Dalam sejarah politik Indonesia, telah mengalami lima kali penggantian
pemimpin nasional (Presiden). Kelima presiden tersebut memiliki visi
sosial yang berbeda, gaya atau style yang berbeda, sekalipun mempunyai
tujuan yang sama, yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Selain itu, sejumlah pemimpin besar (negarawan) juga muncul dalam
panggung politik Indonesia. Akan tetapi, tujuan yang sama untuk
mencapai masyarakat adil dan makmur masih sulit diwujudkan. Meskipun,
strategi pembangunan telah dirubah dari pendekatan trickle down effect
ke pendekatan kemasyarakatan yang terfokus kepada pemberdayaan dan
perluasan kegiatan ekonomi masyarakat pada skala menengah dan kecil
yang secara interkoneksitas akan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.


Sehubungan dengan permasalahan tersebut, menurut Kotter (2001), bahwa
sebagian orang mengatakan bahwa sepanjang sejarah, kepemimpinan yang
berkualitas memang masih kurang. Hal ini boleh jadi benar, boleh jadi
salah. Yang jelas, lingkungan yang bergerak kian cepat dan kompetitif
yang kita hadapi pada abad ke-21, menuntut lebih banyak orang untuk
membuat perubahan. Tanpa kepemimpinan seperti itu, niscaya
organisasi-organisasi akan stagnan, kehilangan arah, dan pada akhirnya
akan mengalami kesulitan. Isu sentral di sini bukanlah persoalan gaya,
tetapi yang penting adalah kepemimpinan itu sendiri. Bagaimana
pemimpin itu, menjadi pemimpin yang amanah dalam arti bertanggung
jawab, kredibel yang dibangun atas dasar integritas, otoritas, dan
kapabilitas, termasuk watak, pengalaman, intelegensia, dan energi,
serta berorientasi masa depan, atau menjadi pemimpin yang visioner


Kepemimpinan nasional yang amanah, tidak dapat dilepaskan kaitannya
dengan birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, ada baiknya terlebih
duhulu dijelaskan apa itu birokrasi. Istilah atau kata birokrasi
mempunyai arti sesuatu yang positif. Kata itu bermakna sebagai suatu
metode organisasi yang rasional dan efisien – metode untuk
menggantikan pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang oleh rajim
otoriter. Logika dari birokrasi dalam kerja pemerintah sama dengan
jalur perakitan dalam pabrik. Model birokrasi pemerintahan seperti ini
dapat diterapkan; jika lingkungan stabil, tugas-tugas relatif
sederhana, setiap pelanggan menginginkan layanan yang sama, serta
kualitas kinerja tidak mengkhawatirkan, dan masih mampu berjalan
sampai tingkat tertentu (Osborn dan Gaebler, 1995).


Max Weber ahli sosiologi Jerman mengembangkan sebuah model struktural
yang ia katakan sebagai alat yang paling efisien bagi
organisasi-organisasi untuk mencapai tujuannya. Ia menyebut struktur
ideal ini sebagai birokrasi. Struktur tersebut dicirikan dengan adanya
pembagian kerja, hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang
formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan
pribadi atau impersonal (Robbins, 1994). Konsep Max Weber tentang
birokrasi berkaitan dengan organisasi rasional, in efisiensi
organizational, kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, administrasi
negara, administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sebuah organisasi,
dan masyarakat modern.


Sehubungan dengan hal tersebut, maka birokrasi dapat dibedakan atas
dua tipe, yaitu; tipe patrimoni dan tipe rasional. Birokrasi patrimoni
adalah adanya sekelompok pejabat. Konsep pejabat (beamter) adalah
fundamental bagi birokrasi. Weber menggunakan istilah Beamtentum
(officialdom = kepejabatan) sebagai alternatif bagi istilah birokrasi.
Weber memandang birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu
badan yang terdiri atas pejabat-pejabat, suatu kelompok yang pasti dan
jelas pekerjaan serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam
organisasi. Konsep ini sejalan dengan pendapat Thoha (2003) yang
mengatakan bahwa konsep birokrasi Max Weber yang dianut dalam
organisasi pemerintahan (government) banyak memperlihatkan cara-cara
officialdom (kerajaan pejabat). Pejabat birokrasi pemerintah adalah
sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung
pada pejabat, bukannya pejabat tergantung pada rakyat.


