Jumat, 19 September 2008 | 08:46 WIB
SURABAYA - Menjadi tukang pijat belumlah cukup. Sumirah nyambi jadi
tukang sol sepatu, penjahit, dan pekerja pabrik. Sebagian hasil
keringatnya itu ia gunakan untuk membangun madrasah, masjid, mushala,
dan mengurus anak yatim. Ternyata, beramal tidak harus menunggu kaya.

Penolakan halus langsung diucapkan Sumirah, pimpinan Panti Asuhan Yatim
Piatu Amanah, Rungkut, Surabaya, saat akan diwawancarai Surya untuk
tulisan ini. "Saya ini apalah mbak, kok pakai diwawancarai. Masih banyak
yang lebih bagus, lebih pintar, dan lebih hebat," elaknya saat ditemui
di Panti Asuhan Amanah sekaligus rumahnya di Jalan Pandugo Gg II Nomor
30 B, Rungkut, Senin (15/9).

Secara materi, Sumirah memang belum bisa dibandingkan dengan pengusaha
sukses. Namun, kekayaan hati Sumirah mungkin hanya dimiliki segelintir
orang pada abad ini.

Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini tak cukup mengelola panti asuhan.
Ia mendirikan madrasah, masjid, dan mushala di kampungnya, Pacitan.
Mungkin juga sulit dipercaya, Sumirah menghidupi anak-anak yatim dengan
menjadi tukang pijat panggilan.

Rasa empati Sumirah sudah terpupuk sejak kecil. Ia terbiasa bergaul
dengan anak-anak yatim asuhan almarhum Atmorejo, ayahnya. "Saat itu ada
100 anak yatim dan anak-anak lain yang berlatih ilmu kanuragan
(kebatinan) di rumah. Mereka semua tinggal di rumah," kata ibu lima anak
ini.

Secara materi Sumirah kecil tercukupi, tetapi didikan ayahnya tidak
membuatnya manja. Bahkan, sejak kelas II SD ia sudah menjadi tukang
pijat alternatif, warisan keahlian turun temurun. Duitnya "ditabung" di
mushala di Desa Kembang, Kecamatan Pacitan.

"Saat itu saya masih ingat nasihat ayah, 'Kalau kamu punya rezeki, 50
persen untuk kamu dan 50 persen lagi untuk mushala. Pasti rezeki itu
akan barokah'," ujarnya.

Pesan almarhum ayahnya terus diingat Sumirah. Setiap rupiah yang
dihasilkan selalu disisihkan untuk mushala. Begitu pula ketika orderan
memijat merambah hingga Madiun, bahkan Semarang.

Saat SMP Sumirah dan kakaknya hijrah ke Jakarta. Di kota megapolitan ini
Sumirah tidak tertarik mencicipi pekerjaan lain. Kebetulan, kemampuan
memijatnya tersohor hingga ke Jawa Barat. Pada 1986 Sumirah dan suami
mencari peruntungan di Surabaya. Di kota ini selain tetap memijat, ia
bekerja di pabrik PT Horison Sintex (sekarang Lotus). Ia hanya masuk
pabrik hari Selasa, Rabu, dan Kamis.

Namun, dua profesi itu belum cukup. Merasa waktunya masih senggang,
Sumirah mencari pekerjaan sampingan. Ia menjadi tukang sol sepatu,
menjahit baju, dan tukang keriting rambut. "Karena pekerjaan banyak,
rata-rata saya hanya tidur dua jam sehari. Mijat saja sehari hingga 20
kali," katanya sambil tersenyum.

Kerja keras itu impas dengan hasilnya. Sehari, tidak kurang ia
mengantongi Rp 2 juta. Namun, limpahan uang itu tidak membuatnya mabuk.
Uang itu dialirkan untuk membangun madrasah, mushala-mushala, dan masjid
di desanya. Sumirah enggan menyebut nama mushala itu. "Nanti saya ndak
diridaikalau pamer," katanya.

Suatu ketika, Sumirah pulang kampung. Jalan di desanya tidak bisa
dilewati karena rusak berat. Prihatin, ia dan suaminya memperkeras
seluruh jalan itu dengan paving blok. Walhasil, rencana naik haji
seketika batal karena simpanan Rp 60 juta habis untuk ongkos paving.

"Saya tidak pernah menyimpan uang di bank. Bukan apa-apa, tapi karena
tanda tangan saya tidak pernah sama. Itu tentu tidak boleh kan?"
katanya.

Hidup Sumirah teruji saat dia melihat banyak anak telantar di sekitar
kampungnya. Dia nekat menampung 54 anak yatim itu di rumahnya yang
berukuran 2,5 meter x 13 meter. "Sebagian dari mereka saya koskan di
depan rumah. Saya sewa tiga kamar," katanya.

Masalah datang ketika anak asuhnya ndableg dengan menghabiskan air dan
sabun milik ibu kos. Sekitar pukul 21.00 anak-anak itu diusir. "Mereka
saya tampung di rumah saya. Jadi, mereka tidur sambil duduk," kata
Sumirah.

Esoknya, Sumirah mencari kontrakan untuk mereka. Tawaran kontrakan Rp 4
juta ditolak karena Sumirah tak punya duit. Di tengah kesulitan ia
berdoa. Mendadak ada semacam dorongan untuk menghubungi Pak Triyono,
dermawan dari Barata Jaya, Surabaya. Sumirah kaget, Pak Triyono
memberinya zakat maal (zakat kekayaan) sejumlah Rp 4 juta. "Agar tidak
mengganggu penduduk kampung, pagi-pagi sekali kami pindahan," katanya.

Panti Asuhan Amanah kini menampung 60 anak yatim, dibangun Sumirah pada
1996. Mereka kanak-kanak hingga remaja. Belum lama ini Sumirah mengasuh
balita yang ditinggal mati bapaknya. Amelia, balita itu, sekarang
berumur sembilan bulan. "Oh ya, Saya sudah menikahkan 13 anak di sini,
16 Oktober nanti saya mantu lagi," ujarnya dengan mata berbinar.

Untuk mencukupi hidup anak asuhnya, Sumirah tidak mengandalkan bantuan
donatur yang sebagian adalah pelanggan pijatnya. Selepas subuh, anak
yatim itu berdagang kelapa kupas, sayuran, dan bumbu. Sumirah dan suami
juga membuka toko kelontong.

Mengakhiri kisahnya, Sumirah sempat bilang, "Pergunakanlah mata hati.
Banyak orang pintar yang belum tentu mengerti." (MUSAHADAH)




Kirim email ke