tan ini memang sempat menjadi issu yang menarik satu tahun 
belakangan ini. Sekilas memang kita jadi khawatir membaca fakta2 yang diuraikan 
secara panjang lebar dalam laporan ini. Tapi kalau kita baca dengan seksama, 
ada beberapa kejanggalan dalam laporan ini. Contohnya adalah Jumlah emisi gas 
rumah kaca dari industri peternakan yang 5 persen lebih banyak dibandingkan gas 
seluruh transportasi di dunia bila digabungkan, perlu dipertanyakan metode 
pengambilan data dan wilayah yang di survey karena data yang dihasilkan kurang 
logis jika dibandingkan dengan kenyataan di lapangan. Laporan tentang sumber 
gas rumah kaca pun kurang fair karena tidak memuat beberapa penyumbang terbesar 
seperti industri manufaktur dan pabrik2lainnya  yang menggunakan bahan bakar 
fosil. Produksi gas metan oleh ternak pun tidak seberapa jika dibandingkan 
dengan yang dihasilkan oleh proses pembusukan biomassa di rawa2 atau dari 
sampah yang menumpuk. Bahkan gas
 metan dari kotoran ternak bisa dimanfaatkan menjadi biogas.
Cindy tan juga menyinggung tentang pembabatan hutan yang dijadikan lahan 
peternakan. Ini juga tidak seberapa dengan alih fungsi hutan menjadi daerah 
pemukiman, proyek pertambangan atau mungkin ilegal logging. Begitu juga dengan 
meningkatnya pemanfaatan energi listrik, transportasi, industri pakan dan 
obat2an. Terlalu naif jika hanya industri peternakan yang harus memikul 
tanggungjawab untuk hal2 seperti ini. Bagaimana dengan industri rokok, industri 
minuman keras, industri senjata bahkan industri IT sekalipun.
Saya bahkan bisa menambahkan bahwa industri peternakan bisa memainkan peranan 
penting dalam mengurangi produksi emisi gas rumah kaca. Dengan dikumpulkannya 
ternak dalam satu wilayah maka akan lebih mudah di manage dan dimanfaatkan 
kotorannya untuk memproduksi bio gas. Industri peternakan juga bisa 
meminimalisir proses penumpukan dan pembakaran sampah yang bisa menghasilkan 
CO2 dan gas Metan yaitu dengan memanfaatkan agriculture waste sebagai pakan 
ternak.
Dalam beberapa hal saya sangat sepakat dengan artikel ini, tapi kalau ujung2nya 
malah bisa menghancurkan salah satu industri yang menyangkut hidup orang banyak 
tanpa melalui tinjauan yang komprehensif, saya kira itu terlalu terburu-buru.
 
Selamat menjalankan ibadah puasa
Mohon maaf lahir batin
 
Iqbal
--- On Wed, 9/10/08, Ramang H.Demolinggo <rama_demolingo@ yahoo.com> wrote:

From: Ramang H.Demolinggo <rama_demolingo@ yahoo.com>
Subject: [GM2020] Akibat Pemanasan Global dan Peternakan Sapi
To: "Gorontalomaju2020" <gorontalomaju2020@ yahoogroups. com>
Date: Wednesday, September 10, 2008, 8:29 PM








