Setidaknya kekuatan kapital yang nt bilang itu masih dapat diimbangi oleh idealisme meski hanya terpaut 57 suara saja (61 dikurangi 4 suara yang dianulir MK).
57 suara = hanya 1/1000 dari jumlah pemilih di Gorut yang berjumlah sekitar 60ribuan). http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20566&cl=Berita Funco Tanipu <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Pilkada Gorut : Thoriq Menang, Walau Kalah Suara! Tadi malam saya ngobrol banyak dengan yang punya Gorontalo Barometer, Laode Aman, tentang hasil Pilkada di Gorut. Saya menuliskan pendapat ini untuk memberi warna yang dinamis pada pelantikan Bupati Gorontalo Utara yang akan segera dilaksanakan. Menurut saya, Thoriq tidak saja fenomenal, tetapi juga berhasil menjadi sebuah monumental. Thoriq menjadi fenomenal sekaligus monumental karena kita tahu bersama bahwa ia adalah pemuda yang berumur dibawah 40 tahun, berstatus pegawai negeri sipil, gaji dibawah 2 juta, performance yang pas-pasan, dan (malahan) hanya didukung partai yang tak punya sejarah kemenangan di Gorontalo. Tetapi kenapa ia sedemikian fenomenal dan semonumental? Dari catatan memori dan rekam ingatan saya, Thoriq adalah seorang yang lugas sekalgus tegas. Thoriq adalah pemuda yang memiliki modal semangat yang luar biasa. Ia juga memiliki cadangan pengetahuan yang berlimpah. Ia adalah pendakwah yang luar biasa. Thoriq dalam ingatan saya adalah seorang muda yang bisa mengawinkan kekuatan verbal/visual dan kekuatan pena. Jarang manusia Gorontalo memiliki kedua hal tersebut secara bersamaan. Thoriq menurut saya adalah manusia tempaan alam. Ia adalah lelaki yang kita tahu bersama sedari awal mempersiapkan Gorontalo Utara untuk menjadi sebuah teritori. Saya ingat hal itu karena agenda PB HPMIG di awal kepengurusan kami tahun 2005 silam adalah bersama-sama dia mendatangi Mendagri untuk segera mengesahkan Gorontalo Utara. Ia bersama KPK mengerahkan segala daya dan upaya untuk membangun urat nadi Gorut. Ia (dan juga KPK) adalah ruh ideologis Gorontalo Utara. Beberapa saat kemudian, setelah Gorut resmi dan sah menjadi sebuah Kabupaten. Thoriq pun menjajal kemampuan personal dan jaringan, setelah ia didesak untuk masuk dalam bursa pencalonan. Paket pun terjalin. Ia lantas menggandeng Djafar Ismail dari PDI P untuk bersama-sama melanjutkan cita-cita awal untuk membangun Gorut. Pertarungan yang sengit pun tak terhindarkan. Mobilisasi kapital merasuk ke sendi-sendi kultural masyarakat Gorut yang secara genuine sama sekali jauh dari instumen seperti itu. Ini dikarenakan masyarakat Gorut adalah masyarakat yang terbuka, dimana faktor geografis membuat Gorut bisa seperti itu. Wilayah Gorut yang berada di bibir samudra pasifik adalah hal yang mengkonstruksi secara alamiah modal sosial masyarakat Gorut. Kapital yang ditransaksikan dalam model hidden agenda kemudian ikut membawa suasana yang seharusnya penuh keterbukaan, fair dan kompetitif malah terlihat seperti ajang perang Mahabarata. Padahal, model seperti ini sudah seharusnya dilenyapkan dari otak kita. Model purba ini pun coba dipaksakan dalam mobilisasi kapital demi sebuah logika take and give. Saya sedari awal memperkirakan bahwa mutu pilkada yang seharusnya ideal, bersih, profesional dan jauh dari unsur transaksi ekonomi purba tidak akan terlaksana secara utuh. Padahal, saya terus terang berharap bahwa pertarungan yang disuguhkan pada publik adalah pertarungan yang ideologis, bermental kemanusiaan, berjiwa luhur dan menjauhkannya dari mobilisasi kapital. Tapi, apalah daya, struktur ekonomi kita yang masih terpenjara dalam logika elit tentunya hanya bisa tengadah/tunduk walau tetap berusaha tak takluk. Akhirnya, Thoriq yang menurut saya memiliki modal sosial lokal yang luar biasa sekaligus cadangan pengetahuan dan iman yang mumpuni untuk Gorontalo Utara mesti mengalah dengan alasan yang dilogikakan Negara yakni mengakui kalah dengan alasan keamanan dan ketertiban. Logika purba yang tak pernah lepas dari memori kita, yang sebenarnya sudah seharusnya menjauhkan diri dari Orde Baru effect. Thoriq pun tersungkur dengan selisih 60 an suara. Sebuah beda yang begitu tipis untuk sekian puluh ribu suara di Gorontalo Utara. Menulis pendapat ini adalah sebuah yang celaka bagi saya dalam persepsi orang Gorontalo kita. Karena semestinya, yang kita tulis pasca kemenangan dan hasil pilkada yang sah adalah menulis sejarah/kisah yang menang. Lagi-lagi, dalam benak masyarakat kita, logika ekonomi menjadi faktor utama. Tetapi, menuliskan kisah yang tragik tentang fenomena Thoriq adalah sebuah tanggungjawab kemanusiaan dan akademik saya tentang seorang muda yang semestinya menjadi suri teladan bagi kita masyarakat Gorontalo yang kekurangan stok calon pemimpin yang berjiwa bersih. Dari Thoriq lah kita bisa berkaca bahwa modal kapital, performance, tebaran baliho dan stiker, dukungan parpol bahkan partisipasi elit pun bukan faktor-faktor penentu dalam setiap momentum politik maupun sosial. Thoriq telah berhasil menelanjangi persepi kita tentang politik adalah sesuatu yang mahal, penuh tipu muslihat bahkan saling meniadakan adalah sesuatu yang salah. Thoriq membalik semua itu. Ia menunjukkan bahwa kewibawaan ilmu, kelurusan niat, kebesaran jiwa, keteguhan hati, dan luasnya iman adalah faktor utama sekaligus modal awal yang semestinya kita jadikan fondasi dalam berbuat. Akhir kata, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa pilkada di Gorontalo Utara adalah "kemenangan" Thoriq, walau ia kalah dalam perolehan suara. Thoriq menang karena ia telah berhasil menghujamkan bayonet kemanusiaan pada sanubari dan benak kita yang masih terjajah oleh wacana elit yang berotak purba. Salemba Tengah 29, Jakarta Pusat. Funco Tanipu nb : Trims buat koneksi gratis dari Asrama Gorontalo Jakarta. Mungkin, jika kalian tak demo, saya tak bisa menikmati koneksi cepat dari Salemba Tengah 29 --------------------------------- Dapatkan nama yang Anda sukai! Sekarang Anda dapat memiliki email di @ymail.com dan @rocketmail.com. --------------------------------- Lebih bergaul dan terhubung dengan lebih baik. Tambah lebih banyak teman ke Yahoo! Messenger sekarang!