berikut ini adalah sedkit corat-coret mengenai hari kartini, tulisan ini pernah 
dimuat di Gorontalo Post 2 tahun lalu. semoga
bermanfaat bagi kita semua 


SURAT(AN)
KARTINI BAGI KAUM LELAKI
 
OLEH: Syam sdp terrajana
Wartawan LKBN ANTARA Gorontalo, Pekerja Seni
 
Tak  dinyana lagi, dengan menyebut nama Kartini
saja, maka segala hal  yang dianggap
punya keterkaitan dengannya akan segera terungkap.  Ibunya orang Indonesia, 
yang terkenal dengan
cita-cita luhurnya mengenai persamaan hak perempuan itu, pun terlanjur jadi
sebuah simbol.
Sebagai  lambang pemberontakan kaum perempuan atas
nilai-nilai yang mengungkungnya, Kartini terbilang “keren” sebagai simbol. Bahwa
betapa hanya dengan berkostumkan kebaya dan konde, Kartini telah jadi sosok 
pendekar,
yang bersenjatakan pena dan kertas untuk menyatakan buah pikirannya, demi
memberangus nilai dan adat yang mengkerangkeng hak dan kebebasan perempuan
ketika itu. Kartini pun jadi eksentrik, tanpa harus harus bertampang mirip Xena
yang perkasa, atau sang wonder woman yang punya kekuatan super ajaib.
  Tapi Kartini,
jelas bukanlah pribadi yang berdiri sendiri, sebab orang-orang terdekat, dan
masyarakat yang hidup pada zamannya  praktis
turut memberi andil dalam menguatkan letupan pemberontakan intelektualnya.
Kartini berontak karena
zamannya tidak memperbolehkan perempuan untuk sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi, mengejar karir di luar rumah, apalagi sampai menduduki jabatan
strategis dalam masyarakat. Perempuan pada masa Kartini, adalah mahluk pasif
terkecuali untuk urusan “sumur, dapur  dan kasur”. 
Memang, sudah sedari dulu
perempuan terlanjur jadi “obyek terlarang”  yang serba terbatas. Makanya sedari 
dulu juga “mahluk tuhan paling sexy”
ini acap di jadikan ajang eksplorasi bahkan eksploitasi bagi kaum adam. 
Dalam keestetisan batin
laki-laki, telah tercatat ribuan puja-dan puji pada perempuan, yang
diekspresikan  dengan beragam karya  seni  agung,  sampai pada bentuk lagu
cinta picisan. Namun dalam sisi gelap kaum pria yang juga berpeluang amoral ,
turut tercermin pula perilaku yang melecehkan perempuan, mulai dari
bagian-bagian tubuhnya yang amat mudah menyulut birahi , sampai tindak
kekerasan dalam berbagai tataran yang mengatasnamakan budaya paternalisme.   
Pun dalam  doktrin agama, perempuan di antaranya adalah  sosok yang mewakili 
kemalapetakaan. Pada  kitab suci tiga agama langit (Yahudi, Nasrani dan Islam), 
dikisahkan ihwal
kejatuhan adam dari taman firdaus, hanya gara-gara memetik dan memakan buah
khuldi  yang diinginkan hawa atas godaan
iblis.
 
 
Dan Kartini berupaya untuk
menyanggahnya, bahwa perempuan mampu jadi subyek yang konstruktif.  Dalam 
keterkungkungannya yang serba sunyi itu,
Kartini bercuap-cuap dalam pikiran dan angannya, lalu menuangkannya dalam
ratusan surat berisi curahan hati seorang perempuan Indonesia, kepada sejumlah 
bule Belanda yang terus
memotivasinya.  
hingga kita yang hidup di
kekinian zaman ini, masih terngiang-ngiang dengan apa yang dilakukannya itu.
Maka segala keterngiangan itu, hingga kini kita peringati dalam momentum 21
april, tanggal kelahirannya.