Akibat Pemanasan Global dan Peternakan Sapi

Apa Penyebab Utama Pemanasan Global?, menurut Chindy Tan dalam laporan PBB 
(FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options 
(Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan 
menghasilkan emisi gas rumah kaca yang paling tinggi (18%),jumlah ini melebihi 
gabungan dari seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). PBB juga menambahkan 
bahwa emisi yang dihitung hanya berdasarkan emisi CO2 saja, padahal industri 
peternakan juga merupakan salah satu sumber utama pencemaran tanah dan air 
bersih. Peternakan melepaskan 9 % karbondioksida dan 37 % gas metana (23 kali 
lebih berbahaya dari CO2). Selain itu, kotoran ternak menyumbang 65 % 
nitrooksida (296 kali lebih berbahaya dari CO2), 
serta 64 % amonia penyebab hujan asam. Jadi menurut hemat kami bahwa peternakan 
dan pebiakan sapi di propinsi Gorontalo yang menjadi kebijakan selama ini perlu 
di
 kaji ulang. Teman teman milis GM2020 yang sedang menjalankan ibadah puasa yang 
berbahagia….. Alarm tanda bahaya dampak pemanasan global berbunyi semakin 
nyaring. Pola pencairan es di Kutub merupakan salah satu indikatornya. 
Perubahan demi perubahan melaju dalam hitungan bulan. Tanggal 18 Maret 2008, 
Jay Zwally, ahli iklim NASA, memprediksi es di Arktika hampir semua akan 
mencair pada akhir musim panas 2012. Hanya dalam waktu dua bulan prediksi 
itu bergeser. Tanggal 1 Mei 2008 lalu, prediksi terbaru dilansir NASA: 
mencairnya semua es di Arktika bisa terjadi di akhir tahun 2008 ini. Sederet 
tanda-tanda bahaya yang telah terjadi sebelumnya adalah volume es di Arktika 
pada musim panas 2007 hanya tinggal setengah dari empat tahun sebelumnya. Es di 
Greenland yang telah mencair mencapai 19 juta ton. Fenomena terbaru lainnya, 
pada tanggal 8 Maret 2008 beting es Wilkins di Antartika yang berusia 1500 
tahun pecah dan runtuh seluas 414
 kilometer 
persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya atau sepertiga luas Jakarta).
Ada 400 miliar ton gas Metana di dasar laut Kutub yang dapat memusnahkan 
kehidupan 
di Bumi Efek domino apa yang membayang bila es di Arktika mencair semua? 
Mencairnya es di Arktika tidak akan menaikkan level permukaan air laut, 
melainkan akan mempercepat siklus pemanasan global itu sendiri. Bila es di 
Arktika mencair semua, 80% sinar matahari yang sebelumnya dipantulkan akan 
diserap 95% oleh air laut. Konsekuensi lanjut adalah potensi terlepasnya 400 
miliar ton gas metana atau 3000 kali dari jumlah gas metana di atmosfer. Gas 
metana dapat terlepas akibat mencairnya bekuan gas metana yang stabil pada suhu 
di bawah dua derajat celcius. Seperti diketahui, gas metana
memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar dari gas CO2. Salah satu skenario 
yang mungkin terjadi adalah terulangnya bencana kepunahan massal yang pernah 
terjadi pada 55 juta tahun yang
 lalu dikenal dengan masa PETM (Paleocene-Eocene Thermal Maximum). Saat itu, 
gas metana yang terlepas ke atmosfer mengakibatkan percepatan pemanasan global 
hingga mengakibatkan kepunahan massal. Bukti geologi lain menunjukkan kepunahan 
massal juga pernah terjadi 251 juta tahun lalu, pada akhir periode Permian. 
Akibat terlepasnya gas metana, lebih dari 94% spesies mengalami kepunahan 
massal. Kematian massal terjadi mendadak karena turunnya level oksigen secara 
ekstrem.

Membaca fakta-fakta di atas, satu hal yang patut digarisbawahi adalah tenggang 
waktu yang semakin sempit. Dr. Rajendra K.. Pachauri, Ketua IPCC,menekankan 
bahwa dua tahun ke depan merupakan masa tenggang penting untuk menghambat laju 
pemanasan global yang bergerak dengan sangat cepat. James Hansen, ahli iklim 
NASA, mengatakan bahwa kita telah berada di titik sepuluh persen di atas batas 
ambang kemampuan Bumi mencerna CO2. Artinya, kita telah melampaui titik balik. 
Pada level saat ini,
 tindakan yang harus diambil bukan lagi mengurangi, melainkan menghentikan.

