bung iqbal
di negeri sakura,
yang perlu dikhawatirkan,  
ketika kesenian hanya dibiasakan untuk dilombakan, adalah kondisi mental
orang-orang yang terlibat di dalamnya, baik mereka  yang hendak tampil di
panggung,  para jurinya, pelatih, bahkan penontonnya. tekad untuk meraih
kemenangan dengan menampilkan yang terbaik , pada kondisi tertentu, bisa
menjadi semacam penyakit yang melemahkan nilai berkesenian. 
di Gorontalo sendiri misalnya, saya pernah mendengar "legenda"
seorang   pelatih penyanyi yang jika menggunakan keterampilannnya,
maka yang membutuhkan harus membayar mahal, sebagai sebuah contoh soal, tentu
saya berharap semoga "legenda" itu tidak benar. 
saya sendiri kerap kecolongan untuk  "curiga", bahwa 
jangan-jangan, kesenian tradisional  yang acap dilombakan itu, adalah
semacam "infus" agar   kesenian tradisional itu bertahan, dalam
arti kata, jika dilombakan dengan iming-iming hadiah uang yang cukup banyak,
tentu banyak pelaku kesenian tradisi yang ingin mengambil kesempatan itu, hemat
saya, ini menandakan bahwa tahapan berkesenian kita (terutama yang tradisi) ,
telah dibunuh karakternya  oleh hal-hal yang dikompetisikan. kita pun
menjadi manja sekaligus bebal, mungkin itu juga sebabnya jarang sekali terjadi
sebuah peristiwa kesenian yang berdiri sendiri.  dalm sebuah perlombaan,
dengan mudahnya muncul prasangka, pada segala sesuatu yang membuat kita harus
menelan pil pahit kekalahan,  sampai pada batas ini, tak jarang
sebuah  kompetisi (apalagi di bidang kesenian) yang seharusnya mengandung
nilai sportivitas dan kearifan,  menjadi ajang untuk saling bela diri,
tuding menuding,  dan setelah berlalu, ajang -ajang seperti itu akhirnya
hanya menjadi aib yang akan terus-menerus diingat bagi mereka yang kecewa -
saya juga menemukan  beberapa indikasi dari beberapa lomba kesenian yang
menunjukkan juri yang tidak independen - bagi saya mereka juga adalah korban
dari kebiasaan dan pembiasaan berkompetisi . tak lupa salut buat anda atas
kerja kebudayaan di negeri orang. o ya, titip salam buat maria ozawa wua..
salam
syam



________________________________
Dari: iqbal makmur <kaizen...@yahoo.com>
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Terkirim: Sen, 8 Februari, 2010 15:33:18
Judul: Re: Bls: [GM2020] juri festival dana-dana hut gorontalo

  
Salam temans,
 
Saya sepakat dengan pernyataan bung Syam bahwa kesenian/kebudayaan kita memang 
belum diapresiasi sebagai agenda yang berdiri sendiri tapi msh terjebak dengan 
seremonial dan perlombaan. Beberapa tahun yang lalu saya juga pernah terlibat 
dalam kegiatan ini, waktu itu saya dipercayakan oleh para orangtua murid untuk 
memanajeri anak2 SD Oluhuta Kabila untuk ikut dalam lomba dana-dana tingkat 
propinsi karena sekolah tidak memiliki cukup dana untuk menghandle 
keikutsertaan siswanya.
Melihat semangat dan kesungguhan para ortu ini akhirnya saya mau menerimanya 
dan langsung menghubungi teman2 penari/pelatih dana2 dari kota yang kami sewa 
dengan biaya urunan. Singkat cerita anak2 kami bisa melaju sampai babak final 
dan 'hanya' jadi juara dua dengan alasan yg sampai saat ini tdk saya mengerti. 
Menurut penjelasan dewan juri sebenarnya tim Oluhuta memiliki nilai tertinggi 
dari penampilan, yang membuat kami hanya bisa jadi juara dua karena semua 
penarinya perempuan, sementara tim yang lain berpasang-pasangan (laki2 dan 
perempuan). 
Sehubungan dengan penjelasan om Toti bahwa penari dana2 sebenarnya semuanya 
laki2 mungkin senada dengan argumentasi saya. Saya pikir sebagai budaya yang 
bersendikan kitabullah tidak mungkin tarian dana2 memiliki pakem berpasangan, 
apalagi tarian ini ada kontak fisik. Alasan ini juga yang saya sampaikan ke 
dewan juri tapi tetap tidak diterima, padahal semua penonton juga tahu tim 
kamilah yang menjadi penampil terbaik. Usut punya usut, ternyata salah satu 
dewan juri ada familinya yang ikut mewakili sekolah tersebut. Masih seperti 
inilah kwalitas apresiasi masyarakat kita terhadap kebudayaan daerah.
 
