Kampung Pade dan Gorontalo Kita

Basri Amin
Penulis Lepas

PADE. Itulah nama kampung yang barangkali sudah dikenal semua orang 
di Kabupaten Gorontalo. Diakui oleh penduduk kampung ini bahwa 
kata "Pade" sejajar artinya dengan "Padengo", yang berarti alang-
alang. Pade termasuk wilayah Dusun Polohungo, Kelurahan Biyonga, 
Kecamatan Limboto. Dengan berjalan kaki menyusuri jalan panjang 
berbatu-batu, terjal dan sempit serta dengan menyeberangi Sungai 
Bionga, hingga berhasil mendaki gunung yang berlereng-lereng ± 1 
jam, rombongan KOMPAK (Koalisi Masyarakat Peka Krisis), yang 
dipimpin Harwis Pilomonu, akhirnya berhasil tiba, untuk kesekian 
kalinya, di kampung Pade, Kamis (7/2/08).

Pak Asmin Peda (Kak Wali Asu) dan Pak Husin Ismail (Pak Monoe) 
adalah orang yang sejauh ini selalu bersedia membagi cerita dan data 
tentang kehidupan masyarakat Pade yang kini berjumlah 102 jiwa (27 
kk). Sebenarnya sudah hampir ratusan keluarga yang pernah berdiam di 
sana, tapi kemudian sebagiannya berpindah tempat tinggal karena 
makin sempitnya "kebebasan" dan kesempatan mereka dalam menggarap 
lahan hutan di wilayah Biyonga dan sekitarnya. Masyarakat kesulitan 
hidup di lahan hutan mereka karena dianggap mengganggu keberhasilan 
gerakan rehabilitasi hutan dan lahan. Kendati kenyataan di lapangan 
menunjukkan bahwa tanaman Gerhan belum sepenuhnya berhasil memberi 
bukti dan kepemihakan kepada nasib rakyat dan lingkungan kita. 
Swakelola masyarakat dan peran mereka yang lebih otonom, lebih lokal 
dan menyejahterahkan relatif masih sangat terbatas. Lalu, mestikah 
dengan tinggal di daerah hutan berarti rakyat harus hidup serba 
sulit?

Pak Manoe begitu sabar menemani dan berbincang dengan rombongan 
Kompak (Ismail Abd Kadir, Sunarto Adam dan penulis) menyusuri lereng-
lereng Pade. Yang cukup mengesankan adalah karena kami bisa melihat 
langsung sumber mata air gunung yang selama ini "menghidupi" warga 
Pade, tepat di daerah perbatasan Malahu dan Dulamayo Utara. Sambil 
mencicipi jambu-jambu gunung dan mangga, serta melihat beberapa 
tanaman kemiri yang usianya 30-an tahun, kami makin merasakan sebuah 
kebersamaan kampung yang otentik, dan betapa keterpinggiran lokasi 
hidup rakyat kita di Pade bisa menjadi cermin bahwa Gorontalo memang 
harus "berubah" dan mestinya lebih baik. Semangat hidup warga Pade 
tidak kalah dengan warga Gorontalo yang lain. Meski kepemihakan 
kebijakan negara dan fasilitas hidup belum mereka nikmati dengan 
layak (listrik, akses pasar, MCK, dst), tapi warga Pade tetap mampu 
melahirkan keharmonisan, kebersamaan dan pemimpin handal di antara 
mereka. Warga Pade cukup mandiri dan religius, seperti terlihat 
dalam pendirian masjid dengan swadaya mereka sendiri. Arisan 
pengajian bahkan menjadi sumbu kebersamaan yang penting karena tidak 
dijalankan dengan motif mengumpul uang untuk kepentingan pribadi 
(anggota arisan), tapi semata digunakan untuk biaya kegiatan 
silaturrahmi (kebersamaan) kampung itu sendiri.  

Kemiri adalah komoditas yang dominan menghidupi masyarakat Pade, 
dengan harga kisaran Rp. 7.500/kg. Sebagian di antara mereka 
berkebun jagung dan cabai. Meski setiap rumah memelihara ayam, hanya 
ada beberapa yang memiliki ternak sapi dan kambing. Kondisi tempat 
tinggal di lokasi yang berbukit-bukit dan berlereng-lereng membuat 
masyarakat Pade tetap bisa tegar mengerjakan hidup mereka dengan 
kemungkinan-kemungkinan yang tersedia. Bagi mereka, hidup adalah 
pilihan. Alam telah menjadi "guru" abadi warga Pade, walaupun, 
mungkin, dalam ukuran kemajuan material dan tampilan hidup mereka 
masih sering dianggap "pinggiran".

Anak-anak mereka memang sebagian besar kesulitan melanjutkan 
pendidikan di tingkat SMP. Untuk ke sekolah dan Puskesmas, warga 
Pade harus turun gunung di dataran Polohungo bawah, tapi ini tentu 
cukup beresiko di musim hujan karena derasnya arus sungai Biyonga 
yang harus mereka seberangi. Sebagian yang lain memilih jalan kaki 
ke Malahu. Secara umum, warga Pade dan anak-anak mereka hanya 
mengecap pendidikan SD. Setelah itu, mereka lebih memilih menjadi 
bagian dari "tenaga kerja" keluarganya. Pekerjaan rutin di kebun, 
memelihara ternak dan tanaman yang ada di sekitar rumah mereka 
adalah "pekerjaan warisan" yang segera harus dijalani oleh seorang 
anak yang mulai berusia 10 tahunan.

Sabtu, 9 Februari 2008, rombongan KOMPAK kembali bertemu dengan 
warga Pade. Kali ini Harwis Pilomonu, bersama Ismail Abd Kadir dan 
Rulan Pobi kembali mendalami bagaimana profil ekonomi masyarakat 
Pade sekaligus memfasilitasi perbincangan tentang berbagai harapan 
dan kekhawatiran mereka. Dengan cukup terbuka dan akrab, berkat 
pendampingan  Ka' Wali Asu dan Pak Manoe, warga berbincang-bincang 
satu sama lain tentang kehidupan mereka dengan Kompak. Cukup terasa 
bahwa yang mereka rindukan adalah "perlindungan" atas kehidupan 
sosial ekonomi mereka. Usaha cabai (rica) misalnya, meski sangat 
baik dari sisi permintaan pasar dan harga yang ada, tapi tampaknya 
hama/penyakit  (keriting) cukup sering menggagalkan panen mereka. 
Lebih jauh kerinduan mereka adalah soal permodalan dan akses 
terhadap pengetahuan dan fasilitas (pupuk, pestisida, dsb) yang 
terjangkau dan ramah lingkungan. Semoga!


Kirim email ke