HARI GINI BAYAR PAJAK, APA KATA DUNIA?
 
Pajak merupakan sumber penerimaan utama untuk membiayai anggaran pendapatan dan 
belanja negara. Dalam APBN-P 2010, pemerintah menargetkan penerimaan pajak 
sebesar Rp 733,238 triliun atau kontribusi pajak terhadap APBN sekitar 78 %. 
Pajak sekaligus sebagai indikatif instrument fiskal negara, yang berkaitan 
dengan penerimaan. Potensi penerimaan dari pajak sebagai gambaran langsung 
terhadap perkiraan pengeluaran pemerintah (government spending). Government 
spending tentu diperlukan tidak saja untuk pembiayaan rutin akan tetapi juga 
untuk belanja publik untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Dan pada 
kenyataannya setiap tahun APBN kita meningkat sekaligus menunjukkan government 
spending juga naik. Makin meningkatnya government spending maka sumber 
penerimaan negara (terutama pajak) terus didorong dan target penerimaannyapun 
terus dinaikkan. Konsesinya, pemerintah akan terus menambah basis pajak dan 
menyisir para wajib pajak. Upaya untuk menambah
 basis pajak dan memperbesar wajib pajak, pemerintah (Depkeu) terus melakukan 
sosialisasi di media. Iklan yang sangat akrab dipendengaran setiap hari di 
media elektronika maupun cetak “hari gini gak bayar pajak, apa kata dunia?”, 
“bayar pajak dan awasi penggunaannya” seolah menjadi menu keseharian. 
Tidak itu saja sepanjang tahun 2008 sampai awal tahun 2009 direktorat pajak 
memberlakukan penghapusan biaya (sunset policy) pengurusan NPWP bagi wajib 
pajak. Turunan dari kebijakan sunset policy juga memberikan kelonggaran bagi 
masyarakat yang hendak bepergian keluar negeri yang akan dibebaskan pembayaran 
fiskal, selama ini dikenakan sebesar Rp. 2.000.000,/keberangkatan. Kebijakan 
sunset policy  bertujuan untuk mendorong masyarakat dan para wajib pajak untuk 
memiliki NPWP. Selain pajak penghasilan, juga ada banyak jenis pajak lainnya 
yang dipungut oleh pemerintah sifatnya “memaksa”, bersifat memaksa karena 
pungutan pajak itu tidak ada timbal balik secara langsung diberikan kepada 
wajib pajak. Dengan status “memaksa” tidak jarang pemerintah pusat maupun 
daerah untuk melayani urusan-urusan publik, masyarakat harus memperlihatkan 
bukti pembayaran PBB pada tahun berjalan. Bila bukti pemebayaran PBB tidak ada, 
atau masih menunggak, umumnya si wajib
 pajak tidak akan mendapatkan pelayanan. Pertanyaannya mengapa pemerintah 
bersifat “memaksa” untuk memungut pajak? Karena niscaya hampir semua individu 
maupun badan tidak ada yang mau bayar pajak secara sukarela. Sedangkan sifatnya 
wajib dan “memaksa’ masih banyak yang mangkir dari pembayaran pajak.
Lalu kenapa harus ada NPWP? Salah satu ketentuan yang berlaku dalam pemungutan 
pajak di Indonesia adalah dengan  mewajibkan orang pribadi untuk memiliki Nomor 
Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai sarana dalam melaksanakan kewajiban 
perpajakannya. Awalnya, kewajiban untuk memiliki NPWP ini tidak ditaati oleh 
sebagian besar orang yang seharusnya menaati aturan ini. Sampai dengan tahun 
2007 jumlah orang pribadi yang memiliki NPWP baru sekitar lima juta orang. 
Jumlah ini meningkat pesat pada awal tahun 2009 yang sudah mencapai lebih dari 
dua belas juta orang (Portal Pajak, 2009). Akan tetapi, orang bersedia 
mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP tidak atas dasar suka rela, tetapi 
didasarkan pada keterpaksaan. Di samping itu, banyak juga keluhan dan 
kebingungan di kalangan masyarakat yang sudah memiliki NPWP. Terlebih-lebih 
tiba saatnya untuk melaporkan kewajiban perpajakannya melalui SPT Tahunan Pajak 
Penghasilan. Kerumitan pengisian SPT juga kerap menjadi
 keluhan wajib pajak, karena itu tidak sedikit individu atau badan menggunakan 
jasa konsultan pajak. SPT merupakan penerapan self assessment system. Dalam 
self assessment system, negara (pemerintah) memberikan kepercayaan sepenuhnya 
