30 tahunan yang lalu, sedikit lebih awal dari
dimulainya China menganut konsep ekonomi pasar,
Indonesia memulai secara besar-besaran industrialisasi
khususnya pada bidang manufaktur.  Industri manufaktur
yang ditandai dengan konsep dasar substitusi import,
penanggalan secara terencana untuk komponen otomotif,
padat karya, dan upaya penyusunan struktur pohon
industri yang lengkap, yang tujuan akhirnya Indonesia
menjadi sebuah negara industri & agrikultur yang kuat
dan mapan.

Pada era akhir tahun 1980-an, Indonesia merupakan
merupakan eksportir kedua terbesar,  setelah China,
untuk produk garmen dan produk alas kaki ke Amerika
Utara.  Bila jalan-jalan di Big-Box store seperti
Walmart, K-mart hingga specialty garment store, akan
kita temukan banyak produk garmen dan linen Made in
Indonesia. Sangat membanggakan rasanya melihat posisi
kita yang cukup menonjol. Namun sekarang, sayangnya
keadaan sudah sangat jauh berubah. Sangat jarang dapat
kita temukan produk-produk Made in Indonesia lagi. 
Untuk produk garmen dan linen dan alas kaki, China
masih sangat menonjol, tetapi produk buatan India,
Bangladesh, Srilanka, Vietnam, Honduras, dll. mulai
merajalela. Kemana produk Indonesia ?  Kenapa
menghilang ?

China, dengan surplus yang mencapai record lebih dari
US$ 200 Milyar tahun 2008 dan saat ini memiliki hampir
US$ 2,000 Milyar cadangan devisa, memang merupakan
raja manufaktur yang sangat digdaya.  Walaupun mungkin
China start sedikit lebih lambat dari Indonesia,
tetapi mereka bergerak dengan arah yang benar,
konsisten dan mencapai momentum pengembangan ekonomi
bersandarkan pada industri manufaktur yang sangat
besar. Kenapa Indonesia, yang pernah dipandang sebagai
macan Asia sekarang melempem, padahal pada saat itu
China belum dipandang sebelah mata ? Apa yang salah?

Saya mencoba mengamati dan berkesimpulan bahwa
beberapa faktor terpenting yang mengakibatkan kita
gagal menjadi sebuah negara industri manufaktur
adalah;

1.     Kebijaksanaan Pemerintah yang salah.
Kebijaksanaan Pemerintah yang salah, tidak konsisten,
sering kurang tegas, kurang jelas masterplannya serta
road map yang tidak tegas diterapkan. Kebijaksanaan
yang salah contohnya adalah memandang bahwa industri
tekstil dan produk turunannya sebagai industri sunset.
Bagaimana mungkin kita boleh memandang industri
tekstil sebagai industri yang mulai meredup kalau +/-
50% floor space retail store di Big Box Store itu
adalah untuk display produk garmen/linen dan alas
kaki, dan juga +/- 70%  retail space di mall di
Amerika Utara dan EU adalah untuk outlet produk
serupa, semuanya adalah turunan produk tekstil. Sangat
menyedihkan dan ironis melihat perkembangan industri
tekstil di dalam negeri, seperti di seputar Bandung
yang sekarang tengah sekarat, ditandai oleh matinya
berbagai industri TPT disana.  Satu contoh lagi yang
menunnjukkan kesalahan kebijaksanaan adalah dalam
industri otomotif yang sampai saat ini Indonesia tidak
mampu membuat kendaraan bermotor secara lengkap.
Kebijaksanaan penanggalan yang dulu digembor-gemborkan
berakhir menyedihkan hingga seperti sekarang.

2.     Kebijaksanaan yang diskriminatif terhadap etnis
Cina,
Kebijaksanaan Orde Baru ini mengakibatkan konsentrasi
etnis Cina hanya dapat bergerak dibidang ekonomi saja.
Hal ini mengakibatkan sebagian besar kegiatan industri
dikuasai oleh etnis ini.  Pada saat yang bersamaan,
dalam perjalanan sejarah, terjadi berkali-kali
kerusuhan anti etnis ini.  Hal yang mana telah
mengakibatkan para pengusaha etnis Cina ini menjadi
sangat konservatif dan cenderung berfikir sebagai
trader yang bersikap jangka pendek karena adanya
ketidakpastian dan ketakutan atas ancaman kembalinya
sikap antipati dari masyaraklat. Kita tahu, bahwa
pembangunan industri yang lengkap dan kokoh
membutuhkan investasi jangka panjang.

