Terry Mart PhD, Doktor Dijuluki Profesor : Ingin Hasilkan Uranium dari Air Laut 
git/bay/kum 
  
  
Jiwa peneliti Terry
Mart PhD tak pernah padam meski dana yang tersedia terbatas. Suatu
ketika, gara-gara tak punya biaya untuk penelitiannya, ahli fisika
nuklir dan partikel itu terpaksa menggerogoti tabungan belanja
istrinya.

Sebagai peneliti, Terry
Mart punya mimpi yang ingin dia wujudkan. Dia ingin menghasilkan
uranium melalui proses fisika di air laut. Uranium itu bisa menjadi
bahan reaktor nuklir yang menghasilkan energi luar biasa dahsyat, tapi
sangat aman.

"Itu sangat mungkin
terjadi. Bahkan, reaksinya sangat aman. Hanya, butuh waktu lama," kata
Terry kepada Jawa Pos menjelaskan soal mimpi besarnya itu, di
kantornya, lantai 3 Departemen Fisika Fakultas MIPA Universitas
Indonesia (UI).

Sehari-hari satu dari
enam ilmuwan yang masuk dalam daftar Wise Index of Leading Scientists
and Engineer dari Comstech tersebut memang berkantor di ruangan seluas
sekitar 9 meter persegi itu.

Di level internasional,
kepakaran Terry cukup diakui di bidang fisika nuklir dan partikel.
Namanya hampir tak terhitung dikutip peneliti mancanegara ketika
menyusun riset bidang yang sama. Hingga saat ini bapak tiga anak itu
sudah 90 kali menulis paper di jurnal internasional.

"Meski demikian, kontribusi Indonesia di jurnal internasional masih kalah jauh 
dengan negara berkembang sekelas Nepal," katanya.


Dia lantas menyinggung
imbalan dari pemerintah kepada seorang dosen yang karyanya berhasil
nangkring di jurnal internasional. Imbalannya kata Terry hanya sekitar
Rp 1 juta.

Inilah yang menyebabkan
mengapa dosen cenderung malas mengirimkan karya ilmiah ke jurnal
internasional. Karena itu, jumlah peneliti Indonesia masih sangat
sedikit yang mampu menembus jurnal internasional. Bahkan, lanjut Terry,
doktor yang mampu menulis dan namanya menjadi rujukan peneliti dunia
juga masih bisa dihitung dengan jari.

Itu sangat jauh berbeda
dibanding di Amerika Serikat. Pada 2004 saja, lanjut Terry, peneliti
Amerika sudah mencatatkan 198.000 jurnal internasional. "Bandingkan
dengan Indonesia yang baru 87 penelitian. Ketika itu, hanya empat
penelitian Indonesia yang dikutip peneliti lain, sementara negeri Paman
Sam itu sudah tak terhitung jumlahnya," jelasnya.

Kiprah Terry dalam
dunia fisika partikel memang tidak tiba-tiba. Sebelumnya dia menggondol
gelar sarjana dari Faklutas MIPA Universitas Indonesia. Karena berhasil
lulus cumlaude, Terry berhak atas beasiswa dari Universitat Mainz,
Jerman, untuk melanjutkan studi pascasarjana hingga meraih PhD. Dia
berhasil meraih gelar S-3 pada usia 31 tahun. Pria yang kini berumur 43
tahun itu kemudian berusaha menuntut post doctoral di George Washington
University. "Kampus saya ketika itu hanya tiga blok saja dengan Gedung
Putih," kenang Terry.
Di sana dia tetap menekuni bidang yang sama, fisika partikel. Hingga
sekarang bidang itu terus digeluti. "Penelitian saya sudah banyak.
Apalagi yang pengembangan," jelas dosen penerima Best Young Researcher
Award dari UI itu.

Di bidang itu Terry
memang terus aktif meneliti proton dan netron, termasuk inti atom dan
nukir. Dia juga mengamati bintang netron yang meledak, tapi tidak
menjadi black hole.

Untuk penelitiannya,
Terry kerap mengeluarkan dana sendiri. Uangnya tentu dari honorarium
berbagai paper yang dimuat di jurnal internasional.

Kadang dia sampai
menginvestasikan tabungan dan honor yang didapat untuk bepergian ke
luar negeri. Tujuannya, apalagi kalau bukan mendalami hasil
temuan-temuan di bidang partikel. "Konsekuensinya tabungan belanja
untuk anak istri tak pernah naik. Namun, untunglah mereka memahaminya,"
ujar peraih Habibie Award for Pioneering Theoretical itu.

Dia mengakui bidang
risetnya memang sulit mendapatkan biaya. "Riset kami adalah riset hulu.
Ibaratnya akar di pohon. Riset saya bukan buah yang selalu tampak dan
bisa langsung dinikmati," jelasnya. Karena itu, untuk mendanai risetnya
dia kerap menggandeng kampus-kampus di luar negeri.

Karena kiprahnya di
kampus-kampus luar negeri, Terry kerap dipanggil profesor, padahal dia
belum profesor. Undangan-undangan pembicara dari berbagai kampus di
Arab juga mencantumkan gelar profesor untuknya. "Padahal, saya cuma
doktor. Mereka menghargai kepakaran seseorang," ujarnya.

Memang, sejauh ini
Terry belum berminat meraih gelar profesor alias menjadi guru besar.
Padahal, dengan modal penelitian saja mudah bagi Terry untuk meraih
gelar itu. "Sebenarnya saya sudah berkali-kali mengajukan, tapi juga
belum dapat," terangnya. 
  Sumber : Jawa Pos (22 September 2008)


      

Kirim email ke