---------- Forwarded message ----------
From: <[EMAIL PROTECTED]>
Date: 2008/11/12
Subject: [NaratamaTV] Eksekusi Amrozi, Klenik dan Berpulangnya Ibuku
To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED],
[EMAIL PROTECTED]


  * **SKETSA*
Rabu, 12 November 2008
* Eksekusi Amrozi, Klenik dan Berpulangnya Ibuku *


  *AGUNG* Sanjaya, 44 tahun, sosok pria sederhana. Ia tak banyak cakap.
Dunianya kreatif. Selain memiliki sebuah studio animasi di Bali - sejak lama
mengerjakan bagian proses serial animasi Jepang dan AS - - kini menjadi
salah satu manajer di Dewata TV, Bali.

Jumat malam, 7 November 2008, ia mengirim SMS panjang, menyampaikan
kegundahan ihwal liputan media pusat terhadap Amrozi Cs., yang hendak
dieksekusi. Poin utama Sanjaya, bahwa jurnalisme televisi, telah membangun
opini publik, bahwa seakan-akan Amrozi hero.

"Masa teroris dijadiin pahlawan. Ada pula yang bilang mau menghibahkan tanah
hektaran untuk makam, bagaimana ini …, " bunyi SMS Sanjaya, antara lain.

"Di Bali saya lawan berita-berita soal teroris itu. Bahkan MUI Bali sudah
bicara di Dewata TV, Amrozi itu teroris, bukan pahlawan. Di Bali semua masih
waras…, tapi sayang teve kami tidak siaran nasional" ujar Sanjaya.

Saya interupsi SMS Sanjaya, dengan mengatakan, saya sangat mendukung
pemikirannya. Cuma, saya tak membalas panjang karena sedang menunggu ibu
yang sedang dirawat di ICU, RS TNI AU, Halim, Jakarta Timur. Sambil mengirim
doa, Sanjaya meminta dukungan untuk terus mengkritisi media.

Saya sangat paham perasaannya. Sanjaya pada saat bom Bali pertama, 12
Oktober 2002 - - menewaskan 202 orang dan mencererai 209 orang - - dan Bom
Bali II, 1 Oktober 2005, mematikan 23 orang dan 196 orang luka-luka, itu
merasakan dampak langsung: denyut ekonomi menajam suram.

Ketika bom Bali I meledak, Sanjaya masih bekerja di Bali TV, menyaksikan
bagaimana jasad manusia terpental serpih-pipih sulit dipilih.

Sehingga sebagai sumber, Sanjaya sesungguhnya dapat bertutur bagaimana
akibat bom itu bagi kehidupan. Saya masih ingat bagaimana tiga bulan setelah
bom Bali I, ia kala itu menjadi topangan hidup banyak sanak keluarga yang
nirpendapatan; ekonomi lumpuh, pariwisata muram; kedai souvenir tidak
berpembeli, pramu wisata berloyo-loyo.

Bila kemudian dukungan seakan berbalik kepada sosok terpidana kasus bom Bali
yang dieksekusi mati, dielu-elukan bak pahlawan, menjadi tidak dapat
diterima akal sehat. Sepantasnya media memverifikasi; mulai dari berita
acara pemeriksaaa (BAP) tersangka, hingga pengakuan di pengadilan, berlanjut
ke terpidana mati. Jika urut-urutan itu dibaca, sudah seharusnya tidak ada
tempat bagi media memberitakan bias.

Kalaupun ada yang harus dibahas, dalam konteks berbeda sama sekali, adalah
ihwal hukuman mati di ranah pengadilan, dalam tata nilai kaca-mata hukum
keseluruhan. Lebih dari itu, tidak ada magnitud ditampilkan, apalagi membuat
teroris seakan menjadi hero, digadang-gadang media televisi.

Ada tiga catatan signifikan saya terhadap jurnalisme pemberitaan media
televisi yang paling-paling. Pertama pada kasus jatuhnya pesawat Adam Air,
awal 2007 lalu, membuat laporan reportase fiktif penemuan rinci, kedua ihwal
pemberitaan sosok psikopat Ryan, gay pembunuh pasangan - - saat ini dalam
proses rekonstruksi - - yang mendominasi, sehingga pemirsa saban hari
disuguhi Ryan mania, dan ketiga, ya, soal hukuman mati Amrozi ini.

Peranan media untuk memaparkan segala sesuatunya sebagaimana adanya, dengan
berimbang, seakan dilanggar, bahkan mendekati absurd.

