Indonesia di Ambang Gelembung
 
JAKARTA--MI: Indonesia harus mampu memberantas sekat-sekat ekonomi agar 
terhindar dari ledakan gelembung ekonomi. Soalnya, derasnya arus modal masuk 
masih belum bisa diimbangi penyerapan ke sektor riil. Hal ini diungkap Kepala 
Ekonom PT Bank Mandiri Tbk Mirza Adityaswara saat dihubungi Media Indonesia, 
Selasa (27/4). 
Menurutnya, saat ini sistem keuangan nasional tengah memasuki ambang embentukan 
gelembung. Hal ini didorong banyaknya dana asing yang masuk ke sistem keuangan 
melalui berbagai portofolio investasi. "Capital inflow yang masuk kan sudah 
tidak normal, buktinya SUN dimiliki asing sudah mencapai Rp135 triliun. 
Sedangkan, di SBI yang dimiliki asing sudah mencapai Rp70 triliun-an," ungkap 
Mirza. Kendati begitu, Mirza mengingatkan dengan kondisi sekarang Indonesia 
belum masuk tahap gelembung. Pasalnya, neraca transaksi berjalan Indonesia 
masih terbilang positif. Selain itu, situasi perekonomian khususnya dari sisi 
inflasi belum memperlihatkan gejala kenaikan Sehingga, sistem keuangan negara 
ini belum bisa dikategorikan sebagai gelembung. 
Kendati begitu, Mirza mengingatkan saat ini likuiditas secara umum tertumpuk di 
pos yang tidak produktif. Hal ini terlihat dari menumpuknya likuiditas di Bank 
Indonesia dan di tempat lainnya. Padahal, semestinya likuiditas ini bisa 
disalrkan ke sektor riil untuk pengembangan produksi sebagai penunjang 
pertumbuhan ekonomi. Jika kondisi seperti ini dibiarkan bukan tidak mungkin 
dalam satu atau dua tahun Indonesia kembali masuk pada gelembung perekonomian. 
"Current account kita masih positif dan inflasi belum naik. Tapi ini gejala 
awal menuju bubble. (Gelembung akan terjadi) Nanti satu atau dua tahun lagi, 
jika masalah supply bottleneck dan kelemahan infrastruktur tidak bisa 
diselesaikan," kata Mirza. Persoalan infrastruktur menurut Mirza merupakan 
kunci permasalahan. Saat ini banyak likuiditas seperti likuiditas bank terendap 
tidak produktif. Hal ini ditunjukan dengan masih besarnya undisbursed loan. 
Selain infrastruktur, hambatan juga terjadi karena
 kebijakan seperti masalah tanah, tata ruang , dan sebagainya yang masih belum 
beres. Dia mengingatkan gelembung ekonomi hanya akan terrasa jika gelembung 
tersebut pecah. Sebelumnya, Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI 
Halim Alamsyah mengatakan perbankan memiliki kemampuan likuiditas hingga Rp540 
triliun per April 2010. Likuiditas tersebut tersebar di berbagai instrumen 
seperti sertifikat BI, SUN, dan lainnya. Dengan kekuatan tersebut, dia 
memperkirakan kredit bisa tumbuh hingga 25% sampai akhir tahun. Namun, semua 
itu tergantung daya serap ekonomi khususnya di sektor riil. 
Hingga April 2010, BI telah melakukan operasi pasar terbuka dengan besaran 
hingga Rp350 triliun. Angka ini melebihi posisi OPT BI di Januari 2008 atau 
masa prakrisis yang mencapai Rp325 triliun. Pada masa krisi BI telah melakukan 
pelonggaran likuiditas dengna mengurangi GWM dari 9,5% menjadi 5%. Alhasil, 
likuiditas bank terdongkrak hingga Rp50 triliun. Saat krisis di Oktober dan 
November 2008, kegiatan OPT BI hanya mencapai Rp70 triliun. Artinya, bank sudah 
mulai melimpah likuiditasnya bahkan melebihi masa sebelum krisis.
 


      

Kirim email ke