FASHION
ALA KARTINI
 
Dalam momentum tersebut, berbagai
macam ekspresi telah tertuang, dari parade busana Kartini ala taman kanak-kanak,
beragam pameran karya perempuan,lomba paduan suara sampai perhelatan panjat
kelapa antar perempuan se desa atau kecamatan. Sungguh kita mempunyai kekayaan
interpretasi dalam menerjemahkan arti cita-cita dan segala sesuatu yang berbau
Kartinisme, dari yang acara yang remeh temeh sampai yang paling berbobot
sekalipun.
Setiap tahun, Kartini kembali
memperingatkan kita, meski ia hanya bicara dalam bahasa yang masing-masing kita
pahami atas cita-citanya. Tapi apakah semua pemahaman dan ekspresi tersebut
sudah bisa dikatakan dapat mewakilinya? Tunggu dulu.
Perempuan ibarat dua sisi
mata uang, perpaduan sosok yang bisa dipuja atau dicerca, ketika surga
dikatakan berada di bawah telapak kaki ibu, maka konon setan di antaranya lebih
senang menggoda laki-laki untuk melakukan dosa lewat pesona perempuan. 
Memang, Ibu yang ideal adalah
sosok perempuan yang bisa menyuguhkan sebuah surga bagi kehidupan. Dan ibu kita
kartini adalah sebuah inspirasi dengan bobot yang cerdas, tentang gambaran
surga bagi bangsa yang ternyata masih dirudung oleh dua fenomena, yakni  
penjajahan dan kebodohan sistematik ini.
Dan efek terburuk dari kedua
fenomena itu, sadar tak sadar kita rasakan; bangsa ini telah banyak kehilangan
daya kreatifitasnya, kita cukup lama menempatkan diri sebagai konsumen, yang
hanya bisa melahap produk-produk hasil budaya instan sistem kapitalisme global
tanpa terlebih dahulu menelitinya.
Dalam sistem tersebut, nilai
apapun teramat mudah dijungkirbalikkan, termasuk nilai yang terkandung dalam
segala kode jenis kelamin.
 Jika sistem tersebut menyatakan bahwa
perempuan  cantik kontemporer adalah yang
berambut kribo dan dan bermata besar,
maka seluruh wanita dunia akan berusaha mengikutinya sebagai sebuah trend,  
jika kemarin lelaki perkasa itu harus berotot dan sangar, bisa jadi hari
ini sosok pria macho justru yang
berbadan ceking dan culun. Selera
pasar ada di tangan para imajiner dan para penguasa modal.  Trend dalam
bisnis yang memanfaatkan stereotip seks tersebut, akhirnya jadi kenikmatan
tersendiri bagi laki-laki dan perempuan. 
Dalam ranah feminisme
kontemporer, sebenarnya dunia fashion cukup mendapat perhatian dan ulasan. 
Tokoh feminis Simone de Beauvoir  dalam karya tulisnya “The Second Sex” di
antaranya mengutuk budaya fashion yang mereproduksi stereotip seksis yang 
menyudutkan perempuan. 
Meski begitu, sebagian
feminis menyatakan  bahwa fashion dapat menjadi hal  konstruktif yang secara 
tersirat membela
hak-hak perempuan, misalnya dalam kampanye untuk mendapatkan hak pilih,
perempuan bisa mengenakan pakaian yang modis untuk membentuk persepsi dan dan
rasa hormat masyarakat terhadap gagasan-gagasan yang dilontarkannya . 
Pada konteks ini,
kartini-kartini yang ingin bercuap-cuap di masa kini, tentunya harus tertantang
untuk tidak mengatasnamakan emansipasi lewat visualisasi diri yang semu, dalam
artian bahwa penampilan luar lebih dipentingkan dari isi yang terkandung di
dalam, yang akhirnya hanya melahirkan pernyataan dan sikap klise yang sudah
bisa ditebak kemana arahnya. 
Sangat disayangkan, perempuan
yang terpengaruh oleh brand image gerakan
kaum feminis, justru terjebak pada radikalisme yang tak sesuai konteks, tak 
jarang
malah membuat laki-laki merinding ketakutan. Telah terjadi peristiwa balas
dendam  antar kode jenis kelamin yang tadinya
ditakdirkan untuk hidup berpasangan tersebut.
Padahal feminisme, sepemahaman
saya, tak lain adalah aksi intelektual, yang jika harus berbenturan, justru
akan melahirkan dialektika yang dinamis. 
Feminisme, juga bukan
kesemena-menaan perempuan memproklamirkan superioritasnya, seperti yang
terdapat pada lirik-lirik lagu pop yang justru menyarankan perselingkuhan, atau
luapan kepuasan setelah berhasil menipu laki-laki.
Feminisme, adalah sebuah
ikhtiar yang terus berupaya mencari keharmonian hak dan kewajban antara dua 
stereotipe
kelamin, feminin dan maskulin.
Maka perempuanku, jadilah kau
ibunda yang memberi keindahan yang agung bagi  laki-laki,  sebab ada pepatah 
yang
menyebutkan bahwa lelaki adalah bayi berkumis, meski gagah perkasa, namun lemah
tak berdaya menatap pesona cinta di balik mata seorang wanita.   

Kirim email ke