Dalam hal ke-absurd-an itu, televisi memang jagonya. Lihat saja ditampilkan
Sumanto pemakan daging mayat, juga sosok pemakan kodok hidup-hidup di Empat
Mata-nya Tukul - - program itu mendapat teguran keras KPI, dan anehnya
langsung ditutup. Banyak program infotaiment yang juga sangat tidak
mendidik, masih terus bergentayangan, plus pula iklan klenik ramal-meramal
melalui SMS, yang kian tak masuk akal: seakan mengatakan betapa membodohi
pemirsa konten program televisi negeri ini.

Dan ke-klenik-an yang tampil ke televisi, memang menjadi gambaran alam
nyata, bahwa orang Indonesia, seakan mundur ke masa silam, lalu didukung
oleh televisi - - entah disadari atau tidak - - dan keadaan itu dipakai oleh
mereka yang pintar memanfaatkan.

Seorang kerabat saya pernah melihat, bahwa seorang prajurit TNI pernah
terserempat mobil Ferrari. Pengendaranya, ternyata sosok peramal, paranormal
terkenal. Sang prajurit itu rupanya karena jarang membaca, atau memang bukan
penonton teve, maka main pukul saja sang pengemudi. "Dan ia tak mengalami
apa-apa kendati yang dia pukul terkenal sakti menyantet orang," kata Chairul
Akbar, kerabat saya itu.

Bila ditilik dari nama tokoh klenik di negeri ini; mulai dari Ki Joko Bodo,
Ki Gendeng Pamungkas, misalnya, sesungguhnya betapa bodoh dan gendengnya
manusia Indonesia mau dikibuli oleh laku manusia demikian, dan pengibulan
itu didukung pula, lagi-lagi, antara lain melaui iklan media teve.

Ada pula event pagelaran doa penyembuhan, yang ujung-ujungnya untuk menjadi
pasien saja, harus mendaftar dengan minimal Rp 350 ribu, belum termasuk
pengobatan yang cuma mendapatkan minyak kelapa dan air putih yang harus
ditebus berjuta-juta. Sosok itu dibesarkan pula oleh media teve, karena
beberapa kali mem-block, siaran pariwara di televisi.

Di ranah yang lebih logis, jasa penghafalan Asmaulhusnah, nama-nama
kebesaran Allah yang di dalam Islam ada 99 itu, harus pula mencapai di atas
Rp 1 juta - - entah bagaimana penyelenggara harus membayar royalty kepada
Allah, dan event itu juga dibesarkan media massa, termasuk teve.

"Bila kita meminta pertunjuk ini dan itu ke paranormal, bisa jadi, dia di
dalam kamarnya tertawa, dan mengatakan betapa bodoh dan gendengnya
orang-orang yang datang ini, " ujar Chairul.

Chairul mengingatkan saya akan fakta lama. Bahwa ketika Goerge Bush datang
ke Indonesia, 20 November 2006, yang dibuatkan helipad segala di Kebun Raya
Bogor, Ki Gendeng Pamungkas, berjanji akan menyantetnya.

"Bahkan dalam adegan yang ditampilkan ditelevisi, Ki Gendeng menyampaikan
jampi-jampi, sambil memukul keras kepala anak kucing dengan palu. Hal ini
disiarkan televisi, laku apa itu?" ujar Chairul pula,"Bila ibumu tahu, pasti
Ki Gendeng dipalunya."

Terbukti ketika Presiden Amerika Serikat itu ke Indonesia, semua berjalan
lancar, tak terjadi apa-apa, tetapi seekor anak kucing telah mati dipalu - -
akibat laku yang lazim dijabani orang yang benar-benar gendeng.

Almarhumah ibu saya penggemar kucing.

Jumat pekan lalu, 7 November 2008 di saat saya mengikuti haflah zikir dan
doa bagi pahlawan di alun-alun masjid Garut, Jawa Barat, telepon genggam
saya bergetar. Ayah saya dengan suara terbata mengatakan bahwa ibu saya,
pingsan. Waktu pukul 10.30. Ustad masih memimpin bacaan Asmaulhusna - -
pujian terhadap nama kemuliaan Allah. Di balik telepon saya dengar empat
ekor kucing kesayangan ibu men-geauw-ngeauw. Indikasi bagi saya, bahwa
keadaan kritis.

