Thanks ka Basri....
Enlighting... 
Kapan pooli mo ka Gorontalo, sup? Banyak hal yang wajib saya belajar dari ka 
Basri. Salam dari Sultan Ternate. Sampai tanggal 17 april ada acara kerajaan di 
Ternate. Kita berdua diundang. 

Odu'olo,

Elnino

--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, "basriamin" <basria...@...> wrote:
>
> Rektor Kenangan dan Rektor Harapan
> (Catatan Perjumpaan)
> 
> Basri Amin
> Penulis Lepas, Warga Hepuhulawa Limboto
> 
> "...Universitas terlalu penting untuh (hanya) diserahkan kepada seorang 
> rektor…"
> 
> 
> Rektor itu begitu sedih. Badannya beberapa kali terkulai. Ia demikian sulit 
> bisa bicara. Tragedi besar sedang menimpanya. Gerakan anti-akal sehat baru 
> saja menghancurkan kampusnya. Kekerasan atas akal sehat dan kemanusiaan telah 
> menjadikan universitas sebagai korban pertamanya.
> 
> Rektor itu seperti tak kuasa melihat kenyataan buruk. Meski dia masih kuat 
> datang melihat puing-puing kampusnya, tapi di sanalah sebuah kata demikian 
> sulit dan berat dia ucapkan: bibliothèque. Berulangkali dia coba, tapi huruf 
> awal kata itu pun tak mampu dia sambungkan, La bib...". Dia kemudian 
> merebahkan kepalanya di meja, tanpa kata, dengan jiwa yang hampa...
> 
> Perpustakaan universitasnya hancur. Tigaratus ribu buku dan lebih dari seribu 
> manuskrip dunia hangus dalam sekejap, termasuk piagam (asli) berdirinya 
> universitas itu.
> 
> Itulah yang terjadi dengan Monseigneur de Becker, Rektor Universitas Louvain 
> di Brussels, ketika Jerman baru saja menginvasi Belgia pada Perang Dunia 
> Pertama (Agustus 1914). Tahun 1928, perpustakaan Louvain dibangun kembali, 
> tapi sayangnya, ia kembali dibombardir pada Perang Dunia Kedua (Mei 1940).
> 
> Rektor de Becker ini sedih bukan karena kehilangan jabatan atau karena tak 
> punya jabatan. Dan ia sepertinya jauh dari tabiat mencari harta dan tahta di 
> universitasnya. 
> 
> Rektor ini sangat sedih karena kehilangan "sumber pengetahuan" dan "harta" 
> termahal dari (peradaban) universitas yang ia pernah bangun dan impikan.
> 
> Kita bisa abaikan kisah historis di atas, tapi  beberapa pesan moralnya tak 
> bisa dihapus dalam sejarah universitas dan dunia. Setiap masa ada orangnya, 
> setiap orang ada masanya, dan di setiap tempat ada orangnya.
> 
> Rektor di Gorontalo
> 
> Saya pernah berjumpa dengan empat rektor di Gorontalo. Dengan Pak Nelson 
> sebanyak 16 kali (maaf, panjang daftarnya), dengan rektor STAIN 2 kali 
> (sebagai panelis diskusi dan penumpang di Lion Air), dengan rektor UG 2 kali 
> (ketika saya memberi kuliah umum dan jumpa di bandara Manado), serta rektor 
> Universitas Ikhsan 1 kali (acara seminar).
> 
> Dengan Rektor UNG terpilih (Pak Syam), saya sempat bertemu 3 kali di 
> Gorontalo.
> 
> Catatan ini hendak sedikit berbagi refleksi pribadi soal rektor dan dunia 
> universitas kita, khususnya untuk konteks Gorontalo. Tentu ini berdasarkan 
> pengalaman sepihak saya yang terbatas. 
> 
> Pak Nelson adalah pribadi yang cukup hangat, selalu optimis, responsif dan 
> (tentu saja) cerdas. Dalam bercakap, kata "iya" cukup sering saya dengar. 
> Beliau, dalam kesan saya, punya kemampuan untuk bisa "menyederhanakan" banyak 
> hal. Ia lincah dalam membaca momentum dan cepat membuat agenda. Meskipun 
> begitu, untuk beberapa kasus yang sempat saya catat, "kematangan" dalam 
> mempersiapkan momentum yang memiliki implikasi jangka panjang tampaknya 
> (sering) terabaikan. Pak Nelson punya daya dan gaya motivasional dalam 
> berhubungan, beliau lumayan kuat dalam "menjual" mimpi dan punya naluri 