kepada masyarakat untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan 
sendiri kewajiban perpajakannya. Dengan sistem ini diharapkan peran serta 
masyarakat dalam pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk pembayaran pajak tiap 
tahun semakin meningkat. Tapi dengan sistem ini memungkin wajib pajak tidak 
berlaku jujur, terutama pada korporasi-korporasi.
Pajak akan tetap menjadi andalan penerimaan pemerintah, dalam konteks itu, 
pemerintah selain terus melakukan penyisiran wajib pajak, peningkatan 
penerimaan bakal didukung dengan realisasi sejumlah kebijakan, seperti 
perbaikan basis perpajakan, baik melalui reformasi maupun modernisasi pajak dan 
kepabeanan dalam negeri. Sedangkan untuk meminimumkan resiko kebocoran pajak, 
Depkeu berupaya terus melakukan reformasi birokrasi dengan menerapkan 
remunerasi (perbaikan penggajian) bagi petugas pajak dan bea cukai. Standar 
gaji pegawai di direktorat pajak untuk golongan III A gaji pokok dan tunjangan 
totalnya sekitar Rp. 2,5 juta, kemudian renumerasi Rp. 8,2 juta/bulan dan 
imbalan prestasi kerja. Pada kenyataannya memang penerimaan negara dari pajak 
terus meningkat dari tahun ke tahun, kesadaran masyarakat untuk membayar pajak 
terus tumbuh. 
Kendati demikian, masyarakat yang bersusah payah membayar pajak kembali 
membuncahkan apriori dengan munculnya kasus Gayus Tambunan seorang petugas 
pajak golongan III A melakukan penggelapan pajak sekitar Rp. 395 juta serta 
memiliki rekening yang mencurigakan sebesar Rp. 25 miliar. Dengan jumlah gaji 
yang disebutkan di atas mustahil orang ini punya rekening sebesar itu, rumah 
mewah harga miliaran plus kendaraan mewah. Kasus ini diyakini tidak berdiri 
sendiri, Gayus bukan single actor boleh jadi komplotan. Maka wajar muncul 
gerakan sosial untuk memboikot bayar pajak, meski pihak direktorat jenderal 
pajak melakukan defence bahwa prilaku Gayus bukan cermin dari pegawai pajak 
secara keseluruhan. Tapi logika masyarakat tidak serta merta menerima 
argumentasi itu, justru masyarakat makin yakin bahwa kasus korupsi tidak 
mungkin dilakoni oleh seorang Gayus pegawai golongan III A. Pegawai “rendahan” 
saja seperti itu, apalagi pegawai yang lebih tinggi, harta
 mantan seorang dirjen pajak sebesar Rp. 36 miliar yang menurutnya adalah hibah 
mungkin termasuk cerminan itu. 
Dalam perspektif lain, Gayus ini patut kita curiga sebagai operator lapangan, 
sekaligus anjungan tunai mandiri dari aparat. Kasus rekening Rp. 25 miliar 
sudah lama diendus oleh PPATK dan bahkan sudah empat kali dilaporkan ke pihak  
kepolisian, tapi kasus ini baru mulai mencuat tatkala Susno Duadji menyanyikan 
lagu sendu di luar panggung Mabes Polri. Pasal yang dikenakan kepada Gayus 
awalnya penggelapan, money laundry dan korupsi. Belakangan money loundry dan 
korupsi “tidak terbukti” dipersidangan sehingga uang RP. 25 miliar disimpulkan 
halal oleh polisi dan jaksa. Nyanyian sendu Susno Duadji yang dianggap sebagai 
nista terhadap lembaga polri justru menjadi pembuka kotak pandora, bahwa 
rekening Rp. 25 miliar itu memang penuh keanehan sebagaimana halnya diakui oleh 
Kapolri dan Jaksa Agung. Pada awalnya mereka bersikukuh bahwa rekening itu 
tidak bermasalah. Dalam konteks ini Susno layak dapat tambahan “bintang”, sebab 
tanpa nyanyian Susno, kasus
 ini tidak akan diketahui oleh publik. Kita menunggu kelanjutan kasus ini 
jangan sampai hanya jadi sandiwara penegakan hukum, kalau itu terjadi tagline 
“hari gini gak bayar pajak, apa kata dunia?, diganti menjadi “hari gini bayar 
pajak, apa kata dunia?” kalau hanya untuk dikorupsi. Juga seharusnya bukan 
hanya penggunaan pajak yang diawasi tapi proses pemungutannya pun perlu diawasi 
karena disinilah titik rawan dikorupsi.
 
M. Amier Arham
Catatan; Tulisan ini sudah dimuat di Gorontalo Post


      

Reply via email to