kalangan konservatif dan fundamentalis dari dulu sering menggunkanan istilah KOmando Pastur (KOMPAS) dan Sepilis. Plesetan itu dikatakan bukan saja oleh orang awam, tetapi oleh da'i di atas podium, bahkan khatib Jum'at.
--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, Rahman Dako <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Kalo saya semuanya harus dikaji dulu, baik punya Kompas, Suara Islam, dll. Pasti setiap media punya tujuan masing-masing, bisa tujuan agama dan lain-lain. Perlu juga diingat bahwa bahwa media adalah industri. > > Salam, > AGA > > > --- On Mon, 10/6/08, VQ <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > From: VQ <[EMAIL PROTECTED]> > Subject: [GM2020] bukan provokasi, hanya sekilas info > To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com > Date: Monday, October 6, 2008, 8:26 PM > > > > > > > > > > > > andaikan berita ini benar, kayaknya referensi berita-2 dari kompas perlu di kaji terlebih dahulu apalagi untuk konsumsi milis... > > Gaya Kompas Mengobarkan Permusuhan > > Oleh : Redaksi 03 Oct 2008 - 1:00 am > > > > KH > Cholil Ridwan menilai Kompas memang menjadi alat Katholik atau missi > zending. "Jadi apa-apa yang merugikan umat Islam pasti dimuat, termasuk > tulisan yang menyerang MUI," tegasnya. > > > > Untuk kesekian kalinya Harian Kompas kembali memuat tulisan yang yang > sangat tendensius tentang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tulisan > tendensius tentang MUI ini dimuat di Kompas edisi Senin, 8 September > 2008, halaman 44, di rubrik Bentara, melalui tulisan Sumanto Al Qurtuby > dengan judul, "Mendesain Kembali Format Dialog Agama" . > > > > > Sumanto menulis, "Menariknya, ma-sih menurut Rumadi, dalam peristiwa > kekerasan berbasis agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang > mestinya berperan sebagai pengayom umat, dalam banyak hal justru sering > menjadi aktor utama (prime mover) dan inspirator kekerasan. > > > MUI yang seharusnya menjadi pemersatu kelompok-kelompok > keaga-maan yang terbelah justru menjadi "polisi agama" yang ikut > menggebuk kelompok-kelompok keagamaan yang divonis sesat dan > menyimpang. MUI yang semestinya berfungsi sebagai penyejuk dan "oase > spiritual" bagi umat manusia apapun agama dan keyakinan mereka seperti > dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW justru ikut menjadi pembakar amarah > massa dan penyulut kebencian. Pula, MUI yang seharusnya menjadi wadah > dialog agama yang terbuka justru menjadi sarang kelompok konservatif > yang anti-dialog dan pluralisme. Apa yang menimpa MUI ini tentu menjadi > sebuah ironi mengingat sebagai institusi agama yang "dihidupi" dari > uang rakyat melalui APBN, tidak sepantasnya jika MUI terlibat dalam > kekerasan agama yang mengorbankan rakyat itu sendiri." > > > > Pemuatan tulisan yang menyerang MUI ini tentu bukan karena unsur > ketidaksengajaan. Berkali-kali harian yang diterbitkan oleh kelompok > Katholik ini melakukan hal serupa. Sikap tersebut tampaknya memang > sudah menjadi ideologi Kompas selama ini. > > > > Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan menilai Kompas > memang menjadi alat Katholik atau missi zending. "Jadi apa-apa yang > merugikan umat Islam pasti dimuat, termasuk tulisan yang menyerang > MUI,'' tegasnya kepada SI. Seharusnya jika harian itu menggunakan > kaidah jurnalistik yang benar, ada klarifikasi terlebih dahulu dari > pihak-pihak yang akan dirugikan dari tulisan tersebut. > > > > Ia menjelaskan, kini banyak