Titip Rindu Buat Ayah
(Mengenang 40 Hari Almarhum Aba; KH. 
Muhammad Abubakar)
By: Kim

Jika sakit 
panjang itu 
masih memberinya kesempatan sembuh di akhir, mungkin ceritanya akan 
berbeda. Mungkin garis hidup itu hanya akan berjalan lurus saja. Tanpa 
perbedaan, tanpa variasi, tanpa kenangan. Dan cerita tentang dirinya 
hanya akan ada satu warna.

Tapi lebih tiga tahun di pembaringan 
adalah takdirnya. Dan takdir itu adalah tikungan sejarah yang lain, 
untuk sebuah kenangan yang lain. Infeksi di paru-paru, gula, maag, 
diabetes dan banyak penyakit yang menyerangnya bersamaan telah merubah 
garis hidupnya. Seorang kekar, aktif dan pekerjakeras itu tiba-tiba 
terbaring lemah di pojok kamar pribadinya, tak berdaya.

Tapi 
Allah hendak menguji untuk memberinya prestasi yang lain. Prestasi yang 
mungkin takkan pernah direngkuhnya dengan tubuh segar bugar; prestasi 
dunia, tapi lebih dari itu prestasi di hadapan Tuhannya. Dari 
pembaringan itulah Ia membentuk kedewasaan putra-putrinya lebih cepat 
dari lazimnya. Dari kamar kecil itu Ia selesaikan puluhan bacaan dan 
sempurnakan wawasannya. Dari sana Ia catatkan banyak kenangan untuk 
orang-orang terdekatnya.

Ia buktikan pada Allah, pada dirinya 
sendiri, pada keluarga dan masyarakatnya, bahwa Ia adalah seorang 
pejuang yang tabah. Tidak hanya dalam kata, tapi juga dalam sikap. Ia 
tak pernah mengeluhkan sakitnya. Ia bahkan selalu berucap syukur dan 
mengajak orang-orang terdekatnya bersyukur. Sebab menurutnya, sakit itu 
tak sebanding dengan berlimpahnya nikmat Allah yang telah ia terima 
sebelumnya. Sebab baginya, sakit itu pertanda Allah menyayangi dan 
hendak membersihkannya dari dosa-dosa. Sebab mengeluh tidak akan 
menghasilkan apa-apa. Dan mengeluh, selain pada Yang Maha Kuasa, 
bukanlah tabiat seorang pejuang agama.

Itulah alasan mengapa 
sakit fisik itu tak merusak hati dan mengalahkan semangat besarnya. 
Itulah sebab letih penanggungan itu tak sedikitpun ciptakan mendung di 
pelupuk matanya. Itulah asal kekuatan rohani di tengah lemah jasmaninya.
 Sakit, tapi Ia tak menyerah. Perih, tapi Ia yakin akan pahala yang 
menanti. Dan setiap hari
 yang baru, baginya selalu membawa sejuta 
harapan.

Baik ketika tiga tahun dirawat di kediamannya, atau 
ketika lebih sebulan terbaring di Rumah Sakit Aloei Saboe Gorontalo, 
ketegaran yang ia tunjukkan tetap sama. Tak henti-hentinya kerabat dan 
masyarakat datang mengunjungi, dan tak berhenti ia tebar senyum 
tulusnya. Senyum khas yang takkan hilang dari ingatan. Bahkan ketika 
sedang menahan perih tiada tara sekalipun, ia masih tetap tersenyum. 
Senyum ketegaran. Senyum keikhlasan.

Segala usaha penyembuhan 
manusiawi telah dilakukan. Para dokter dan obat-obatan silih berganti 
menemani hari-harinya. Darah, peluh dan airmata menyatu, ikut 
mengantarkan tulusnya doa-doa. Namun Allah ternyata lebih menyayangi 
hamba-Nya. Allah hendak menjamunya dengan pelayanan terbaik di sisi-Nya.
 Allah ingin mengganti derita dunia itu dengan kebahagiaan sejati.

14

 Februari 2010 adalah hari akhir penantian. Dan kini, namanya abadi 
dalam kenangan. Ia telah bergabung menjadi bagian panjang sejarah. Ia 
telah ajarkan bagaimana sikap terbaik di kala mendapatkan anugerah dan 
di saat tertimpa musibah. Ia telah tunjukkan ketegaran dan ketabahan. Ia
 wariskan pengabdian dan keikhlasan. Ia tak hanya sekedar ayah yang 
penyayang, tapi juga guru yang bijak. Yang senantiasa memberi 
keteladanan hingga akhir hayat. Ia adalah anugerah terbaik dari Allah 
untuk dunianya. Maka nyanyikan untuknya baris-baris lagu Titip Rindu 
buat Ayah. Biarkan semua orang merakit kembali kenangan indah 
bersamanya.
 
Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan 
dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur
 deras
Namun kau tetap tabah
Meski nafasmu kadang tersengal
Memikul 
beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan
 
Engkau 
telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu 
gambaran perjuangan
Bahumumu yang dulu kekar legam terbakar 
matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tak pernah pudar
Meski 
langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia.

Cairo, 24 Maret 2010
http://galaksi.
 multiply. com/journal/ item/48/Titip_ Rindu_Buat_ Ayah





      

Kirim email ke