3.   Masalah UU Perburuhan.
Kondisi Perburuhan di Indonesia saat ini dinilai
sangat tidak kondusif dan menakutkan para
industriawan, baik lokal maupun asing. Undang-undang
Perburuhan saat ini menyudutkan para pengusaha
sehingga pada akhirnya pengusaha tidak berani untuk
mengembangkan usahanya secara bebas. Hampir tidak ada
pengusaha yang berani membuka usaha karena bila
terjadi PHK, seorang karyawan harus diberi pesangon
berpuluh kali lipat gaji pokoknya, seringkali kalau
perusahaan bangkrut, seluruh asset yang dilikuidasipun
tidak akan mencukupi untuk membayar pesangon
karyawannya saja.   Investor industri membutuhkan
keamanan dan kenyamanan yang tidak dapat diperoleh di
negara kita sekarang ini.

Produktivitas kerja yang rendah.
Bila dibandingkan dengan China, mungkin rata-rata UMP
kita hanya sedikit lebih rendah, tetapi kenapa
investasi asing (FDI) dalam bidang manufaktur lebih
deras mengalir ke China. Ada berbagai pertimbangan
tentunya, salah satunya adalah masalah produktivitas. 
Seorang teman mengatakan bahwa untuk industri garmen,
seorang pekerja di China bisa membuat kemeja 3-4 kali
lebih banyak dan untuk sepatu produktivitasnya hampir
5 kali lipat dibandingkan dengan di Indonesia.

5.   Masalah Pendidikan.
Sikap kerja kita sangat dipengaruhi oleh kultur/budaya
bertani di negara tropis, yang mana sikap kita ini
kurang cocok untuk industri. Dimana dibutuhkan sikap
kerja yang monoton, repetitif, cepat, penuh
konsentrasi, aktif dan harus efisien. Sikap kita
sehari-hari cenderung lamban, relative lebih pasif,
dan kurang menyukai hal yang monoton. Sepengetahuan
penulis, belum ada kurikulum kita yang mencoba untuk
mengatasi masalah ini.  Kita harus lebih serius dan
mengubah budaya yang kurang cocok ini kalau ingin
berhasil dalam bidang industri manufaktur. Mengubah
budaya ini salah satu caranya adalah dengan pendidikan
formal di sekolah.

Kenapa industri kerajinan tangan Indonesia masih cukup
menonjol ? Hingga saat ini,  kalau kita pergi melihat
Indonesian Trade Show yang menjadi andalan selalu
adalah industri kerajinan tangan dan kesenian. Memang
kita cocok sekali untuk berkiprah dalam industri ini.
Orang Indonesia itu memang memiliki jiwa kreatif dalam
bidang seni etnik yang tinggi sehingga produk
kerajinan tangan kita cukup dapat diandalkan. 
Sayangnya, bila kita mengharapkan industri kerajinan
tangan menjadi industri massal, mulailah timbul
masalah latent yaitu masalah konsistensi dalam mutu,
keseragaman, masalah ketepatan waktu delivery, dll.

Dahulu ada NIC (Newly Industrialized Countries) dimana
Indonesia pernah dimasukkan kekelompok ini, namun
akhirnya terpental keluar, kemudian ada BIC (Brazil,
India, dan China) yang pertumbuhan ekonominya sangat
menonjol dan tentunya disertai dengan peningkatan
kesejahteraan rakyatnya. Semuanya sukses karena
didukung oleh sektor riel, terutama sektor manufaktur.
Kapankah Indonesia dapat mengejar menjadi salah satu
negara manufaktur yang sukses ?

Best Regards
Sofyan Uli

PT. Creavisindo Global Solution
Sequis Center 8th Floor
Jl. Jend. Sudirman Kav.71
Jakarta 12190, Indonesia
Tlp / Fax : 021-52903991
Email     : sof...@creavisindo.com

Call me through Skype or YM or GTalk with ID sofyanuli



      
___________________________________________________________________________
Nama baru untuk Anda! 
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke