Oleh : Andreas Harsono

INI pertanyaan gampang-gampang sulit. Bagaimana cara belajar menulis dalam 
bahasa Inggris?
Saya bukan guru bahasa Inggris. Tapi saya bisa cerita tentang bagaimana saya 
sendiri belajar menulis dalam bahasa Inggris?
Saya punya rahasia. Bekerjalah di harian The Jakarta Post! Saya tak bisa 
menulis Inggris sampai saya masuk ke sana pada 1993.
Terima kasih untuk Endy Bayuni, Hartoyo Pratignyo, Oei Eng Goan,
Thayeb Sabil dan Vincent Lingga. Mereka mengajar saya menulis berita
dengan struktur piramida terbalik dalam bahasa Inggris. Ini langkah
pertama. Menulis dalam piramida terbalik.
Mula-mula sulit tapi lama-lama biasa juga. Pak Eng Goan mengajari style. Mas 
Endy memberitahu saya Thesaurus sehingga spelling bisa kita cek lewat komputer 
(Bahasa Indonesia nggak punya khan?).
Lalu setahun di sana, pindah ke harian The Nation di Bangkok. Lebih banyak 
menulis feature. Itu pertama kali saya sadar bahwa standar jurnalisme di sana 
beda dengan di sini. Mereka pakai byline, pakai firewall, mempekerjakan 
kolumnis dan sebagainya. Ini praktek yang tak ada dalam jurnalisme ala Palmerah 
hingga Kebon Jeruk.
Belakangan baru sadar standar di media Palmerah, termasuk harian Kompas, Media 
Indonesia, Tempo, Gatra dan rombongannya, termasuk ketinggalan banget dari 
rekan mereka di Bangkok atau Hong Kong.
The Nation belakangan menunjuk saya jadi kolumnis. Digaji
tiap bulan. Lumayan gajinya dalam dollar Amerika. Bisa buat menabung.
Apalagi saat krisis moneter. Satu dollar pernah jadi Rp 23,000.
Tahun 1996, tiap minggu menulis kolom di halaman editorial. Mereka
memberi kesempatan saya menulis panjang, satu halaman penuh, terkadang
lebih. Mewah banget bukan? Umur saya baru 31 tahun.
Di sana saya melatih diri menulis esai, sebaik-baiknya. Mulai dari
soal skandal bisnis emas Busang, Timor Lorosae, Aceh, Partai Rakyat
Demokratik, Sri Bintang Pamungkas, Aung San Suu Kyi, kebrutalan tentara
Indonesia dan sebagainya. Saya juga boleh menulis untuk media lain asal
bukan saingan The Nation –misalnya The Bangkok Post.Maka saya menulis untuk The 
American Reporter secara
gratisan. Saya suka karena The American Reporter mencoba jadi media
alternatif di Amerika Serikat. Saya dibayar kalau berita dipakai media
lain. Joe Shea, editor di sana, banyak membantu meningkatkan mutu
reportase saya. Dia juga mengomel kalau salah grammar.

