tidak usah di tanya, kalo di TN Bogani Nani Wartabone dan Nantu jauh lebih 
sadis dari itu. so pernah lia sandiri to?
 
Salam,
Dewi

--- On Tue, 9/16/08, Tuturuga <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Tuturuga <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [GM2020] Jejak Pemburu Satwa Langka di Hutan Lampung
To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Tuesday, September 16, 2008, 11:01 PM






Bagaimana dengan di TN Bogani Nani Wartabone dan Nantu?

============

Jejak Pemburu Satwa Langka di Hutan Lampung

Oleh Budisantoso Budiman

Bandar Lampung (ANTARA News) - Perburuan liar menjadi ancaman bagi Taman 
Nasional 
Way Kambas (TNWK), di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, selain 
perambahan 
hutan, pencurian hasil hutan, dan pembakaran dengan cara terlarang.

"Ya, perburuan liar merupakan salah satu ancaman serius kelestarian hutan di 
TNWK ini," 
kata Koordinator Polisi Hutan Balai TNWK Bustami. 

Menurut dia, kendati jumlah kasus perburuan liar yang ditangani cenderung 
menurun, 
bukan berarti komplotan pemburu satwa langka itu tidak ada lagi.

"Mereka semakin canggih dan pintar, sehingga bisa tetap berkeliaran di dalam 
hutan 
justru ketika kami tidak berpatroli atau main kucing-kucingan karena mampu 
memantau 
aktivitas patroli kami di hutan itu," kata Bustami.

Jejak pelaku perburuan liar itu, menurut Koordinator Operasional Tim Rhino 
Protection 
Unit (RPU) TNWK Hartato, dapat terlacak dari ditemukannya sejumlah peralatan 
berburu 
milik kelompok tradisional maupun modern dalam hutan seluas sekitar 130.000 ha 
itu.

Dia menunjukkan sejumlah barang bukti yang diperoleh, di antaranya berbagai 
jenis kawat 
baja (seling) dengan beragam ukuran, dan sejumlah senjata tajam, seperti 
tombak, golok, 
dan senjata api rakitan (locok).

Hartato juga memperlihatkan bekas-bekas keganasan perburuan liar itu, yaitu 
berupa 
kerangka bagian tubuh satwa dilindungi yang didapat dari dalam hutan.

Contoh itu, antara lain kerangka badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) , 
gajah 
sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan harimau sumatera (Panthera tigris 
sumatrae).

Selain satwa langka dilindungi jenis mamalia besar, satwa lain yang diincar 
pemburu 
adalah babi hutan, kijang, dan rusa sambar (Cervus unicolor).

Mereka adalah para pemburu tradisional yang biasanya menggunakan beberapa ekor 
anjing geladak terlatih dan sejumlah peralatan. 

Pemburu lokal atau tradisional itu umumnya mengincar babi hutan, kijang, dan 
rusa, 
antara lain untuk dimakan sendiri maupun dijual di pasar setempat.

Pemburu lain diduga merupakan bagian komplotan jaringan perburuan liar yang 
mengincar bagian tubuh satwa langka untuk diperjualbelikan sampai keluar negeri.

Mereka biasa menggunakan peralatan modern, seperti telepon genggam, sepeda 
motor 
atau mobil berburu, dan senjata api. 

"Kami sudah berupaya maksimal mengamankan satwa liar langka dilindungi di hutan 
ini. 
Tapi pelaku pemburu liar juga semakin pandai dan lihai," kata Bustami.

Polisi Hutan selain mendapatkan dukungan dari personil RPU, juga 
mengkoordinasikan 
penanganan pemburu liar itu dengan Polres setempat.

Polres Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) juga berkali-kali memproses hukum 
tersangka 
pelaku perburuan liar di dalam kawasan hutan TNWK itu.

Pengadilan juga sudah memvonis pelaku perburuan liar maupun perambahan dan 
pengrusakan hutan (termasuk pembakaran hutan) dengan hukuman satu hingga lima 
tahun penjara.

Belum lama ini, Polres Lamtim membekuk tersangka perburuan liar, M. Musa 
Syaifullah bin 
M Said (36), yang sempat buron selama dua tahun, berdasarkan laporan dari 
Polhut TNWK, 
Tim RPU, dan warga setempat.

Tersangka diserahkan ke Kejaksaan Negeri Sukadana, berikut barang bukti dan 
berita 
acara pemeriksaan untuk segera disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Sukadana. 

Menurut saksi petugas dari RPU TNWK, Muslimin, tersangka pelaku perburuan liar 
di 
dalam kawasan hutan TNWK itu dipergoki petugas yang sedang berpatroli di hutan 
itu 
pada 21 Januari 2006, sekitar pukul 02.00 WIB dinihari, di jembatan Umbul Ogan, 
Rajabasa Basa Lama Dua, Kec. Labuhan Ratu, Lamtim.

Pelaku terlihat membawa serta sebuah senjata api laras panjang. Dua orang lolos 
dari 
sergapan petugas setelah berusaha menakut-nakuti dengan senjata yang mereka 
pegang.

Satu pelakulolos menggunakan sepeda motor, dan satu pelaku lainnya kendati 
hampir 
diringkus akhirnya juga bisa melarikan diri dari sergapan petugas Polhut dan 
RPU TNWK 
itu.

Namun dari sekitar lokasi, petugas mendapati barang bukti, termasuk karung 
berisi 
seekor kijang dalam keadaan mati yang telah dipotong.