Kita butuh kecepatan dan ketepatan membaca masalah hingga dapat memilih solusi 
yang efektif. Solusi yang mampu berpacu dengan waktu untuk memperlambat laju 
pemanasan global. Berkaitan dengan ini, dalam konferensi persnya di Paris, 15 
Januari 2008, Pachauri mengimbau masyarakat dunia dalam tingkat individu untuk: 
pertama, jangan makan daging. Kedua, kendarai sepeda. Ketiga, jadilah konsumen 
yang hemat. Mengapa 
"jangan makan daging" berada pada urutan pertama? Fakta berbicara, seperti 
laporan yang dirilis Badan Pangan Dunia – FAO (2006) dalam Livestock's Long 
Shadow
Environmental Issues and Options, daging merupakan komoditas penghasil emisi 
karbon paling intensif 18%), bahkan melebihi kontribusi emisi karbon gabungan 
seluruh kendaraan bermotor (motor, mobil, truk, pesawat, kapal, kereta api, 
helikopter) di dunia (13%). Peternakan juga adalah penggerak utama
 dari penebangan hutan. Diperkirakan 70% persen bekas hutan di Amazon telah 
dialih-fungsikan menjadi ladang ternak. Setiap 
tahunnya, penebangan hutan untuk pembukaan lahan peternakan berkontribusi emisi 
2,4 miliar ton CO2.

Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan
pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin 
pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin merupakan mata rantai 
paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari 
rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada 
konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk 
mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam 
peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin. 

Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis 
adalah pemanfaatan hasil
 pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini 
digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein 
(kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri 
pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Prediksi 
produksi pakan ternak naik dari 7,2 juta ton menjadi 7,7 juta ton, kata Ketua 
Gabungan Perusahaan Pembibitan 
Unggas-Paulus Setiabudi (Kompas, 8 November 2007). Sementara itu, menurut data 
Indonesian Nutrition Network (INN), setengah dari penduduk Indonesia mengalami 
kelaparan tersembunyi (16 Sept 2005), sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri 
Kesehatan DR. dr. Fadillah Supari, SPJP(K). 

Tanggal 30 April 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak segenap 
bangsa ini untuk bersama saling membahu menghadapi krisis pangan dunia. Akar 
masalah kelangkaan pangan jika dicermati salah satunya adalah krisis manajemen 
lahan itu sendiri.
 Secara matematis, inefisiensi pemakaian lahan pertanian untuk pakan ternak 
tercermin dari perhitungan kalori yang "terbuang" untuk membesarkan ternak 
cukup. Pakan yang selama ini diberikan kepada ternak dapat memenuhi kebutuhan 
kalori 8,7 miliar orang! Berarti masih ada kelebihan kalori untuk 2,1 miliar 
orang. Sebenarnya tidaklah sulit untuk memahami mendesaknya perubahan pola 
makan ini, yakni perubahan ke pola makan yang mata rantainya pendek. Perut 
manusia bisa langsung mencerna
kedelai, jagung dan gandum tanpa harus melalui perut ternak terlebih dahulu. 
Tidakkah beralih ke pola makan bebas daging justru dapat menjadi solusi 
ketimpangan akses pangan seluruh dunia? 

Pertanian untuk pakan ternak itu sendiri merupakan penyumbang 9% CO2 
(karbondioksida) , 65% N2O (dinitrooksida) dan 37% CH4 (metana). Perlu 
diketahui efek rumah kaca N2O adalah 296 kali CO2, sedangkan CH4 adalah 25 kali 
CO2. Satu lagi masalah industri peternakan yang sangat
 krusial yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk 
irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram 
daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga 
penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun 
Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, 
memaparkan dalam bukunya "Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization" (2008) 
bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, 
tidak heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi. 

Jejak emisi gas rumah kaca daging terukur jelas. Dr Rajendra memberi ilustrasi 
konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, 
domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu 
100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2, tidak 
heran bila data dari film dokumenter
 "Meat The Truth" menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan 
mengendarai kendaraan sejauh 70.000 km. 
Penelitian di Belanda(www. partijvourdedie. en.el) mengungkapkan, seminggu 
sekali saja membebaskan piring makan dari daging masih 7,6 kali lebih cepat 
dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.