> (historis) publik yang cukup memadai. Tapi, dalam kesan saya, Pak Nelson tak 
> begitu biasa –mungkin karena sibuk atau karena tidak suka--- untuk bercakap 
> dengan kritis, dan memasuki tema-tema konseptual. Padahal, dia adalah penulis 
> yang lumayan baik, dan lulus doktor dengan cum laude.
> 
> Atas semua kiprah Pak Nelson, apa yang kini terjadi di Gorontalo dan 
> khususnya prestasi-prestasi UNG, sedikit-banyaknya, saya rasa cukup 
> berhubungan dengan kesan-kesan saya tentang beliau tersebut. Dan yang saya 
> tunggu sampai kini adalah penghayatan empris dan agenda keilmuan Pak Nelson 
> dalam bidang lingkungan dan kependudukan di Gorontalo. Tapi apakah hal itu 
> penting dan bagaimana mengerjakannya? Hanya beliau yang paling tahu.
> 
> Bagaimana dengan Pak Syam? Saya baru bertemu beliau 3 kali di Gorontalo. 
> Pertemuan yang relatif sangat singkat. Kesan saya pun tentu masih sangat 
> terbatas. Yang intensif terasa adalah "perjumpaan virtual" via e-mail dan 
> milist GM-2020 ini. 
> 
> "Bahasa menunjukkan bangsa," demikian ungkapan Melayu. Dalam kesan saya, 
> bahasa Pak Syam relatif efektif dan langsung mudah terasa. Tidak 
> multi-tafsir, tapi selalu ada ruang untuk bisa diboboti oleh orang lain dan 
> tema lain. Kesan pertama --dan ini yang utama-- dalam pandangan saya adalah 
> "daya bahasa" Pak Syam yang cukup senang dan sering "bertanya". Hal ini tentu 
> bukan tanpa sebab, dan saya rasa ini tidak sekadar gaya, melainkan sebagai 
> "daya". Pertanyaan yang baik meniscayakan karakter diri yang lain: kemampuan 
> menyimak, dan menimbang.
> 
> Keterampilan "menyimak" adalah sebuah pelajaran bahasa yang amat penting, 
> tapi sayang ia sering diremehkan orang. Kemampuan menyimak bahasa lisan dan 
> tulisan –apalagi bahasa tubuh/pikiran-- adalah prasyarat untuk sebuah aksi 
> leadership yang konsisten. Pemimpin yang hanya sibuk dengan sebuah gaya 
> bahasa dan sibuk dengan reproduksi bahasa bagi dirinya sendiri hanya bisa 
> melayani dunia jangka pendek dan kelompok.
> 
> Ada ungkapan bahwa "pertanyaan yang bermutu adalah setengah dari jawaban". 
> Tak heran kalau peneliti yang baik biasanya pertama-tama akan memaksa dirinya 
> untuk menemukan "pertanyaan riset" yang kuat, menarik, dan menggairahkan 
> untuk diinvestigasi, diuji, ditulis, dipublikasi, atau kemudian dimanfaatkan 
> jawabannya secara praktis.
> 
> Kesan saya yang lain, ini agak spekulatif, Pak Syam relatif memiliki intensi  
> dalam hal ber-"eksperimentasi", tapi dengan suatu rancangan percobaan yang 
> memberi kalkulasi khusus atas resiko-resiko. Beliau sepertinya punya 
> persistensi dalam membangun kohesifitas serta kepercayaan yang prinsipil atas 
> sesuatu (orang, agenda, dst). Dengan modal itu, saya tak pernah ragu atas 
> keberanian Pak Syam dalam membuat perubahan dan percobaan. Saya sangka, Pak 
> Syam akan konsisten memulai sesuatu dengan "pertanyaan" --sebagai sebuah 
> daya--, kemudian akan membangun tingkatan penjelasan, dan akhirnya akan 
> bersikap/bertindak untuk sebuah situasi atau rencana. 
> 
> Tantangannya adalah "rutinitas" dan "mentalitas kolektif". Tapi, barangkali 
> kaidah (kerja) yang lain bisa diberlakukan: "...jangan benarkan yang biasa, 
> tapi biasakan yang benar..."
> 
> Demikianlah kesan-kesan saya dan beberapa tafsiran subjektif yang terbatas. 
> Mohon maaf karena ini membahas sesuatu yang agak personal. Tapi sama dengan 
> teman-teman lain, ini semua adalah "suara pengharapan" demi Gorontalo kita.
> 
> Selamat bekerja untuk hari esok yang lebih baik....
> 
> Wassalam,
> 
> Basri
>


Reply via email to