--- On Fri, 9/26/08, bakri arbie <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: bakri arbie <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Fw: [Forum Pembaca KOMPAS] Kufur Nikmat Berbuah Pelancong Kalong
To: "arbie bakri" <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Friday, September 26, 2008, 7:43 PM

Yth Rekan milis,

        

Saya pikir Gorontalo masih jauh dari apa yang ditulis sdr Iwan Piliang,

tentang turime di Sumatera Barat.

Tetapi ada baiknya mulai dipikirkan juga turisme di Gorontalo.

Odu olo.



--- On Fri, 9/26/08, iwan piliang <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: iwan piliang <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Kufur Nikmat Berbuah Pelancong Kalong
To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Date: Friday, September 26, 2008, 10:26 AM










    
            SKETSA

Jumat, 26 September 2008

Kufur Nikmat Berbuah Pelancong Kalong 

   

PUKUL 04.00 di Hotel Pusako, Bukittinggi, 16 September 2008. Dua
puluhan orang turis bule asal Belanda di restoran hotel tampak seakan
makan sahur. Dari tamu melayu yang sahur, hanya saya seorang diri.
Pertanyaan membuncah di benak, apa semua turis itu berpuasa? 



Adegan yang sama, terulang kembali pada 23 September 2008, seusai
menjadi fasilitator Literary Journalism Wokrshop, bagi media
alternatif; kampus, online, blogger se-Sumatera. Saya amati di pukul
04.00 itu, kian banyak saja bule yang sahur, lebih dari tiga puluh
orang, semua asal Belanda. Lagi-lagi menimbulkan tanya, apakah mereka
berpuasa? 



Setelah memverifikasi ke receptionist hotel, juga bertanya kepada tour
guide, “Rombongan turis itu, seusai sarapan pagi langsung berangkat
naik bis kembali menuju Medan.” 



Padahal dari dua pertemuan itu, mereka saya amati umumnya chec-in ke
hotel sudah di atas pukul 19.00. Sekitar pukul 19.30 mereka makan
malam. Lantas sesubuh mungkin mereka sudah meninggalkan hotel, mengejar
perjalanan berbis AC, melihat panorama di Embun Pagi, Kelok 44, lalu
menyusuri jalan darat balik ke Medan, Sumatera Utara. “Dari Medan
mereka terbang,” kata reception hotel. 



Itu artinya; mereka hanya semalam saja di Bukittinggi, tidak
menyinggahi kota Padang, ibukota Sumatera Barat (Sumbar). Di tengah
tingkat hunian hotel yang tak sampai 30%, jangka waktu tinggal hanya
hitungan jam, tiada lain kalimat yang dapat dilontarkan: Malang benar
nasib pariwisata Sumbar! 



Sesungguhnya apa yang kurang di Bukittinggi; cuaca yang sejuk - -
bahkan kamar hotel tak merasa perlu berpendingin - - panorama gungung
Merapi, Singgalang, jejeran hijau kawasan bukit di sekitar Bukit
Barisan, ada Ngarai Sianok, Goa Jepang yang bersejarah, selain Jam
Gadang monumental, Danau Maninjau, Danau Di atas dan Danau Di bawah. 



Urusan kuliner jangan ditanya; mulai yang serba pedas hingga serba
manis, kebudayaan juga sama. Apa yang tak ada; mulai tarian; dari
rampak hingga tari piring yang pakai injak-injak beling. Dari perkusi,
tambur hingga indang dan randai. Kerajinan apalagi, sebut saja bordir
dan sulaman hingga tenunan Pandai Sikek yang mendunia. 



Lantas apa yang kurang? 



Bila secara ekstrim saya menyebut bahwa orang Sumbar, khususnya
Bukittinggi, kufur nikmat akan kelengkapannya sebagai tujuan wisata
yang tidak dioptimalkan, rasanya menjadi tidak berlebihan. Bahkan
sejarah kebudayaan, masyarakat yang matrilineal, yang konon cuma ada
dua di dunia, tidak menjadi sebuah asset yang dapat dipertunjukkan
kepada pelancong, yang sejarah dan dikumentasinya bisa diparadekan di
rumah adat yang bagonjong. 



Lalu di mana salahnya? 



Untuk belajar tentang bagaimana menjadi tuan rumah kota tujuan wisata
yang kreatif dan inovatif, tentulah tidak perlu orang menggunakan
paspor, tidak perlu anjangsana mara ke manca negara. Toh Bali, yang
menjadi tujuan wisawatan global, dapat menjadi dicontoh segalanya. 



Jika saja kerendah-hatian orang Sumbar ada, lihatlah mulai dari yang
remah di Bali. Begitu Anda masuk ke lobby hotel, hampir di semua hotel
bintang empat apalagi bintang lima, ada selalu gamelan Rindik, biasanya
dimainkan oleh tiga orang - - salah satu memainkan seruling - -
suaranya khas Bali. 



