----- Forwarded Message ---- From: bakri arbie <daya...@yahoo.com> To: forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com Cc: arbie bakri <arbieba...@yahoo.com> Sent: Tue, April 6, 2010 10:04:22 PM Subject: Fw: Bls: [AlumniPrancis] Soal BHP (was: 'Whistle Blower') ----- Forwarded Message ---- From: fadhil naufal <fadhil_...@yahoo.co.id> To: alumnipran...@yahoogroups.com Sent: Tue, April 6, 2010 9:50:30 PM Subject: Bls: [AlumniPrancis] Soal BHP (was: 'Whistle Blower') Yang perlu saya pertanyakan, ....apakah memang pemerintah dan kita semua benar benar tahu, apa fungsi dari pendidikan tinggi ?. Biasanya,... kalau pertanyaannya seperti itu,....banyak yang tersinggung, ..karena mereka semua merasa tahu. Tetapi jika ada 50 orang dosen dari berbagai perguruan tinggi dikumpulkan dan diajukan pertanyaan seperti diatas,...saya yakin jawabannya akan ada 50 macam. Dan bila disuruh rapat untuk merumuskannya, ....akan sangat melelahkan dan sukar untuk mencari titik temu,..mengapa karena masing masing merasa paling tahu. Melihat banyaknya orang pintar yang juga belum tentu pintar,...sangatlah wajar jika perdebatan tentang perguruan tinggi,..akan tidak pernah selesai. Dan tentunya,... .masalah keuangan,... yaa..jelas tidak tahu dengan tepat. Suatu ketika saya pernah mengajukan suatu pertanyaan dihadapan para dosen senior,....saya tanya,...didalam suatu perguruan tinggi yang baik,..misalnya, ..UI, atau ITB atau UGM,....kira kira, peraturan pertauran apa saja yang diperlukan untuk mengatur perguruan tinggi tersebut,... apakah bisa dibuatkan listnya secara sistimatik ?.......Pertanyan tersebut diremehkan,. ....jawabannya, ..yaa..banyak dan sudah jelas kita tahu semua. Lalu saya tanya apakah ada peraturan yang seharusnya keluar lebih dahulu dari peraturan yang lain,..tetapi ternyata keluarnya belakangan ?...jawabannya ...ada..... Saya tanya,..koq gitu,...jawabannya, ...karena waktu itu belum terfikir.... . Itu sebagai bukti bahwa,..mereka tidak tahu secara sistimatis peraturan apa saja yang dibutuhkan oleh suatu perguruan tinggi. Mengenai Unit cost mahasiswa,.. ..semua Perguruan tinggi ditanya,..berapa ?,....ada yang bilang 14 jt,..ada yang bilang 16 juta,...ada yang bilang 30 jt,...dst,.. .mengapa begitu berbeda ?,.... karena masing masing menghitung dengan standar sendiri sendiri. Jangan jangan tidak dihitung,..cuma nebak nebk aja. Apalagi kalau ditanya,...pergurua n tinggi mau riset apa ?. Jawabannya,. .biarkan masing masing PT melakukan riset sesuai dengan keinginannya. ...Akibatnya ?.....banyaknya topik riset yang tumpang tindih,...yang mengakibatkan pemborosan dan lambannya perkembangan riset di PT,..banyaknya peralatan yang tidak optimal. Peralatan yang tidak dirawat,.... ....pernah teman saya lihat ada peralatan yang harganya milyaran,... ditutup kain,..tidak pernah dipakai. Ada alat (harga sekitar 7 milyar) yang pernah saya lihat,..belum pernah dipakai udah rusak,...nah. ..lho,... .. BHP,...biarkan saja. Salam Fadhil ________________________________ Dari: Sangriyadi Setio <se...