Sepuluh menit kemudian saya bergegas meninggalkan acara zikir yang masih
berlangsung. Di petang hari sesampai di Jakarta, ibu saya sudah di ruang
ICU, ia koma, indera pendengar dan perabanya masih berfungsi. Itu dapat
dilihat dari jika telapak kakinya disentuh, ia menggerakkan, dan di saat
dibacakan doa, bahunya bergerak. Mata, sudah tak berkedip. Hipertensi telah
membuat pemubuluh darah ke otak pevcah.

Dokter memperlihatkan hasil foto scan kepala, 75% pembuluh darah di otak
kanannya rusak, darah sudah menumpuk lebih seliter di batang otak. Di usia
68 tahun, dengan tinggi badan 168 cm dan berat 90 kg, dokter sudah tidak
berani melakukan operasi benak.

Kondisi terpahit sudah di depan mata. Saya tentu percaya kepada ilmu
pengetahun kedokteran, dari pada latah ber- klenik yang dibesarkan media
massa, termasuk membesarkan sosok bertajuk Ki ini dan Ki itu, itu.

Karenanya ke dalam Face Book di internet, saya menuliskan, hanya tinggal
doa, doa dan doa untukmu ibu. Banyak dukungan optimis kawan, bahwa ajal di
tangan Yang Kuasa, teruskan berdoa untuk kesembuhannya.



*DI HALAMAN* Masjid Bubassalam, Karet Belakang, Karet Kuningan Minggu, 9
November sudah terpasang tenda. Di lantai bawah rumah Nomor 22, sudah
digelar karpet. Di raung bawah yang bersahaja itulah jasad ibuku
disemayamkan, sebelum dishalatkan ke dalam masjid.

Seekor dari 3 kucing jantan berbulu kuning kemerahan dengan raut mata sedih
tidur di kaki jasad ibu. Ayah bilang, ketiga ekor kucing yang genetiknya
mirip, macam dikloning dengan induknya itu, sehari-hari memang tidur di kaki
ibu. Ibu-ibu pengajian di kediaman keluarga kami, yang menyalami saya, lebih
memperhatikan kesedihan sang kucing.

Mereka heran.

Semula saya tak terlalu memperhatikan, karena berdoa terus disamping kanan
jasad ibu. Begitu jasad hendak dipindahkan ke keranda untuk dishalatkan,
saat itulah saya harus memindahkan kucing, yang biasa disapa Dodot oleh ibu.


Usai shalat, rombongan duka mengantar ibu ke pemakaman di Menteng Pulo,
Jakarta Selatan. Setelah seorang paman memberikan sambutan, saya sebagai
anak tunggal ibu pun menyampaikan beberapa kalimat penjelasan di saat akhir
hayat Almarhumah.

Sulit bagi saya tanpa airmata.

Kalimat yang saya ucapkan antara lain: Di hadapan kita baru saja kita
makamkan seorang ibu yang sangat mencintai suami, terlepas baik dan buruk,
kurang dan lebih sang suami. Seorang ibu yang tidak pernah membebani
anaknya, mendukung penuh jalan terbaik yang diyakini. Seorang wanita, ibu,
dengan cinta sepanjang masa.

Saya tersedak.

Saya menggigit bibir.

Hening.

Tanpa saya sadari mulai dari ajal menjemput di Minggu pagi pukul 09.05, di
saat saya sedang menuju ke acara Halal bil Halal PWI-Reformasi, semobil
dengan Hussen Gani Putera, Wakil Ketua PWI-Reformasi, ayah saya, Agusti
menelepon, mengabarkan ibu sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Dari Jl. Rasuna
Said, mobil langsung dibelokkan Hussen ke RS TNI AU, Halim Perdanakusuma.

Dari mengurusi administrasi, memandikan, mengafani, men-shalatkan,
menguburkan, saya ikut melakoni, semuanya berjalan lancar. Alhamdullillah.

Di pemakaman, beberapa kawan wartawan, terutama pengurus PWI-Reformasi,
turut hadir. Ucapan duka dan belangsungkawa, memberikan ketegaran.

Di milis jurnalis-indonesia (PWI-Reformasi), Budiman S. Hartoyo, pensiunan
Redaktur Senior TEMPO, yang juga salah satu pendiri PWI-Reformasi, menulis
dengan alinea awal kalimatnya sebagai berikut:

*Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un.
Allahummaghfir Laha, Warhamha Wa'afiha, Wa'fu 'anha.

Saya pribadi dan keluarga mengenal sangat dekat Almarhumah Ibu Hajjah
Yunizar Agusti binti Ali Akbar, ibunda rekan Narliswandi Piliang, Ketua Umum
Koordinator Nasional PWI-Reformasi. Kami pernah bertetangga dengan
Almarhumah, yang dikenal oleh para tetangga, handai taulan, dan
kerabat-kerabatnya sebagai muslimah yang shalihah, baik hati, murah seyum,
ramah, suka bercerita panjang lebar, suka menolong, penyayang binatang,
khususnya kucing. Betapa dekat hubungan kekeluargaan dan silaturahmi di
antara kami, dapat digambarkan betapa isteri saya sering bertukar lauk-pauk
dengan Almarhumah yang memang dikenal suka memasak dan masakannya nikmat.
Bahkan isteri saya sering berdiskusi mengenai agama ala kadarnya, atau
berbincang mengenai masalah-masalah lingkungan di sekitar RT kami.*



*BENAR* sekali, ibu suka memasak. Dan masakannya enak. Dari turunan jurus
ibu saya mampu menjadi koki seluruh masakan Padang, yang di saat terdesak
pernah saya gunakan membuka warung.

Malam ini, seusai melakukan zikir di malam tiga hari kepergian ibu, dari
Masjid Babussalam, sebelum pulang ke kediaman di bilangan Malabar, Guntur,
Jakarta Selatan, saya mengajak Arifin Washar, kawan baik, mampir ke sebuah
warung mie Solo.

Di meja, saya membaca iklan di KOMPAS, yang dipasang oleh kuasa hukum TVRI
dan PT Adhi Karya. Di dalamnya, ada batir-butir mengingatkan banyak pihak,
yang menghambat pembangunan menara TVRI di Joglo, Jakarta Barat. Di kawasan
yang konturnya tinggi itu, hampir semua stasiun teve swasta memang telah
memiliki pemancar.

Entah mengapa kini di saat negara memfasilitasi peningkatan kualitas TVRI,
sebagai televisi penyiaran publik, ada saja pihak yang menghambat, sehingga
harus memasang iklan, sampai-sampai menggunakan kuasa hukum, dengan nada
seakan menghiba.

Alamak!

Bagi saya, menjadi tanya siapa yang negara?

Di mana negara?

Beberapa waktu lalu, saya masih mendapatkan data, bahwa hutang lama banyak
teve swasta kepada TVRI, konon masih di atas Rp 100 miliar jumlahnya, masih
belum tuntas urusannya.

Dan jika ada indikasi bahwa yang menghambat pembangunan tower TVRI itu juga
adalah oknum dari pihak teve swasta, ini sudah laknatullah namanya. Dari
sudut konten, benak para pengelola teve swasta itu semua hanya bertasbih
kepada rating, kini pula seakan mengkooptasi "negara", melalui menghambat
penyiaran teve publiknya.

Kian paham saya, mengapa dalam setahun ini menulis, banyak huruf yang saya
pencetkan ke keyboard komputer seakan terpandu, mengalirkan kata menyusun
kalimat. Saya menjadi paham akan dukungan almarhumah ibu, untuk
terus-menerus membersihkan hati nurani, mengasah budi.

Banyak keadaan kini yang harus dibukakan kepada publik, betapa kekuatan
kapital, telah sekan-akan melumpuhkan kepentingan rakyat banyak.

Salah satunya kepada pemilik televisi swasta agar tak lupa, kudu diingatkan
bahwa ketika mereka kelak berpulang, jasadnya masuk ke liang lahat tidak
membawa apa-apa. Di saat itulah kiranya mereka baru berpikir apa yang telah
mereka perbuat mencerdaskan bangsa?

Dari atas kuburan, sebelum masuk ke liang lahat ibu, saya perhatikan tanah
yang sempit. Tetapi ketika memangku jasad ibu, bertiga dengan paman, dekapan
berat badan 90 kg terasa ringan.

Ketika saya ditingal sendiri di liang lahat, menutupi jasad ibu dengan
rongga papan, tangan saya cekatan merapatkan deretan papan. Seketika liang
sempit itu serasa melonggar, melapang. Barulah saya naik ke atas. Tanah
ditimbun. Doa kami panjatkan. Semoga surgamu Allah, untukmu ibu. Amin***

Iwan Piliang, presstalk.info

------------------------------
 Pemanasan global? Apa sih itu?
<http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=AjO3kFB4MH9t8_Wg.IsJRzLtRgx.;_ylv=3?qid=20080916002637AALjeQI>
Temukan jawabannya di Yahoo! Answers!

Kirim email ke