Sang pemain gamelan Rindik, mau diperhatikan tamu, ada tepuk tangan dan
atau tidak, mau dilirik atau dicuekkan, mereka cin-cai saja memainkan
musik, mengalun terus-terusan. Sehingga setiap tamu yang datang, saya
pastikan kuping dan hatinya merasa di Bali, selain nuansa arsitektur
mengentalkan suasana Bali. 



Hotel di Sumbar, terkadang sebaliknya melupakan identitas Rumah
Gadang-nya - - arsitektur bernilai yang menjadi ciri khasnya - - tidak
terlalu menjadi sendi perhatian bangunan. Dengan menjiplak ide
memainkan kesenian gamelan Rindik di Bali, di lobby hotel, di Sumbar
bisa dimainkan Saluang dan Rebab, juga Talempong (gamelan), sehingga
tamu yang datang berkuping beratmosfir mengental berada di Ranah
Minang. 



Selanjutnya setelah usai makan malam, blas-abis, tak ada sebuah
pertunjukan kesenian di Bukittinggi kini. Sehingga begitu jam makan
malam usai, seakan tiada lagi kehidupan, kota manjadi mati. 



Randai sebagai sebuah pertunjukan teater rakyat, padahal bisa
disuguhkan selain aneka tarian dari gadis Minang. Kenyataan kini,
hal-hal proaktif itu sudah seakan mencari ketiak ular adanya. 



Ketika dalam kesempatan berpapasan dengan petugas hotel, saya
menanyakan mengapa di setiap malam tidak diadakan pertunjukan kesenian?
Alasannya, menimbulkan biaya tambahan. Kian sadar saya, bahwa hal ini
agaknya dilatari karakter orang Minang - - di mana saya dilahirkan - -
yang hidup dengan sangat berhitung, karena kebanyakan bermental dagang;
ada hitungan untung rugi. 



Padahal bila hitung-hitungan dilakukan, investasi menghidupkan atmosfir
turisme, menghidupkan suasana kota mati menjadi dinamis dan nyalang,
saya pastikan akan mendatangkan peningkatan turis datang. Keadan secara
otomatis mengugah selera turis menambah hari kunjungan, bukan macam
hari ini sebatas meng-kalong. 



Jika saja aneka suasana, ragam budaya yang secara proaktif dan
terus-menerus dilakukan; termasuk menyediakan sentra-sentra kerajinan
yang dapat dilihat, di datangi, ada manca-ragam event. 



Bukittingi pun menyimpan kawasan untuk Arung Jeram macam di Sungai
Ayung yang melintasi Ubud, Bali. Bahkan ada titik untuk terbang
berparagliding. Bila di Timbis, Jimbaran, Bali, pemain paralayang
landing dan take off di titik yang sama, karena langsung terbang di
atas tebing, di bawah panorama laut, di Bukittingi terbang di
ketinggian bukit, dengan pemandangan gunung dan bukit mengeliling di
seputaran puncak hijaunya Sumatera; mengingat kan lagu khas Minang,
yang liriknya: Takana jo kampuang … gunuang sansai bakuliliang, nyata
adanya. 



Susah melanjutkan kata, mengapa perihal narasi saya di atas seakan jauh
panggang dari api kini? Tiada lain ujung-ujungnya memang berpulang
kepada manusia, bukan kepada alam terkembang yang dibiarkan terhampar,
seakan disia-siakan. Kunci menghidupnya, agar terhindar dari laku kufur
nikmat, adalah keasadaran manusia, kesadaran warga umbar untuk
memberikan pelayanan, menyuguhkan sesuatu kepada tamu - - padahal dalam
budayaa Minang, konon mereka sangat menghormati dan menghargai tamu - -
sehingga mereka memiliki kesan tersendiri. 



URUSAN pariwisata, semua pihak paham, menghidupkan ekonomi. Tetapi
kepahaman itu tidak dimulai dari ranah perilaku manusia dan sikap
melayani, sebagai motor penggerak. Coba saja Anda mendarat di Bandara
Internasional Minangkabau (BIM), begitu ke luar urusan pertama akan
menyaksikan taksi yang lusuh. 



Jika Anda tak ingin menggunakan taksi lusuh, ada taksi carteran “liar”,
berupa Avanza atau Xenia. Untuk ke Bukittinggi, rate-nya Rp 240 ribu,
diantar ke alamat. Pengalaman saya, supirnya cukup ramah. Mobil juga
wangi. Diperjalanan sang supir menawarkan diri untuk menjemput kembali
tiga hari kemudian dari Bukitinggi balik ke bandara. Ia mengatakan
tarif Rp 375 ribu, dengan berikut perjalanan ke Padang, balik ke
Bandara. 



