Universitas, Rasio dan Emosi

Basri Amin
Penulis Lepas, Warga Hepuhulawa Limboto

Universitas di Indonesia makin sering dibahas belakangan ini. Penyebabnya 
beragam, bermula dari peristiwa bentrokan yang melibatkan mahasiswa, isu 
plagiarisme hingga persoalan korupsi, komersialisasi, kualitas, dan permainan 
kekuasaan di universitas. Sayangnya karena kontribusi penting universitas lebih 
sering diabaikan dalam riwayat progresifitas bangsa kita. 

Pentingkah universitas itu? Menjawab dengan kata "ya" adalah cara termudah, 
tapi sekaligus menjauhkan kita dari perasaan puas dan pikiran meyakinkan. 
Demikian tinggi statusya sehingga universitas di sebut pendidikan tinggi, dan 
para warganya diberi aroma khusus, sering dipanggil civitas akademica, guru 
besar, dosen dan maha-siswa, dst. Sebagai lembaga, ia dinamai alma mater, 
bermakna "ibu yang melahirkan dan merawat pengetahuan". Ketika sebuah ritual 
diselenggarakan, pakian kebesaran bernama "toga" menjadi simbol atas sebuah 
"tahta keilmuan", bahkan terkesan sebagai suatu ketenaran hidup. Toga, sebuah 
pakaian yang diwarisi dari tradisi Romawi dan simbol kuasa di wilayah sipil. Ia 
tak pernah dipakai oleh tentara, dan karena itulah ia sangat lekat dengan 
nuansa kebesaran, keluesan, dan perdamaian (kearifan?) yang melekat di tubuh 
(jiwa dan kepala/pikiran). 

Karena idealitas dan kebesaran seperti itulah barangkali sehingga dengan segala 
cara orang berusaha memperoleh legitimasi dari universitas, dari yang sangat 
terkenal, jauh, tua, dan mahal; atau dari yang berkelas internasional hingga 
lokal, sampai ke universitas berkelas "ruko" yang kesannya hanya menjajakan 
gelar bayaran dengan modal papan nama dan gedung pinjaman (?). Kini, mode dan 
modus pendidikan di universitas juga makin bermacam-macam. Lalu apakah semua 
orang yang pernah, atau yang tetap, menjadi warga universitas adalah lebih baik 
kualitas hidupnya daripada orang yang tak pernah mengecap universitas? 
Jawabannya bisa macam-macam, karena "lain lubuk lain ikannya..."

Apakah universitas itu? J.A. Perkins menjawab "universitas adalah perwujudan 
bersama atas hak manusia untuk mengetahui" (The University in Transition, 1965: 
5).

Catatan ini terpicu di perpustakaan. Saya lagi kejenuhan mencari ide untuk satu 
bab disertasi saya tentang mahasiswa pendatang di Ternate. Syukur karena kampus 
kami di Leiden sepertinya sudah dirancang agar warganya tak pernah putus 
harapan dalam menemukan ide dan kenyataan. Caranya mudah: buka perpustakaan 
kampus sampai jam 12 malam, lalu dorong "kemerdekaan" warga untuk bertanya dan 
mencari-tahu sesuatu. Pekerjaan pustakawan dimuliakan, lalu teknologi dijadikan 
alat yang efektif. Kota Leiden juga lambang-nya adalah "kunci" –persis sama 
dengan kunci rumah kita, agak panjang dan bergigi--, tapi itu kemudian ditulisi 
kata baru: "key to discovery". 

Tahun 2010 ini, Universitas Leiden, tempat saya belajar memperingati usianya 
yang ke-435 (1575-2010). Hari ini, yang membuat saya sedikit merenung dari 
kejenuhan adalah karena universitas ini membuat tema lustrum yang terlalu 
sederhana: Rasio & Emosi. Rupanya, menurut Rektor Leiden, Prof. Paul van der 
Heijden, kedua kata kunci tersebut sangat mewakili kenyataan dan klaim-klaim 
kebenaran yang melingkupi dunia pemikiran dan praktek ummat manusia saat ini. 
Berbagai keadaan dan gugatan kita atas situasi sekitar sangat ditentukan oleh 
konstruk pengetahuan kita akan rasio dan emosi itu (soal krisis global, 
keadilan, agama, migrasi, dst). Untuk memperkuat argumen soal rasio dan emosi, 
van der Heijden bahkan mengajukan 8 pertanyaan dasar dalam pengantarnya pada 
buku/brosur Lustrum 2010 universitas, padahal pengantarnya hanya empat paragraf.

Pertanyaan-pertanyaan dasar dan besar tampaknya makin mendesak diajukan 
oleh/kepada universitas saat ini. Leiden yang sudah berusia 435 saja tak pernah 
berhenti mengajukan pertanyaan, dan sepanjang itu pula ia menyuguhkan 
jawaban-jawaban kepada dunia dan ummat manusia. Universitas ini, kalau boleh 
saya sederhanakan, sebenarnya cuma punya satu karakter: tradisi bertanya!

Ibarat MEJA, sebuah universitas memiliki empat kaki utama: (1) pengembangan 
pengetahuan melalui riset; (2) transmisi dan ujian pengetahuan melalui 
pengajaran; (3) perlindungan pengetahuan melalui karya-karya kesarjanaan; dan 
(4) perluasan pengetahuan melalui publikasi. Meja universitas akan selamanya 
goyang jika keempat kaki ini tak kuat satu sama lain. Demikian pendapat 
Jaroslav Pelikan (dalam the Idea of University, 1992) ketika menulis buku untuk 
seabad Universitas Chicago, USA (1892-1992).

Integritas dan kualitas universitas tak pernah datang dari langit. Ia 
dikerjakan di bumi kenyataan. Keberadaannya sangat ditentukan oleh berbagai 
jenis "ujian" dan "keringat" konsistensi, keteladanan, dan visi besar, terutama 
untuk membuktikan dirinya sebagai salah satu rumah yang mewah bagi pengetahuan 
dan kearifan. Dan itu semua hanya mungkin dicapai kalau universitas dan 
warganya memuliakan "tradisi belajar" yang mendalam. Dan di atas segalanya, 
universitas tak pernah punya hak absolut untuk mencapai semua keluhuran 
pengetahuan dan kearifan itu. 

Kebesaran sebuah universitas tak pernah bisa dibangun, ia hanya bisa diciptakan 
terus menerus dari masa ke masa. Dan kekuatan atau obat terbaik untuk setiap 
zaman adalah kemampuan untuk "melihat ke depan". ***

Inilah catatan saya untuk Gorontalo-Maret 2010.
Maaf atas kekurangan2nya…

Salam, 


Kirim email ke