pihak menjadi kepanjangan tangan > kepen-tingan Barat yang anti Islam. Mereka dibayar untuk melakukan itu. > "Jadi kalau mereka tidak anti MUI, tidak menyerang MUI maka berarti > mereka tidak melak-sanakan tugasnya. Mereka tidak akan dapat proyek > baru lagi. Saya kira itu yang bisa kita pahami,'' tuturnya. > > > > Menanggapi tulisan Sumanto yang menuding MUI sebagai sumber keke- rasan, > KH Cholil tidak bisa menerimanya. Ia kemudian mengilustrasikan rusuh > musik di Bandung yang menewaskan 10 orang atau rusuh di Maluku Utara > serta rusuh di berberbagai daerah yang tidak pernah dibicarakan. > "Semata-mata mere-ka memang sudah antipati terhadap MUI. Dia orang > Islam yang tidak pernah mau membela Islam. Tapi dia orang Islam yang > menjadi kepanjangan kaki tangan Barat," tegasnya seraya menjelaskan > bahwa tidak ada hubungan antara fatwa MUI dengan kekerasan. > > > > Jejak Kekurangajaran > > Dalam > kasus eksekusi mati Tibo dan kawan-kawan, misalnya. Kompas hampir > seratus persen menjadi corong mereka yang menolak eksekusi mati > tersebut, sebagaimana tercermin melalui berbagai opini yang > dipublikasikannya. > > > > Dalam pemberitaannya, Kompas hampir tidak pernah memberikan ruang bagi > mereka yang pro eksekusi mati Tibo dkk. Padahal, sudah jelas Tibo dkk > membunuh ratusan santri Ponpes Wali-songo, Poso, dengan tangannya > sendiri. Dalam hal Tibo dkk hanyalah wayang yang dimainkan aktor > intelektual, itu lain persoalan. Yang jelas secara pidana Tibo dkk > memang terbukti membantai ratusan orang. > > > > Keberpihakan terhadap mereka yang kontra eksekusi mati Tibo, > menunjukkan bahwa sebagai media nasional Kompas tidak punya hati > nurani. Harian itu bukan saja meng-abaikan amanat hati nurani rakyat > yang menjadi mottonya, tetapi juga telah melukai rasa keadilan umat > Islam > > > > Contoh lain, dalam kasus pro-kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi > (RUU APP). Kompas jelas-jelas meng-ambil posisi kontra RUU-APP. > Berbagai pemberitaan yang berkenaan dengan itu memperlihatkan dengan > jelas bahwa harian itu diskriminatif. Opini yang ditampilkan juga > berpihak. Misalnya, Kompas edisi 29 Maret 2006 menam-pilkan opini > Siswono Yudhohusodho berjudul Negara dan Keberagaman Budaya. > Siswono yang pada intinya menolak RUU APP karena meng-anggapnya salah > satu produk hukum yang sangat beraroma Syari'at Islam. Menurut Siswono, > > > > "...Sebagai konsekuensi > negara kesatuan (unitarian) yang menempatkan seluruh wilayah negara > sebagai kesatuan tunggal ruang hidup bangsa, sebuah RUU juga harus > didrop bila ada satu saja daerah yang menyatakan menolaknya karena > tidak cocok dengan adat istiadat dan budaya setempat. RUU APP sudah > ditolak di Bali dan Papua." > > Majalah Risalah Mujahidin menilai argumen Siswono jelas terlihat dungu. > Ia tidak saja mengabaikan konsep demok-rasi, tetapi mendorong munculnya > tirani minoritas atas mayoritas. Bukankah Bali dan Papua minoritas? > Melalui opininya itu, Siswono sengaja menekankan supaya umat Islam yang > mayoritas bila hendak membuat aturan bagi umat Islam, harus terlebih > dulu meminta persetujuan ma-syarakat Bali dan Papua. Bila mereka > menolak, berarti aturan itu harus juga ditolak sebagai konsekuensi dari > konsep unitarian (negara kesatuan). Sebaliknya, bila orang Papua mau > berkoteka, atau bila umat Hindu Bali mau menjalankan ritual musyriknya > serta memaksakan pene-rapan 'syariat' Hindu kepada non Hindu di Bali, > itu harus didukung dalam rangka