Saya cukup bangga dengan putra Gorontalo, Habu Wahidji yang muncul di Sosok Kompas hal 18 hari ini.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/09/02344882/abu.wahidji.guru.dan.penangkar.benih Habu Wahidji, Guru dan Penangkar Benih function Big(me) { me.width *= 1.700; me.height *= 1.700; } function Small(me) { me.width /= 1.700; me.height /= 1.700; } Oleh Reny Sri Ayu Taslim Sekolah dan pekerjaannya sebenarnya tidak jauh dari urusan ajar-mengajar. Abu Wahidji (68) adalah lulusan Jurusan Bahasa, IKIP Manado, yang kemudian menjadi dosen di Universitas Negeri Gorontalo dan beberapa perguruan tinggi lainnya. Jika kemudian dia berkecimpung dalam urusan penangkaran benih jagung, mendampingi petani membuat benih, dan bahkan juga ikut menanam, itu tentu sesuatu yang unik. Wahidji selalu punya jawaban untuk urusan yang unik ini. Katanya, bertani bukanlah sesuatu yang baru baginya, mengingat orangtuanya adalah petani tulen. Urusan menangkar benih dan mengajar petani membuat benih juga tak jauh-jauh dari urusan mengajar, membagi ilmu. ”Yang namanya pendidik, guru, atau apa pun namanya selalu siap membagi ilmu di mana pun, kapan pun, pada siapa pun,” kata pria kelahiran Tapa, Bone Bolango, Gorontalo, 1940 ini. Bisa jadi karena latar belakang dosen bahasa itu juga yang membuat banyak petani jagung meragukan kemampuannya. Tidak sedikit pula yang menyebutnya kurang kerjaan, bahkan kurang waras, saat mulai memperkenalkan benih jagung komposit kepada petani di sejumlah daerah di Gorontalo. Keraguan petani jagung bukan tanpa sebab. Selain memang tidak punya latar belakang sebagai petani jagung, apa yang diperkenalkan Wahidji juga termasuk hal yang baru. Benih jagung komposit, membuat benih sendiri, menanam jagung menggunakan pupuk adalah hal-hal yang tidak biasa bagi petani setempat. ”Walau jagung bukan sesuatu yang baru bagi petani, tapi selama ini mereka hanya tahu menanam jagung jenis lokal. Belum ada yang menanam jagung hibrida atau komposit. Belum lagi jagung jenis ini harus dipupuk. Biasanya, kalau jagung lokal setelah ditanam ditinggalkan begitu saja dan tunggu berbuah. Jadi, memang banyak yang ragu saat pertama kali diperkenalkan kepada mereka,” urai Wahidji. Penolakan petani tak menyurutkan minat Wahidji. Setiap kali hendak menanam, dipanggilnya petani sekitar untuk menyaksikan kegiatannya. Pada setiap lahan kebun, sebagian disisihkan untuk ditanami jagung yang tidak dipupuk. Saat pemeliharaan atau setiap kali menengok kebun jagungnya, Wahidji memanggil petani untuk menyaksikan. Kesempatan itu digunakan Wahidji membagi apa yang diketahuinya. ”Pada saat panen, saya panggil mereka. Saya perlihatkan bagaimana hasil jagung yang dipupuk dan dipelihara, dengan yang tidak. Karena langsung melihat hasilnya, mereka jadi percaya. Saat panen saya juga ajarkan menyisihkan sebagian jagung untuk dibuat benih sehingga mereka bisa menanam lagi tanpa harus membeli benih,” kata ayah lima anak ini. Semangatnya mengajari petani beralih tanaman dari jagung lokal ke jagung komposit membuat Wahidji kerap harus berkunjung dan menginap dari desa ke desa. Bahkan keasyikannya bertani membuat dia memutuskan pensiun dini pada 2002 (seharusnya tahun 2005), agar punya waktu lebih banyak menangkar benih dan membagi ilmu kepada petani. Banting setir Beralih minat dari mengajar ke urusan bertani, bagi Wahidji bukan terjadi begitu saja. Kisahnya berawal saat Gorontalo