Adapun birokrasi rasional Weber menurut Blau dan Meyer (1987), dan
Beetham (1996) dicirikan oleh tipe ideal birokrasi, seperti; (1)
pejabat melakukan tugas-tugas secara impersonal, (2) Terdapat hirarki
jabatan yang jelas, (3) fungsi-fungsi jabatan-jabatan itu dirinci
dengan jelas, (4) para pejabat diangkat atas dasar kontrak, (5) mereka
diseleksi atas dasar kualifikasi profesional, (6) gaji disusun sesuai
kedudukan dalam hirarki, (7) pekerjaan pejabat ialah satu-satunya dan
utama, (8) terdapat suatu struktur karier, dan kenaikan pangkat, (9)
kedudukan pejabat tidak boleh dianggap milik pribadainya, dan (10)
pejabat tunduk kepada pengendalian dan sistem disipliner.


Dari berbagai uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa birokrasi sebagai
salah satu bentuk organisasi terdiri atas beberapa orang yang
berkumpul bersama baik dalam suatu hubungan yang resmi maupun tidak
resmi. Organisasi tersebut dibutuhkan sebagai wadah bersama yang
dilaksanakan melalui struktur, proses, dan aturan/norma untuk mencapai
tujuan bersama. Hal ini berarti bahwa organisasi birokrasi dapat
dikatakan sebagai suatu susunan terorganisasi untuk menciptakan
pencapaian tugas administrasi (koordinasi sistematis terhadap banyak
orang). Birokrasi juga dapat diartikan sebagai pejabat pemerintah,
aparatur pemerintah/ administrasi negara /korps pegawai negari sipil,
dan atau prosedur kerja.


Dengan pengertian dan ciri-ciri birokrasi tersebut, maka kepemimpinan
birokrasi selama ini cenderung bersikap top-down atau memerintah, dan
mendahulukan pekerjaan administratif ketimbang urusan sumberdaya
manusia. Bersikap top-down dan mendahulukan pekerjaan administratif,
dipandang oleh Hans dan Finsel (2002) sebagai suatu kesalahan yang
dilakukan oleh pemimpin. Bahkan, dalam organisasi hirarkis tradisional
seperti birokrasi, visi berasal dari puncak atau visi selalu digaunkan
dari "atas" atau datang dari proses perencanaan yang sudah
dilembagakan suatu organisasi (Sange, 1996). Manajemen puncak
menuliskan "pernyataan visi" mereka, seringkali dengan bantuan
konsultan. Orang-orang dalam organisasi tidak perlu memahami visi,
tetapi cukup tahu apa yang diharapkan dari mereka. Visi seperti ini
seringkali mengecewakan hasilnya, karena tidak dibangun berdasarkan
visi pribadi, atau visi pribadi seringkali diabaikan dalam visi strategik.


Pemimpin nasional yang amanah adalah pemimpin yang bertanggung jawab,
pemimpin yang efektif, atau pemimpin masa depan. Kunci menuju
keunggulan bersaing pada tahun 1990-an dan sesudahnya menurut Bennis
(1998) adalah kemampuan kepemimpinan dalam menciptakan arsitektur
sosial yang bisa menghasilkan modal intelektual. Modal intelektual
berarti gagasan, cara melakukan, inovasi, pengetahuan, dan keahlian.
Itulah apa yang akan membuat perbedaan. Melakukan restrukturisasi dan
rekayasa ulang hanya akan menghasilkan sesuatu yang terbatas; kita
tidak bisa melakukan restrukturisasi atau rekayasa ulang atas
perusahaan kita untuk memasuki kemakmuran.


Itu memerlukan gagasan dan penciptaan kembali. Penciptaan kembali
memerlukan otak, gagasan, dan pengetahuan. Kita tidak akan bisa
menarik atau mempertahankan angkatan kerja yang seperti itu dibawah
bentuk kepemimpinan komando dan pengawasan birokratis yang konyol dan
sudah usang. Kita tidak bisa melepaskan kekuatan otak organisasi
manapun juga dengan menggunakan cambuk dan rantai. Kita mendapatkan
apa yang terbaik dari orang-orang kita dengan memberdayakan mereka,
dengan mendukung mereka, dengan membuat mereka berusaha sekuat tenaga.


Pemimpin besar menurut Bennis (1998), paling sedikit harus punya tiga
hal. Pertama, rangkaian keyakinan yang kuat. Kedua, peserta yang penuh
pengabdian. Ketiga, kemampuan menggunakan kedudukannya sebagai mimbar
untuk mendapatkan dukungan luas bagi tujuannya. Semua kriteria ini
adalah apa yang diperlukan pemimpin di tingkat nasional, dan wawasan
ini adalah yang diperlukan organisasi di tingkat lokal. Sebaliknya,
birokrasi tidak mendorong kepemimpinan. Lembaga yang terbaik adalah
lembaga yang mengembangkan pemimpin, dan itu memerlukan pandangan yang
berbeda tentang seperti apa seharusnya organisasi. Bagi Townsend
kualitas pertama yang diperlukan oleh presiden atau pemimpin besar
adalah watak. Kemudian pengalaman, intelegensi, dan energi diperlukan.
Dari itu semua datang rangkaian keyakinan yang kuat.