@lmbsp. ms.itb.ac. id> Kepada: AlumniPrancis@ yahoogroups. com Terkirim: Sel, 6 April, 2010 17:35:28 Judul: RE: [AlumniPrancis] Soal BHP (was: 'Whistle Blower') Pak Djumali yang baik, Saya setuju dengan bapak, di negara ini banyak sekali benang kusut yang sulit diluruskan kembali kecuali harus serba diamputasi. Saya akan menghitung biaya pengelolaan 7 buah PT-BHP sebagai berikut: Jika ongkos pendidikan 1 mahasiswa per tahun di PT-BHP adalah Rp.14 juta. Dan jumlah mahasiswa di PT sekelas ITB adalah 10 ribu orang, maka biaya yang harus ditanggung negara untuk satu PT-BHP sekelas ITB adalah 10 ribu x Rp 14 juta = Rp 140 Milyar. Jika 7 buah PT-BHP dihapus menjadi PT-Negeri, maka negara harus membayar 7 x Rp.140 Milyar = Rp 980 Milyar = Rp. 0,98 Triliun dari anggaran pendidikan negara Rp 200-an Triliun, dengan asumsi setiap mahasiswa membayar Rp. 0,- per tahun. Apakah keputusan MK tidak layak?. Bandingkan dengan ongkos penyelenggaraan Ujian Negara SD-SMA yang kabarnya menelan ongkos Rp. 400-an Milyar/tahun. Di jaman ORBA, semuanya memang serba tidak otonomi, karena pemerintahannya sangat otoriter militeristik. Kampus memang menjadi target utama untuk diawasi karena dianggap sarangnya demonstran. Sekarang setelah era reformasi, semuanya bisa menjadi otonom tanpa melepas tanggungjawab negara sebagai pengelola negara. Misalnya otonomi Kabupaten yang sekarang sudah benar2 otonom, Otonomi Provinsi Aceh, Otonomi Tentara, Otonomi Polisi, dll. Mestinya Perguruan Tinggi juga mampu otonom seperti saudara2nya yang lain, mempunyai otonomi mengelola institusinya. Negara wajib membayar ongkos pendidikan anak2 bangsanya kalau negara masih merasa sebagai Ibu Pertiwi, kecuali jika sudah menjadi ibu tiri. Jauh sebelum ada PT-BHMN, ITB sebagai PT-N sudah bisa mencari dana tambahan sendiri melalui lembaga2nya seperti LAPI, LP, LPM, dll, dan sampai sekarang tetap sama polanya walaupun namanya ada yang berubah. Saya kira, sangat baik jika rakyat memilih negara sebagai penanggungjawab dalam pengelolaan pendidikan dan pengajaran untuk rakyatnya, supaya ada yang namanya Nilai-nilai Nasional Indonesia. Bukan nilai-nilai primordial kesukuan dll. Kalau Perancis bisa, mestinya kita bisa. Kalau juga tidak bisa, yang salah pasti bukan pak Mahmud MD cs. Salam, SaS ____________ _________ _____ On Tue, April 6, 2010, djumali mangunwidjaja wrote: > > Pak SaS, Prof Alfian, Prof Benny Hoed, dan rekans yang budiman > > Respons " masyarakat " terhadap Putusan MK yang membatalkan UU BHP > (tanggal 31 Maret 2010) kalau kita amati dalam beberapa hari ini ada 3 > (tiga ) kelompok (1) Kelompok masyarakat secara umum, rata rata menyambut > secara gembira. Kenapa ya ? Kelompok (2) PTN yang sudah ber BHMN (7 buah) > meskipun tidak terucapkan 'kurang" atau "tidak setuju" , kelompok (3) > menerima dengan pasrah. > > Terlepas dari butir butir alasan juridis legal formal yang dikemukakan > oleh MK tentang pencabutan UUBHP itu, Kenapa masyarakat umum, gembira > menyambut pencabutan UU BHP itu ? Agaknya rakyat awam kawatir bahwa > penerapan UUBHP akan membuat pendidikan (terlebih Perguruian Tinggi) akan > menjadi 'lembaga' yang mahal. Tanggungan 33% yang dikemukakan dalan UU BHP > itu dirasa 'membebani' masyarakat dan sebagai lepas tangan Pemerintah > untuk bertanggung jawab dalam pendidikan rakyat nya. Sampai sampai pak > Amien Rais, telepon ke ketua MK memberi selamat atas "putusan yang > merakyat itu " > > Kelompok (2) PT-BHMN, melihat putusan MK itu bakal 'mengebiri' bahkan > dapat jadi 'menghilangkan' OTONOMI yang selama hampir 10 tahun ini telah > mereka terima. Otonomi tersebut berupa antaralain pengelolaan sumberdaya > (SDM, fisik, dan finansial). Yang lebih mencuat ke umum lebih didominasi > pada otonomi pengelolaan sumberdaya keuangan. > Akan sangat mundur, kalau PT-BHMN ini harus kembali lagi ke bentuk > PTN....... > > Kelompok (3) PTN non BHMN secara umum dapat memahami putusan MK itu, > dengan sikap menunggu Action Kemendiknas pasca putusan MK itu. > > Pertanyaan pak SaS dan juga mungkin banyak orang meskipun sederhana > sesungguhnya mencerminkan Bentuk Pilihan sebuah Negara dalam pengelolaan > pendidikan untuk rakyatnya. > Model pengelolaan negara dalam kebijakan pendidikan, kalau tidak salah ada > tiga bentuk. Pertama, negara menanggung dan bertanggung jawab atas > penyelenggraan pendidikan (dari dasar sampai pendidikan tinggi). Bentuk > atau model tanggung jawab negara seperti ini, dianut oleh beberapa negara > di Eropa (Inggris, Perancis, Jerman), Malaysia, RRC Di negera yang > menganut pengelolaan pendidikan seperti ini, PT nya sebagian besar > berbentuk PTN. > > Sistem lain, negara tidak full ikut bertanggung jawab dalam penyelenggraan > pendidikan. Sebagian besar urusan pendidikan diserahkan kepada masyarakat. > Di negara seperti ini sebagian besar PT bernebtuk PT Swasta. Contoh model > ini adalah Amerika > > Bentuk ketiga, gabungan kedua. Sebagian merupakan tanggung jawab negara, > sebagian tanggung jawab masyarakat. > > Indonesia, mestinya dengan amanat yang tercantum dalam UUD 45, mengikuti > pola pertama, yaitu Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan > pendidikan bagi rakyatnya. Itu sistem yang diberlakukan pada PTN....... > Dengan berbagai kendala (otonomi, sumber keuangan, SDM dll) yang terjadi > pada penyelenggaraan PTN, pemerintah 'memutusakan' untuk melakukan "uji > coba" dengan mengembangkan bentuk PT-BHMN yang semula untuk 4 PTN, kini > menjadi 7 PT. > > Pertanyaan yang juga menggelitik. Apakah kalau Indonesia menerapkan bentuk > pertama (katakanlah PTN) tidak memungkinkan diciptakan Otonomi, > pengelelolaan yang tidak birokratis.. ... sebagaimana (telah) diterapkan > pada BHMN.... > Selama ini yang selalu menjadi kendala utama, adalah keterbatasan > Dana/Anggaran Pemerintah.. ..... > Kalau Dana/Anggaran itu misalnya ada (sekarang anggaran pendidikan 20% dan > tentunya kedepan harus dinaikan)... .. apakah pola pola dan bentuk PTN yang > bermutu, memenuhi dan terjangkau hajad rakyat banyak..... sebagaimana > terlaksana di Prancis, Jerman, Malaysia.... .. tidak mungkin diterapkan > ???? > > Mestinya disitu 'benang kusut' masalah pendidikan tinggi ini > dibenahi.... ........ > > Salam, > Djumali > > > > To: AlumniPrancis@ yahoogroups. com > From: se...@lmbsp. ms.itb.ac. id > Date: Tue, 6 Apr 2010 12:21:11 +0700 > Subject: [AlumniPrancis] Soal BHP (was: 'Whistle Blower') > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > > Pak Alfian yang baik, > > > > Rasanya Indonesia menganut juga paham Ibu Pertiwi dan anak bangsa sama > > seperti Perancis yang nama ibu pertiwinya adalah Ibu Marianne. > > > > Pertanyaan saya, apakah di Perancis ada Perguruan Tinggi model PT BHP > > seperti di Indonesia?. > > > > Salam, > > SaS > > ____________ _ > > > > On Tue, April 6, 2010, Alfian Noor wrote: > > > >> Teman-teman sekalian yang saya hormati, > >> > >> Mahkamah Konstitusi memutar mundur jam sejarah. Dengan hak hukumnya yang > >> sangat eksklusif, kita harus