http://rahard.wordpress.com/2007/01/11/jadi-profesor-dan-rektor/
Jadi Profesor dan Rektor
11 Januari 2007 oleh Budi Rahardjo 








 window.google_render_ad(); 





Ini cerita mengenai obrolan santai …
Kemarin saya menerima email yang mengatakan bahwa ITB sedang krisis Profesor. 
Saya rasa ini benar. Ada banyak alasan mengapa hal ini terjadi. Entah kenapa, 
memang sulit menjadi profesor di ITB. Ada banyak pihak yang sepertinya ingin 
mengganjal, termasuk dari internal! Nah lho. Ada guyonan bahwa dosen muda di 
ITB banyak yang “dibina” (plesetan dari “dibinasakan”). Ha ha ha. Guyonan kedua 
adalah karena dosen ITB lebih suka menjadi “Guru Besar Kepala” daripada “Guru 
Besar” (profesor). Hi hi hi.
Selain hal di atas, saya melihat bahwa banyak dosen muda di ITB yang tidak 
tertarik untuk menjadi Profesor. Mungkin karena melihat kenyataan sulitnya 
menjadi profesor dan melihat kualitas dan sifat profesor (tidak hanya di ITB, 
tapi di Indonesia) yang kurang baik. Saya mungkin termasuk yang ini juga. Kalau 
mengingat-ingat hal ini, saya merasa kehilangan profesor sungguhan seperti 
Prof. Kudrat dan Prof. Samaun Samadikun.
Minggu lalu saya bertemu dengan kawan SMP dan SMA saya, Ahmad Ramli. Dia saat 
ini menjadi staf ahli di Kominfo, Dekan di Fakultas Hukum UNPAD, dan … tentu 
saja sudah profesor. Kami seumur. Kebetulan dia sedang jalan-jalan dengan 
keluarganya dan saya sedang jalan-jalan dengan istri saya. Kami ngopi dulu. Dia 
kemudian bertanya: “Kapan jadi profesor?” Saya jawab: “Moal jigana mah” (Bahasa 
Sunda, yang artinya, “Kayaknya nggak bakalan”.) “Eh, tong kitu atuh” (Jangan 
gitu dong) jawabnya. Kemudian dia menyarankan saya agar menjadi profesor.
Ini bukan pertama kalinya saya dikuliahi untuk menjadi profesor. Beberapa tahun 
yang lalu, Prof. Mieke Komar - yang juga merupakan Guru Besar di bidang Hukum - 
sempat marah ke saya. Waktu itu di acara resepsi Ahmad menjadi Guru Besar. Bu 
Mieke menanyakan kepada saya pertanyaan yang sama, “kapan menjadi profesor”. 
Jawaban saya waktu itu juga sama, tidak tertarik. Beliau kemudian memberi saya 
“kuliah” (alias memarahi), bahwa saya tidak boleh begitu. Ampun bu. Ya, saya 
memang egois dan tidak mau menjadi profesor.
Bagi saya profesorship adalah sebuah amanah dan tanggung jawab yang besar. Dia 
bukan sekedar gelar yang diberikan begitu saja. Dia harus mengemban tugas yang 
berat untuk bidang dia. Bagaimana meningkatkan bidang ilmu tersebut, jumlah 
orang yang paham dan pandai di bidang ilmu tersebut, bagaimana pemanfaatannya, 
dan seterusnya. Dia harus mengabdi kepada ilmunya tersebut. It’s his/her 
responsibility. I am not ready for this. Meskipun saya sudah banyak memberikan 
kontribusi di dunia security, saya masih malu untuk menyandang tanggung jawab 
ini. Mungkin suatu saat? Entahlah. Saat ini saya belum memiliki keinginan dan 
belum ada tuntutan (keharusan) untuk itu.
Sembari ngopi, saya sodorkan majalah “ACM Queue” (architecting tomorrow’s 
computing) edisi Desember/Januari 2006/2007. (Ya, kemana-mana biasanya saya 
bawa bacaan. Kali ini saya baru dapat majalah ACM ini. Saya bukan member dari 
ACM, hanya IEEE.) Di edisi ini ada interview dengan Hennessy dan Patterson. 
Bagi yang bergerak di bidang Elektro, apalagi yang fokus di bidang hardware, 
mungkin ingat buku teks Computer Architecture karangan mereka berdua. Buku 
tersebut menjadi buku klasik dalam kuliah di seluruh dunia.
Yang menariknya adalah mereka sekarang memegang peranan penting di perguruan 
tinggi. Patterson adalah chairman (apakah sekarang masih?) dari Computer 
Science, Berkeley University. Sementara itu Hennessy adalah Rektor Stanford 
University! Kebetulan Ahmad Ramli pernah kuliah di Berkeley dan saya masih 
tergila-gila dengan Stanford University. Jadi saya sodorkan majalah itu. 
Komentar Ahmad, “wah kayaknya jadi rektor harus tua-an ya.”
Ha! Saya baru ingat bahwa kemarin Ahmad merupakan salah satu (dari 3) calon 
Rektor UNPAD. Saya rasa dia kalah karena … terlalu muda. Usia kami baru 45 
tahun. Nampaknya memang faktor usia berpengaruh. Kemudian dia bilang, “Bud, mau 
jadi rektor?” Ha ha ha. Jawaban saya tetap sama, “moal, jigana mah“. Tidak 
tertarik. Lagi-lagi, bagi saya pekerjaan rektor memiliki beban yang berat.
Kadang-kadang kesal juga melihat perubahan di kampus ITB yang tidak sesuai 
dengan opini saya. Tentu saja opini saya bukan selalu yang benar, tapi 
kadangkala banyak perubahan yang tidak logis. Beda bisa dan biasa. Yang penting 
adalah logis alurnya. Kalau melihat begini memang ada keinginan untuk mengubah. 
I’ll lead them to change the world. Or, at least to change Indonesia! Tapi, 
saya merasa masih terlalu muda. Harus banyak belajar dulu agar menjadi lebih 
bijaksana. Maybe someday? Who knows. Tapi, sekarang tidak ada roadmap saya yang 
menuju ke sana.
Lucu juga kalau Ahmad jadi Rektor UNPAD dan saya jadi Rektor ITB. Two friends 
leading the country. Yang pasti, jika ini terjadi, kerjasama kedua perguruan 
tinggi ini akan lebih banyak dan lebih smooth. I’ll make sure of that. Wah, 
asyik juga kalau kedua perguruan besar ini bekerjasama untuk membangun 
Indonesia! Masing-masing memiliki keunggulan sendiri dan komplementer. ITB 
dengan keunggulan sisi teknis (engineering) dan UNPAD dengan keunggulan sisi 
non-teknis (sosial, ekonomi, budaya, hukum). Terbayang Indonesia melaju ke 
depan meninggalkan negara tetangganya. Ah, ini mah ngimpi …
Untuk sementara itu hanya jadi khayalan saja. Sementara ini kami akan 
berkolaborasi, nulis lagu dulu saja. Ha ha ha. Dari SMA memang kami sering 
menulis (puisi) bersama. Saya harus akui bahwa Ahmad lebih jago dalam menulis 
puisi / lirik, tapi saya mungkin lebih baik dari sisi nada. Let’s make songs!
Eh, udah ngelantur, kembali kerja hoi! Gimana Indonesia bisa maju kalau kita 
hanya nongkrong aja bacain blog gak mutu kayak ini? Hi hi hi
Link terkait: Artikel Kompas, “ITB Alami Krisis Guru Besar“


      

Kirim email ke