 Tahun lalu saya dipercayakan mengkoordinir festival budaya nusantara di Kyoto 
dan mendapat sambutan yang sangat meriah bahkan banyak calon penonton yang 
tidak kebagian tiket. Sebulan kemudian saya dihubungi oleh salah satu event 
organizer dan mengundang kami dalam acara tahunan festival musik/tarian 
Internasional.
Insya allah kalau masih lama di Jepang saya akan mencoba untuk memasukkan 
tarian daerah Gorontalo untuk iven sejenis tahun depan.
 
Iqbal


--- On Sun, 2/7/10, Syam Sdp <syam...@rocketmail. com> wrote:


>From: Syam Sdp <syam...@rocketmail. com>
>Subject: Bls: [GM2020] juri festival dana-dana hut gorontalo
>To: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com
>Date: Sunday, February 7, 2010, 10:26 PM
>
>
>  
>pak tot,
>sepengamatan saya sejauh ini, dana-dana kita, di antaranya  cenderung 
>digunakan sebagai "kosmetik" politik kita; mereka hadir (atau dihadirkan) 
>hanya dalam   prosesi-prosesi seremoni belaka, seperti yang sempat saya 
>singgung pada acara launching lomba SMS & Poster SUSCLAM di news cafe beberapa 
>waktu lalu,  para penari, tokoh adat (juga Nou dan Uti) hanya menjadi bagian 
>dari pentas sandiwara, yang akan segera berlalu begitu penonton pergi. saya 
>jarang (atau justru tidak pernah ) melihat orang menari dana-dana di luar 
>perlombaan, atau seromoni pemerintah, dalam arti, sebuah pentas yang berdiri 
>sendiri, murni karena ingin diapresiasi sebagai peristiwa kesenian/kebudayaan .
>
>. seperti itulah wajah pariwisata kita, (juga sebagian besar daerah di 
>Indonesia).mungkin itu juga sebabnya (sekali lagi, demi pariwisata), produk2 
>kebudayaan kita lalu dipermak sedemikian rupa, agar nampak tidak ketinggalan 
>jaman, tanpa terkecuali dana-dana, yang belakangan menjadi dancha: dipadukan 
>dengan dansa cha-cha, ini memang boleh dibilang sebuah "Ijtihad" kebudayaan, 
>tapi saya masih ragu, adakah nilai yang tersisa dari hasil kreasi 
>kawin-mengawinkan itu?  
>soal dana-dana yang dilombakan, sejauh pengamatan saya sejauh ini, juga masih 
>terjebak pada ego masing-masing daerah, untuk berusaha merasa yang terbaik, 
>akibatnya, kekalahan masih  menjadi kenyataan yang sulit diterima oleh pihak 
>yang kalah, kesenian kita menjadi ajang kompetisi semata,  yang kadang 
>berlangsung tidak sehat.odito kira2 ju
> 
>syam
>
>   
>
>
>
>
________________________________
 Dari: toti lamusu <toti_lamusu@ yahoo.com>
>Kepada: gorontalomaju2020@ yahoogroups. com
>Cc: emilia hinta <e...@emiliahinta. com>
>Terkirim: Sen, 8 Februari, 2010 13:38:59
>Judul: [GM2020] juri festival dana-dana hut gorontalo
>
>  
>
>
>setelah diguyur hujan deras sepanjang petang kemarin , malam harinya di rumah 
>dinas gubernur gorontalo diadakan perlombaan tarian dana-dana (atau juga zapin 
>, untuk semua masyarakat/etnis melayu pesisir , baik sumatera , kalimantan )
>
>saya meluangkan waktu untuk menyaksikannya , karena sejak tahun lalu sempat 
>smsan dengan ibu emilia hinta untuk menyaksikan dana-dana di sanggar beliau di 
>batuda'a .
>
>terakhir melihat dana-dana di poso , di tahun 60-an , nggak ingat di pesta 