jadi provinsi pada tahun 2000, dan kemudian Gubernur Fadel Muhammad membuat program agropolitan dengan basis jagung. Saat itu, pemerintah memang ingin membuat jagung yang sudah ditanam turun-temurun menjadi komoditas yang punya nilai tambah bagi petani. Pilihannya adalah menanam jagung hibrida dan komposit. Alasannya sederhana. Selain bisa diekspor, harganya pun lebih menjanjikan. Untuk mendapatkan hasil Rp 500.000 dari satu hektar tanaman jagung jenis lokal, sesuatu yang sulit. Tapi dengan jagung hibrida atau komposit, pendapatan per hektar bisa Rp 6 juta-Rp 8 juta. ”Terus terang, awalnya saya juga tidak peduli. Tapi melihat Pak Gubernur yang saya tahu bukan sarjana pertanian, tapi mau mengurusi pertanian, saya jadi tertantang. Kalau ini untuk kemaslahatan orang banyak, kenapa saya tidak membantu,” kata Wahidji. Hal lain yang menambah semangatnya adalah kesadaran sebagai anak petani biasa yang dibesarkan, disekolahkan, hingga berhasil dari hasil bertani. ”Saya jadi seperti terpanggil mengingat orangtua saya yang petani biasa dan sangat tradisional tapi punya keinginan menyekolahkan saya, walau dengan susah payah. Saya jadi berpikir, bagaimana agar pilihan jadi petani bukan lagi karena sekadar meneruskan warisan orangtua atau karena tidak ada pekerjaan lain, tapi memang bertani adalah pekerjaan yang menjanjikan masa depan,” katanya. Dengan kesadaran itu, diam-diam Wahidji berangkat mengunjungi balai benih di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di sini, Wahidji belajar menangkar benih jagung komposit, menanam, dan sebagainya. Pilihannya pada jenis komposit karena selain hasil panennya tak kalah dengan jagung hibrida, jenis ini juga bisa dibuat benih lagi. Harga benihnya pun lebih murah ketimbang jenis hibrida. Semua itu dilakukannya atas biaya sendiri. Pulang dari Sulsel, Wahidji membawa benih untuk ditangkarkan. Bekerja sama dengan Badan Pengawasan dan Sertifikasi Benih Gorontalo, dia meramu dan mengurusi benih ini hingga dinyatakan memenuhi syarat untuk disebarkan. Sembari mengajari petani, Wahidji juga menjual benih yang sudah ditangkarkan. ”Saya menjualnya bukan untuk mengejar keuntungan, tapi lebih pada membantu petani mendapatkan benih. Saya juga terus mengajarkan cara membuat benih hingga mereka bisa membuat benih sendiri,” tuturnya. Pelan tapi pasti Apa yang dilakukannya ternyata berhasil. Pelan tapi pasti, petani beralih dari menanam jagung jenis lokal ke jagung komposit dan sebagian hibrida, apalagi pemerintah serius mengurusi pasar jagung hingga hampir tak ada hasil panen yang tak terbeli dan ada jaminan harga. Melihat usahanya berhasil, Wahidji makin getol. Dia kian rajin bertemu petani, menangkar benih, membagi ilmunya. Bahkan keseriusannya mengurusi benih membuat dia dipilih sebagai Ketua Asosiasi Pembenihan Indonesia cabang Gorontalo. Saat ini, Pemprov Gorontalo berencana membangun pusat pembenihan dan pabrik jagung di Pohuwato. Wahidji adalah salah seorang yang diajak bekerja sama. Di usianya menjelang senja, Wahidji masih terus membantu petani dalam urusan jagung. Dia terus menambah ilmu dalam urusan pembenihan dan terus pula membagi pengalaman serta apa yang diperolehnya bersama petani. ___________________________________________________________________________ Dapatkan alamat Email baru Anda! Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain! http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/