Kijang itu luka tembak di paha yang dipastikan ulah para pemburu liar itu.

Kendati saat itu tidak berhasil membekuk pelakunya, petugas Polhut dan RPU TNWK 
melaporkan tindak pidana itu ke Polsek Way Jepara dan Polres Lamtim yang 
kemudian 
melakukan perburuan. 

Dua tahun kemudian, polisi mendapatkan informasi dari masyarakat mengenai 
kehadiran 
salah satu pelaku perburuan liar itu di rumahnya. 

Sebelumnya, polisi beberapa kali menggerebek rumah itu, tapi gagal menemukan 
pelaku.

Pada 30 Juli 2008, satu pelaku perburuan liar itu dibekuk di rumahnya Dusun 
Gunung 
Terang, Desa Labuhan Ratu. Namun satu pelaku lainnya hingga kini belum 
diketahui 
keberadaannya. 

"Kami terus memburu pelaku lain setelah Syaifullah ini berhasil ditangkap dan 
akan 
diproses hukum lebih lanjut," kata penyidik dari Polres Lamtim Briptu Slamet 
Hariyanto, 
didampingi Korwas PPNS Bripka Wahyu Rihadi yang mendampingi Kasatreskrim Polres 
setempat, AKP Sugianto.

Menurut pengakuan Syaifullah, pelaku yang masih buron adalah MW (30), warga 
Desa 
Rajabasa Lama Induk, Kecamatan Labuhan Ratu, yang sehari-hari bekerja sebagai 
petani 
di sana.

Penerapan hukuman yang relatif berat bagi pelaku tindak pidana pelanggaran 
perundangan lingkungan hidup (penebangan liar, perburuan satwa dilindungi, 
perambahan hutan), dipercayai dapat menurunkan kasus hukum yang diproses di 
lingkungan hutan TNWK.

Menurut Bustami dan Hartato, kasus-kasus tindak pidana yang terjadi di TNWK 
cenderung 
makin berkurang sejak tahun 2003. 

"Proses hukum pelaku tindak pidana di sekitar TNWK sampai pengadilan dan tidak 
ada 
kompromi lagi," kata Bustami.

Pada 2003 terdapat 58 kasus pidana dengan 106 tersangka di TNWK, dengan 
kebanyakan 
kasus penebangan kayu di hutan.

Pada 2004 kasus itu turun menjadi hanya 36 kasus (50 tersangka), tahun 2005 
sebanyak 
15 kasus (29 tersangka), 2006 sebanyak sembilan kasus (14 tersangka), 2007 
terdapat 
sembilan kasus (12 tersangka), dan tahun 2008 terjadi lima kasus yang sedang 
ditangani 
dengan delapan tersangka.

Di antara kasus pidana di hutan TNWK itu ditemukan pula kasus pembakaran hutan 
dan 
pencurian ikan di sungai. 

"Mencuri ikan di sungai di hutan TNWK bisa dianggap sepele kasusnya, tapi 
dampaknya 
bisa serius bagi kelestarian hutan, keberadaan flora dan fauna di dalamnya 
serta biasanya 
pelaku melakukan pula aktivitas pembakaran yang bisa meluas di hutan ini," ujar 
Bustami.

Menurut Hartato, 20-an personil pengamanan badak dan mamalia besar di hutan itu 
kerap 
memergoki pelaku tindakan kejahatan, terutama penebangan liar dan perburuan 
satwa 
dilindungi. 

Sebanyak 20 personil itu bergiliran berpatroli setiap hari. 

Dia membenarkan, dalam lima tahun terakhir, kasus pidana yang kedapatan di TNWK 
cenderung menurun ,termasuk pencurian kayu dan perburuan liar meskipun tetap 
harus 
diwaspadai dan diantisipasi, mengingat indikasi komplotan pelaku pemburu liar 
dan 
pembalakan liar juga terus berkeliaran.

"Hukuman berat serta hampir tidak ada kasus temuan tindak pidana tanpa proses 
hukum, 
dapat berefek jera dan membuat pelaku baru berpikir dua kali untuk 
melakukannya, " ujar 
Bustami.

Pemburu satwa liar jenis langka dan dilindungi sesuai dengan UU No. 5 Tahun 
1990 
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dapat diancam 
dengan 
hukuman pidana kurungan selama lima tahun atau denda mencapai Rp100 juta.

Ancaman hukuman berat itu, menurut staf RPU, Ujang Suryadi, diharapkan dapat 
menekan 
tindak pidana di hutan di Lampung.

Menurut Ujang, UU tersebut diantaranya menyebutkan, setiap orang dilarang 
menangkap, 
melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, memperniagakan 
satwa dilindungi dalam keadaan hidup atau mati.

RPU menempatkan personilnya dalam pengamanan dan perlindungan satwa liar 
dilindungi 
dalam kawasan hutan TNWK di Kabupaten Lampung Timur, dan TN Bukit Barisan 
Selatan 
(TNBBS) di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus (Lampung) maupun Bengkulu 
Selatan (Bengkulu).

Hingga saat ini, kendati cenderung menurun untuk perburuan liar satwa langka 
jenis 
mamalia besar, RPU dan pengelola dua TN di Lampung, menyebutkan adanya 
kecenderungan peningkatan kasus perburuan liar terutama jenis satwa langka 
seperti babi 
hutan, kijang, dan rusa yang adalah juga jenis satwa langka dan dilindungi di 
dunia. (*)
COPYRIGHT © 2008

 














      

Kirim email ke