Selanjutnya, kepemimpinan di masa mendatang menurut White Randall, dkk
(1997) tidak hanya perlu mempunyai kemampuan untuk mengatasi dampak
emosional dari perubahan selangkah demi selangkah, tetapi juga perlu
membantu orang dalam organisasi untuk secara cepat meraih cara kerja
baru yang lebih efektif. Kesuksesan di masa lalu tidak akan menjamin
kesuksesan di masa mendatang. Hasil riset dikenali lima keahlian utama
yang mendasar bagi kepemimpinan gelombang, yaitu : proses belajar yang
sulit, memaksimalkan energi, kesederhanaan menggema, multifokus, dan
menguasai perasaan yang terdalam.


Proses belajar yang sulit berarti memaksimalkan dan mengembangkan
kemampuan dalam diri sendiri. Memaksimalkan energi berarti kualitas
kerja lebih penting, karena kuantitas tidak lagi menjadi keunggulan
bersaing. Kesederhanaan yang menggema berarti mengkristalkan
gagasan-gagasan, dan selalu mudah untuk berbuat berbagai hal yang
kompleks. Fokus adalah masalah persuasi dan pembelaan, yang bisa
bersifat obsesi, yaitu kekuatan yang besar yang perlu dikontrol untuk
kebaikan organisasi dan bukannya dibiarkan menyatukan langkahnya
sendiri. Perasaan yang terdalam berarti memasukkan intuisi, perasaan,
naluri, dalam mempelajari saran, pola, dan kecenderungan dalam
organisasi dan pasar.


Untuk menjamin keberhasilan organisasi, maka pemimpin harus kredibel,
karena kredibilitas adalah kualitas kepemimpinan yang sangat penting
(Shelton, 2002). Pemimpin yang dapat dipercaya harus terpercaya,
jujur, mampu, dinamis, memberi inspirasi, dan memandang kedepan. Tanpa
kredibilitas menurut Sinamo (2002), seorang pemimpin tidak mungkin
menjadi motivator, tidak akan mampu menggalang dukungan, dan tidak
sanggup menjadi path-finder. Kredibilitas adalah soal bagaimana
pemimpin memperoleh kepercayaan dan keyakinan dari para konstituennya.


Kepercayaan dan keyakinan adalah penting dan utama bagi konstituen.
Jadi, adalah tugas para pemimpin untuk dapat lebih dipercaya dan
meyakinkan para konstituen mereka. Kredebilitas ibarat rumah
kepemimpinan. Rumah yang baik membutuhkan fondasi yang kuat. Semakin
kuat fondasi bangunan, semakin kukuh rumah itu. Terdapat tiga fondasi
kredibilitas, yaitu; integritas, otoritas, dan kapabilitas. Demikian
halnya dengan pemimpin nasional yang amanah, harus sanggup membangun
integritas, otoritas, dan kapabilitas. Para pemimpin yang efektif
selalu mempunyai rencana; mereka berorientasi penuh pada hasil.


Mereka mengadopsi visi-visi baru yang menantang, yang dibutuhkan dan
bisa diajangkau, mereka mengkomunisasikan visi-visi tersebut, dan
mempengaruhi orang lain sehingga arah baru mereka mendapat dukungan
dan bersemangat memanfaatkan sumberdaya dan energi yang mereka miliki
(Nanus, 2001). Visi-visi tersebut, harus dilihat sebagai suatu elemen
pusat dari kerja sehari-hari para pemimpin yang membangun visi
bersama. Visi bersama muncul dari visi pribadi, namun bagi mereka yang
berada dalam posisi kepemimpinan visi pribadi mereka tidak secara
otomatis menjadi visi organisasi (Senge, 1996). Para pemimpin yang
memiliki niat membangun visi bersama harus rela secara terus menerus
membagi visi pribadi mereka. Suatu visi bersama adalah suatu visi yang
mana banyak orang benar-benar terikat, karena hal tersebut
mencerminkan visi pribadi mereka sendiri.


Ade Irzal Nakoe
Ketua HPMIG Makassar

Kirim email ke