mencari kembali pola penanganan pendidikan > >> tinggi yang akan sangat mahal (BHP saja dipersiapkan bertahun-tahun) > >> padahal > >> hanya beberapa points saja dalam BHP yang perlu direvisi. Sepertinya MK > >> juga > >> perlu direformasi dengan personalia yang visioner dan bertanggungjawab. > >> DPRlah yang menyetujui tim MK dan Mklah yang mengugurkan BHP yang >> notabene > >> buatan DPR. Ke depan, saya pikir lebih baik RUU diuji materil dulu oleh >> MK > >> supaya tidak besar waktu dan energi yang harus diberikan. Tentang > >> pendidikan > >> tinggi kita ke depan, saya usul kerjasama inter-universiter lebih > >> digairahkan khususnya sektor riset. Rektor kalau di Perancis adalah > >> semacam > >> koperti suatu region, sedangkan pimpinan universitas namanya president. > >> Sudah saatnya menerapkan 'blue ocean strategy' agar kurang pesaing namun > >> sangat dibutuhkan. Sekedar urun rembug. > >> > >> > >> > >> Wassalam, Alfian Noor > >> > >> > >> > >> From: AlumniPrancis@ yahoogroups. com >> [mailto:AlumniPrancis@ yahoogroups. com] > >> On Behalf Of Benny H. Hoed > >> Sent: 05 April 2010 14:45 > >> To: AlumniPrancis@ yahoogroups. com > >> Subject: Re: [AlumniPrancis] Istilah 'Whistle Blower' > >> > >> > >> > >> > >> > >> Pak Max, Prof Djumali, dkk milis, > >> > >> Ada berita bhw BHMN dibatalkan ole MK. > >> > >> Ini berarti kita hrs cari formula baru agar universitas kita bisa >> menjadi > >> universitas yg mampu bersaing di tataran dunia. > >> > >> Kl dosennya PNS, maka terjadilah business as usual. Kita akan jln di > >> tempat. > >> > >> Bgmn komentar kawan2? > >> > >> Tks. > >> Wassalam. > >> > >> Benny Hoed > >> > >> Sent from my BlackBerryR wireless device > >> > >> _____ > >> > >> From: "Max Pohan" <po...@bappenas. go.id> > >> > >> Date: Mon, 5 Apr 2010 11:14:54 +0700 > >> > >> To: <AlumniPrancis@ yahoogroups. com> > >> > >> Subject: [AlumniPrancis] Istilah 'Whistle Blower' > >> > >> > >> > >> > >> > >> Hari ini Harian Kompas paling tidak ada beberapa kali mengungkap soal > >> "whistle blower". Seperti pernah beberapa tahun lalu, lagi-lagi Kompas > >> menerjemahkannya sebagai "peniup peluit". Whistle memang bisa berarti > >> peluit, tetapi sebenarnya lebih tepat lagi adalah "siul, atau siulan". > >> Jadi > >> secara harafiah "whistle blower", sebenarnya adalah lebih tepat "orang > >> yang > >> bersiul" atau pesiul. Dalam realitasnya memang ini dikiaskan sebagai >> orang > >> yang memberi isyarat, memberi kode atau tanda, membongkar rahasia, orang > >> yang mengadu, melaporkan, atau "menyanyi" untuk suatu perkara. Ingat >> film > >> komedi perang "Don't Look Now" yang dibintangi komedian tersohor >> Perancis > >> Louis de Funes? Nah, pada setting cerita Perancis yang sedang diduduki > >> Jerman tersebut, Louis de Funes sebagai resistan pejuang Perancis, >> bersiul > >> mendendangkan "Tea For Two" sebagai kode kepada kawannya pejuang bahwa >> ada > >> bahaya. Louis adalah "whistle blower" dalam film tersebut. (MP) > >> > >> See KOMPASIANA 5 April 2010 > >> > >> > >> > >> > > > > > > > > > > > > > > > > > > > ____________ _________ _________ _________ _________ _________ _ > Hotmail: Trusted email with powerful SPAM protection. > https://signup. live.com/ signup.aspx? id=60969 ________________________________ Coba Yahoo! Mail baru yang LEBIH CEPAT. Rasakan bedanya sekarang!