Sebagai kolumnis, saya melatih diri berargumentasi, mencoba
menyakinkan orang yang tak setuju dengan saya, agar mengerti isu yang
saya kemukakan. Setidaknya, mereka setuju dengan metode analisisnya.
Saya banyak belajar bagaimana menulis opini dari situs web Pulitzer
Prize.. Di situ banyak contoh. Saya menggunakan kata-kata sederhana
saja. Kalau kesulitan, saya mencari kamus atau menelepon teman yang
native speaker.
Ketika dapat beasiswa dan belajar di Universitas Harvard, barulah saya mengerti 
ada struktur yang lebih rumit lagi: NARASI.
Kerennya, disebut “jurnalisme sastrawi.” Anda menyebutnya “penulisan
kreatif.” Saya lebih suka nama “narasi” tapi nama “jurnalisme sastrawi”
lebih populer. Padahal salah kaprah sering muncul. Dikiranya, ini
penulisan fakta yang mendayu-dayu dan puitis.
Bill Kovach, guru saya di Harvard, mendorong saya belajar narasi.
Kovach juga mententir harus baca buku apa? Tiap minggu ia cek. Sudah
selesai? Kalau sudah, ia beri judul lagi. Black Hawk Down. Philadelphia
Aurora.. The New York Times. CBS. The New Yorker, Scotty Reston, Harold
Ross, David Halberstam dan sebagainya.
Pulang dari Boston, menulis untuk media internasional secara
freelance, sambil menyunting majalah Pantau. Inilah periode ketika saya
benar-benar belajar dan berlatih bersama rekan-rekan Pantau lainnya:
Agus Sopian, Agus Sudibyo, Alfian Hamzah, Budiman S. Hartojo, Budi
Setiyono, Chik Rini, Coen Husain Pontoh, Eriyanto, Hamid Basyaib,
Helena Rea, Heru Widhi Handayani, Indarwati Aminuddin, Irawan Saptono,
Ni Luh Sekar, Linda Christanty, Max Wangkar, Sirikit Syah, Veven Sp.
Wardhana dan masih banyak lainnya (sorry rek nek ono sing lali).
Sambil menulis dalam Bahasa Indonesia, saya juga membandingkannya
dengan bahasa Inggris. Saya sendiri nggak punya bahasa ibu yang
official. Saya lahir di Jember, satu kota tembakau di Jawa Timur. Nama
pemberian orang tua saya, “Ong Tjie Liang,” tapi oleh rezim Orde Baru,
kami dipaksa ganti jadi nama “Indonesia.” Nama “Ong Tjie Liang”
dianggap “bukan Indonesia,” dianggap belum membaur. Papa orang Hokkian.
Mama orang Hakka. Di jalanan, kami memanggil satu dengan lainnya dengan
“lu” dan “gua.” Tapi nenek kecil orang Jawa asal Tuntang, Malang. Saya
memanggilnya “kima.”
Jadi saya besar dengan budaya campuran. Besar dengan Man Tuka yang
Madura. Mbek Wie yang Madura. Pak Tie yang Jawa. Masa kecil yang
menggembirakan. Omong Madura, Jawa, Melayu, Hokkian.
Enak. Gado-gado. Kamsia. Kulo nuwun. Sampeyan. Kebacut. Selangkong. Dan (maaf) 
Diancuk.
(Kata terakhir itu difamilierken lagi ke kuping saya oleh Alfian
Hamzah dalam “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan.” Alfian sendiri belajar
dari anggota-anggota Batalyon Infanteri 521/Dadaha Yodha Kediri yang
bertugas di Aceh Barat pada 2002).
Ketika kecil, juga ada bahasa Indonesia ala TVRI dan RRI –yang
rasanya keriting di kuping tapi mereka bilang inilah Bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Ketika duduk di bangku SMPK Maria Fatimah Jember,
belajar bahasa Inggris dengan Pak Hur, guru bahasa Inggris di sana.
Saya paling muda sekelas.
Ketika masuk SMAK St. Albertus Malang, ambil kursus bahasa Inggris
privat, di rumah seorang dosen IKIP Malang. Bahkan sudah lupa namanya.
Tante itu baik sekali. Lalu sempat les bahasa Jerman di satu pusat
kursus di Malang. Juga lupa namanya. Cuma ingat, “Ich liebe dich.” Tapi
punya temen-temen yang hebat, yang mengajar saya untuk belajar apa saja
untuk maju. Pastor kepala sekolah kami, Pater E. Siswanto, juga orang
liberal yang berpikir terbuka. Hidupnya penuh tragedi tapi ia mendidik
kami dengan terbuka. Keluarganya mati dibunuh perampok.
Masuk kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, daerah
pekat Jawa-Mataram, yang makanannya terasa berlebihan manis untuk lidah
Jember saya. Logat Jawatimuran dianggap kasar. Apalagi omong kata,
“Diancuk.” Padahal di Malang dan Jember, “diancuk” adalah bumbu omongan
perkoncoan. Nggak apa-apa. Belajar Kromo Inggil untuk pergaulan. Orang
Cina, to be politically correct, orang Tionghoa, disana juga alus-alus
Kromo Inggil.
Di Salatiga, juga kerja sebagai aktivis grassroot (ceile!) dengan
para sais dokar. Tiap hari ada di terminal dokar Margosari. Orang-orang
Jawa tapi “ngoko.” Komboran. Jaran. Suket. Maka mulailah saya dikenal
sebagai “Mas Andreas” oleh Pak Achmadi, Mas Sukardi, Mas Slamet, Bu
Endang, Mas Wagimin dan sebagainya. Lalu sempat mengajar bahasa Inggris
untuk anak-anak mereka, dan dipanggil, “Oom Andreas.”
Lulus kuliah, saya bekerja di Phonm Penh. Bicara bahasa Inggris tapi
sempat ambil kursus bahasa Khmer, sehingga bisa bilang, “Cum riep sak
sabai?” Artinya, “How are you?” atau “Are you okay?” Lalu tukang masak
di rumah indekost, sering mengajar kalimat, “Rom Khmer Grohom.”
Artinya, “Crush the Khmer Rouge.” Serem. Hi. Orang Khmer masih trauma
dengan “Killing Fields” ala Khmer Rouge. Bahkan koki di rumah tak suka
dengan Khmer Grohom.
Saya belajar dengan sering switching bahasa. Logika, sering
bolak-balik antara logika Melayu, Madura, Jawa dan Inggris.. Kalau
berhitung dalam hati, saya menggunakan Mandarin, “Ik, ol, san, tse, u,
liok ….” Suka sekali main-main dengan kosakata. Adam Ellick, rekan dari
Fulbright yang kebetulan sering main ke Pantau, mengatakan pemakaian
kata Melayu dalam karya bahasa Inggris saya, membuatnya jadi kenal
kalau ini karya saya. Suatu saat, Adam ketemu suatu karya soal bajak
laut di Batam. Ia merasa akrab dengan gaya itu. Tapi tak ada byline. Ia
menduga karya saya. Ternyata benar.
Saya cinta dengan bahasa-bahasa. Goenawan Mohamad, mentor saya di
Institut Studi Arus Informasi, mengatakan saya punya bakat di bidang
bahasa. Saya tak tahu. Saya hanya tahu imajinasi bahasa melampaui
khayalan saya sendiri. Kita tak pernah tahu batas dari kata-kata kita
sendiri. Terkadang satu pokok pikiran saya tuangkan dalam dua bahasa
dengan khayalan atas dua audiens yang berbeda. Menulis khan soal
khayalan tentang audiens bukan?
Jadi bagaimana resepnya? Belajarlah. Mulai sekarang juga. Seraplah
sebanyak mungkin bahasa. Bukan hanya bahasa Indonesia. Tapi semuanya.
Ia akan memperkaya nalar dan komparasi berbahasa Anda. Ia akan membuat
jarak bahasa jadi sempit, bahkan mesra. Grammar hanya soal logika.
Belajarlah mula-mula dengan piramida terbalik. Lalu feature dan
analisis. Lalu narasi.
Mudah-mudahan cerita ini membantu Anda. Mohon maaf, ini bukan
jawaban seorang guru bahasa Inggris. Tapi seorang wartawan. Terima
kasih dan selamat belajar.


      Why gasoline's price have to raise? Is there any solustion other than 
that?

Kirim email ke