>nikahnya sude atau sena , di 'mulu koala'  , muara sungai poso , sulawesi 
>tengah .
>
>seorang petugas yang mendampingi group dana-dana dari boalemo berujar bahwa 
>dana-dana juga ditarikan oleh kaum wanita . saya bilang , bukankah dana-dana 
>hanyalah ditarikan laki-laki saja ? sama seperti tari saman dari atjeh yang 
>selalu digunakan oleh panitia berbagai festival tari internasional untuk 
>menahan publik bertahan menikmati pertunjukan sampai akhir
> atau 'end of the show' yang kemudian berakhir dengan 'standing ovation' .
>
>kebetulan saya sempat membawa group ke berbagai festival tari antaranya dari 
>sma bulungan ke cory , italia , al azhar ke veliko , bulgaria dan group 
>lab-school , jl. achmad dahlan , kebayoran baru ke pendik , turkey dan bern , 
>swiss yang berakhir dengan tipu ketua panitya dimana saya juga hartus 
>menanggung biaya perjalanan tour group tersebut dan sebagian uang saya tidak 
>dibayar oleh panitya dengan penasihat hukum susy aliani dan wiwiek heryta .
>
>selain menyaksikan festival tari tersebut yang semuanya diketuai oleh sdr. 
>said rachmat yang diberi wewenang oleh unesco di indonesia untuk menunjuk 
>sekolah mana yang ditunjuk dan ke festival mana mereka harus pentas , juga 
>menyaksikan program tari selama 3 exposisi dunia , 1986 di vancouver , canada 
>, 1988 di brisbane , queensland , australia dan terakhir di sevilla , spanyol 
>pada tahun 1992 .
>
>ada yang aneh semalam ,
> sebelum pengumuman siapa pemenang dana-dana , seorang wanita yang duduk dalam 
> dewan juri mengumumkan bahwa salah satu juklak untuk pementasan penari harus 
> terdiri dari 10 pasang penari , yang anehnya rombongan dari pohuwato dengan 
> hanya 5 pasang penari , malah menduduki juara ke 5 sementara group gorontalo 
> utara dengan jumlah penari yang benar , malah menjadi juara ke 6 , tempat 
> yang seharusnya mereka duduki adalah nomor 5 atau malah diatasnya .
>
>yang menyedihkan bahwa dari kostum group gorontalo utara yang tampil memukau , 
>malah membuat mereka jatuh dari kostum , yang dianggap bukan pakaian 
>sehari-hari , barangkali dewan juri lupa , kalau sebuah tarian tampil dengan 
>kostum bersahaja , akan sangat membosankan melihatnya apalagi menikmatinya .
>
>group boalemo yang menjadi pemenang , malah tarian mereka tidak dapat 
>dinikmati dengan leluasa karena dipagari para musisi mereka yang mengitari 
>seluruh pemain tanpa sela , jadi yang terlihat otomatis
> hanya penari diujung dari group tersebut . sementara penonton tidak bisa 
> menikmati gerak tari dari para penari .
>
>jika dewan juri bersikap seperti ini , kapan dan bagaimana tujuan mulia untuk 
>melestarikan dana-dana atau zapin ini bisa berkembang atau bisa dicintai 
>publik ? terus kemana dana-dana ini akan dibawa ?
>
>salam ,
>
>tot 
> 
>
>________________________________
 Dapatkan alamat Email baru Anda! 
>Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!  

 


      Mulai chatting dengan teman di Yahoo! Pingbox baru sekarang!! Membuat 
tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah. 
http://id.messenger.yahoo.com/pingbox/

Kirim email ke