Penelitian paling gres yang dilakukan Prof. Gidon Eshel dan Pamela A. Martin 
("Diet, Energy and Global Warming") merunut kontribusi setiap potongan daging 
terhadap emisi karbon. Penelitian ini diakui secara ilmiah dan dipublikasikan 
dalam jurnal bergengsi para ilmuwan Earth Interaction Vol. 10 (Maret 2006). 
Jumlah gas rumah kaca yang diemisikan oleh daging merah, ikan,unggas, susu dan 
telur jika dibandingkan dengan diet murni nabati/vegan, ternyata jika satu 
orang dalam setahun mau mengganti diet hewani mereka ke diet nabati murni/vegan 
akan mencegah emisi CO2 sebesar 1,5 ton. Lima puluh persen lebih
 efektif daripada upaya mengganti mobil Toyota Camry ke mobil  
Toyota Prius hybrid sekalipun yang ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi 
CO2.

Objektivitas akan menuntun kita untuk mengakui pola konsumsi daging sebagai 
kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Pilihan kita tidak banyak, mengingat 
tenggat waktu yang demikian sempit. Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew 
Bartlett, bahwa seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk 
menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, 
bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produk hewani, kesempatan kita untuk 
menghentikan perubahan iklim adalah nihil. Menurut Bartlett, tidak ada langkah 
yang lebih murah, lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan yang dapat 
mengurangi kontribusi tiap individu 
terhadap emisi gas rumah kaca selain memangkas jumlah konsumsi daging dan 
produk susu dan olahannya.

Aksi untuk hemat bahan
 bakar kita masih banyak bergantung pada fasilitas umum. Upaya yang paling bisa 
kita lakukan adalah menggunakan kendaraan umum. Namun, sudah
menjadi rahasia umum, tidak mudah untuk menggunakan kendaraan umum jika 
berhadapan dengan kepentingan keamanan, dan untuk ini kita masih bergantung 
pada kebijakan pemerintah. Aksi hemat energi dalam konteks yang paling ideal 
bergantung pada teknologi. Sumber energi paling ramah lingkungan yakni tenaga 
angin, air, dan matahari, masih jauh membutuhkan teknologi dan biaya yang tidak 
kecil. Butuh waktu yang panjang dan upaya ekstra untuk menggerakkan kesadaran 
massal untuk hemat energi, hemat listrik, hemat bahan bakar karena harus 
berhadapan dengan kebiasaan dan perilaku yang telah mengakar. 

Mengubah pola makan juga berhadapan dengan kebiasaan yang telah mengakar.. 
Namun, memegang sendok dan akhirnya menjatuhkan pilihan apa yang akan 
dimasukkan ke mulut kita, sepenuhnya berada di kendali kita. Langsung
 bisa dilakukan! Jarak antara piring dan mulut kita mungkin hanya sejarak 
panjang sendok, membalikkan isi sendoknya hanya butuh waktu sekedipan mata, 
tapi kendalinya ada pada mindset tiap kita. Sejenak, biarkan kepala dingin 
hadir. Mari dengan mata jernih melihat realitas, mengakui fakta betapa tekanan 
pola konsumsi daging sedemikian hebatnya pada daya dukung Bumi. Sejenak 
merasakan beban berat Bumi ini mungkin akan menggeser pilihan kita ke pola 
konsumsi tanpa daging, pola yang jauh lebih ramah Bumi. 
Artikel ini bersumber dari beberapa artikel di media online diantaranya ;di 
download dari buku pemanasan global dan situs online selebritis vegetarian 
Indonesia, dimana saat ini saya di percaya oleh NGO Internasional untuk dapat 
memberikan information yang berkaitan dengan lingkungan di antaranya akibat 
pemanasan global dan Peternakan sapi.


Salam,
Ramang H Demolingo
Information Management Communication Officer (IMCO)
PROGRAM
 SUCLAM PROJECT GORONTALO
Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihood and Management
Wetland International Indonesia Program (WIIP)





Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
br> Cepat sebelum diambil orang lain!



      
      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      
___________________________________________________________________________
Yahoo! Toolbar kini dilengkapi dengan Search Assist. Download sekarang juga.
http://id.toolbar.yahoo.com/

Reply via email to