Di hari H, saya menghubungi, sang supir mengatakan, harga Rp 375 ribu,
tidak termasuk bensin. Untuk bensin harus menambah lagi Rp 150 ribu.
Itu artinya Rp 525 ribu, sudah berubah angkanya. Saya tuliskan hal ini,
bukan perkara mahal dan murahnya, tetapi urusan komitmen yang berubah.
Bila hal ini dirasakan oleh seorang turis asing, kejengkelan ini
dipastikan menjadi buah bibir, menjadi pengalaman mencarter mobil di
Sumbar. 



Belum lagi ihwal kultur berbusana. Bila turis asing datang bercelana
pendek, berkaus lengan pendek, berbelahan dada rendah, sebagian
masyarakat mengkritisi, seakan daerahnya kemasukan najis. Bagaimana
bila demikian keadaannya turis menjadi betah? Jika mereka berjalan di
tengah kota seakan menjadi pesakitan. 



Kekritisan dalam busana ini, kian menjadi sangat lucu. Di Jakarta di
berbagai milis di internet kini hangat membahas ihwal RUU Pornografi,
yang dalam lema saya; RUU Urusan Cingkunek - - perintil kecil. Masih
banyak hal yang penting dan mendesak untuk di-ruu-kan, menuntut
keputusan, belum mendapatkan perhatian. Bali dan Sulut menolak habis
ihwal RUU Pornografi itu. Saya tak paham apakah Sumbar, daerah
kelahiran saya itu, menolak atau menerima? 



Saya baru saja mendapatkan email dari seorang kawan di Arab Saudi. Dia
bilang bila membawa isteri atau anak gadis naik taksi di sana, kita
lelaki harus naik duluan, bila tidak isteri atau anak gadis kita bisa
dibawa kabur lalu diperkosa. Sebaliknya bila turun taksi. Di negeri
Arab itu sosok wanita berbusana tertutup hingga muka, hanya terlihat
mata. Saya tak paham apakah pria Arab dengan melihat jemari perempuan
saja sudah menaik libidonya? Apalagi melihat pantat dan betis dari
belakang. 



Tetapi secara logika sederhana saja, jika saban hari sebuah lingkungan
terbiasa dengan melihat aurat wanita hingga rok selutut, betis-betis
yang menganga bukan lagi suatu yang memancing gairah. 



Karenanya saya kini bertanya, batas mana yang disebut aurat? Dan agamis
tidaknya seseorang, agaknya, bukan pula ditentukan oleh busana yang
melekat di dirinya. Mungkin yang perlu diperhatikan adalah batas-batas
kesopanan. Karenanya bila seorang turis perempuan berjalan-jalan dengan
celana pendek ber-tshirt belahan dada panjang di dekat Jam Gadang,
Bukittinggi, mengapa pulalah menjadi persoalan? Toh mereka itu tamu. 



Menjadi terjawab sudah: menjadi tuan rumah yang baik saja orang Sumbar
belum bisa, bagaimana pula alam terkembang yang indah dengan budaya
yang hebat itu bisa menumpah-ruahkan beragam multi bangsa beranjangsana
ke sana. 



Di lain sisi, cafe-cafe atau restoran macam di Bandung dan Bali, kini
di Bukittingi juga tak ada. View yang indah di malam hari itu, sulit
dinikmati sambil menenggak Cuppucino, atau sekedar mengemil kentang
goreng, pisang goreng, kini seakan redup tidak mentereng. 



Sebaliknya di Jakarta, saya amati pembeli apartemen, town house mewah,
banyak dilakukan oleh dokter berdarah Minang yang mukim di Menteng,
Jakarta Pusat. Investasi mereka berupa properti di Bali dan Jakarta.
Mbok ya sekali-kali mereka yang tajir yang orang Minang itu berpikir
membangun restoran dan café yang macam di Bandung atau Bali di
Bukittinggi? Mereka sebenarnya juga bisa pulang berinvestasi restoran
dan properti di Sumbar. 



Narasi di atas belum tentu diterima oleh masyarakat Sumbar, terlebih
Pemda-nya. Lebih baik saya mengingat nyanyian saluang nan merebab, “Hai
rang rantau pulanglah Minang Maiiimbau.” (Hai orang rantau, pulanglah
Minang memanggil). Siapa tahu rang rantau bisa berbuat, agar Sumbar
terhindar dari kufur nikmat akan keindahan alam dan mencaragam budaya
yang mampu membuat warganya kaya. *** 



Iwan Piliang, www.presstalk. info 

       



[Non-text portions of this message have been removed]




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      


      

Kirim email ke