melestarikan keluhuran budaya bangsa. > > > > Logika seperti itu, dipublikasikan Kompas tentu bukan tanpa maksud. > Tidak bisa disalahkan bila ada yang menafsirkan hal itu dilakukan > Kompas dalam rangka memprovokasi umat Islam Patut juga dipertanyakan, > apa kualifikasi yang dimiliki Siswono sehingga gagasan dan logikanya > layak ditampilkan di harian tersebut dan dalam rangka mewakili kalangan > siapa? > > > > Ketika > wacana Perda Syari'at menge-muka, Kompas lagi-lagi menempati posisi > strategisnya, yaitu menolak! Koran ini selalu menggunakan orang Islam > untuk menentang hal-hal berbau Islam. Dalam hal perda ini, lihat saja > mereka menam-pilkan Eros Djarot. Pada Kompas edisi 12 Juni 2006, Eros > Djarot melalui opininya berjudul "Saatnya Duduk Bersama" > menyimpulkan, perda bernuansa syari'at adalah bagian dari nafsu politik > mem-bangun negara di dalam negara, dan Perda Syari'at adalah gambaran > Indo-nesia yang amburadul. Perda Syari'at juga dinilai Eros sebagai > "hukum lain" di luar hukum positif. > > > > Padahal orang tahu, Eros Djarot bu-kan pakar hukum, sehingga tidak > mengerti bahwa menyerap hukum Islam ke dalam hukum positif adalah > meru-pakan salah satu kaidah terbentuknya hukum positif. Tentu aneh dan > janggal bila hukum positif di tengah masyarakat yang mayoritas Islam > bersumber dari hukum-hukum yang diterbitkan oleh kolonialis dan > imperialis. Apalagi, hukum Islam sudah diberlakukan bagi masya-rakat > Islam di kawasan Nusantara ini jauh sebelum kemerdekaan NKRI. Eros > Djarot juga bukan pakar sejarah, sehingga ia tidak tahu bahwa orang > Islam di Indo-nesia telah menerima dan menerapkan hukum Islam di dalam > masyarakatnya secara menyeluruh, dan diperbolehkan pemerintah kolonial > Belanda, jauh sebe-lum kemerdekaan. Fakta ini diungkapkan oleh pakar > hukum bangsa Belanda, LWC Van Den Berg (1845-1927). > > > > Sejak berkumandangnya wacana per-da syari'at dan RUU APP, Kompas telah > menjadi corong propaganda gerakan anti syariat dan anti Arab. Padahal, > Arab dalam konteks sebagai etnik, bahasa dan nilai budaya, sudah > menjadi salah satu anasir yang membentuk bangsa dan budaya Indonesia, > sebagaimana Cina dan Hindu. > > > > Corong Sepilis > > Harian > Kompas kian terang menjadi corong kaum Sepilis (sekularis, pluralis, > dan liberalis). Melalui media inilah kaum Sepilis mengaktualisasikan > pemikirannya yang menyerang Islam dan kaum Mus-limin. Hanya saja, > sebagai corong Sepilis, dalam prakteknya Kompas juga tidak konsisten, > karena hanya mau menerima opini dari satu warna saja yaitu warna > sepilis. > > > > Paling sering Kompas mempub-likasikan opini dari Ulil, Sukidi, > Nur-cholish, Dawam, Gus Dur dan sejenisnya. Tidak terlihat Kompas punya > itikad baik mau menyodorkan warna yang berbeda dengan menampilkan > penulis yang terbukti mampu mematahkan argumen nama-nama tadi. > > > > Mungkin Kompas berpikir sedang memberikan kontribusi di dalam > mencip-takan Indonesia yang damai dan santun dengan mempublikasikan > tulisan (opini) yang disumbangkan kaum Sepilis. Patut diduga, diskresi > itu justru membuat panas situasi. Jangan-jangan memang Kompas ini > sedang memantikkan api yang bisa membakar situasi ketegangan horizontal > di Indonesia. [mujiyanto/pendi/ dari berbagai sumber/www.suara- islam. com] > > > > Tabloid SUARA ISLAM EDISI 52, Tanggal 19 September - 2 Oktober 2008 M/19 Ramadhan - 2 Syawwal 1429 H > > > > > > Tell A Friend | Print > > ada 1 thread - Beri Komentar | dibaca 1312 hits >