Langsung saya tanggapi saja. Bu Dewin, luar biasa skali pengalamannya, saya sangat apresiatif. Begitu pula dengan kondisi yang mengharukan terjadi di Pinogu.
Kondisi yang sama pernah saya alami di Dulupi. Saya ke Dulupi karena ingin singgah saja setelah dr Marisa. Lokasinya di pinggir pantai, selatan Boalemo. Saya datang kesana bertepatan dengan ujian SMA. Jarak dari pinggir jalan trans Sulawesi sekitar 10 KM. Kondisi jalan bagus walaupun jarang sekali penduduk. Saya bisa saksikan bagaimana "kecemasan" anak-anak yang mau ujian besok harinya. Rata-rata karena memang tidak menguasai bahan pelajaran. Keterbatasan wawasan menjadi hal yang utama. Malam itu, PLN juga bikin bencana. Ada pemadaman bergilir sejak sore. Terpaksa semua anak-anak belajar di bawah lampu "morongo" ditemani sanggala atau mungkin kasubi yilahe. Kondisi ini hanyalah potret kecil bagaimana pendidikan adalah barang yang sulit dijangkau. Dulupi dan Pinogu adalah potret kecil bagaimana pendidikan yang menjadi hak setiap anak begitu sulit mereka jangkau. Disisi lain, lomba kecerdasan berlaku di daerah yang sudah terang benderang pembangunannya. Anak-anak sudah pada mengoprek laptop dan Blackberry untuk bisa memperdalam wawasan. Bisa ikut tryout ujian yang diselenggarakan oleh himpunan mahasiswa. Belajar privat di lembaga kursus milik para dosen. Yang lebih hebat, otak mereka ditopang vitamin dan gizi yang luar biasa, sebulan sebelum ujian sudah minum susu dan obat cerdas Cerebrovit. Konstruksi pendidikan kita ditata begitu hebat. Negara dengan segala perangkat lengkap mulai dr Pusat hingga desa seperti tak mampu mengatasi ini. Posisi, jabatan, kedudukan bukan lagi sebagai ruang mengolah amanah, tetapi menjadi arena mengeruk rupiah. Setiap yang sudah ber-eselon mumpuni, berlomba-lomba menjadi Kepala Dinas agar bisa mengamankan 10 persen di tiap proyek. Mendapat fasilitas gratis selama menjabat. Kondisi ini terpelihara dan diawetkan oleh balsem kapital. Fenomena ini adalah hal umum terjadi di negeri ini. Fenomena Ujian Nasional adalah pemaksaan kehendak Negara untuk memberlakukan standar agar bisa mengikuti selera pasar. Doktrin ekonomi liberal mendikte kita agar sumber daya manusia harus siap jika kita mau terlibat dalam skema ekonomi global. Makanya, kualitas sumber daya manusia haruslah sama, baik di Pinogu, Dulupi, Taluditi, Pangahu, Biluhu, yang mesti sama dengan SMA Cendekia, SMA Wira Bhakti, SMA I Kota, SMA 3. Persoalan beda geografi, fasilitas, wawasan, tenaga pengajar dll, itu hal yang lain, yang penting "standar" kelulusan mesti sesuai dengan kehendak pasar global. Pemerintah memaksakan hal ini, karena pendidikan kita dibiayai dari dana pinjaman luar negeri. Makanya, "luar negeri" mensyaratkan agar "kualitas" harus dinaikkan, jika tidak tentu pinjaman tak akan masuk. Ini skenario ketergantungan yang dibangun dengan sistematis. Terima Kasih Funco Tanipu -----Original Message----- From: dewi_gorontalo <safr...@yahoo.com> Date: Sat, 8 May 2010 21:55:58 To: gm<gorontalomaju2020@yahoogroups.com> Subject: [GM2020] Pendidikan di Bonbol (cerita dari Pinogu) Dear Members, Dari pada somo bakalae gara-gara ini UNAS di Bonbol, mungkin cerita nyata ini bisa membantu memahami mengapa kualitas pendidikan di Bonbol, dan kira-kira apa yang kita bisa lakukan untuk merubahnya. Ceritanya begini: Awal April tahun lalu saya sempat berkunjung ke Pinogu sekedar iseng jalan-jalan. Setelah kaki saya agak sembuh (karna saya jalan kaki kesana(itung-itung hemat ongkos,daripada ojek 150 ribu one way)) saya ke SMP Negeri 4 Pinogu. Kebetulan ada sepupu jauh yang skarang sekolah di SMU kabila lagi pemusatan latihan untuk UAN saat itu di SMP N 4 Suwawa,oleh gurunya di persilahkan untuk melihat anak-anak kelas 3 yang lagi belajar di kelas. Saya bingung mengapa anak-anak itu belajar tanpa diawasi, ketika ditanya ternyata mereka lagi membahas soal-soal UAN, bahasa Inggris kebetulan pada waktu itu. Saya sempat bertanya mana guru pembimbingnya?, kata mereka tidak ada, seminggu brapa kali blajar bahasa Inggris? terakhir kali belajar bahasa Inggris sekali selama kelas 3 SMP (WOW! amazing) ujiannya gimana? asal tebak! (WOW)..lebih parah lagi ternyata bukan hanya pelajaran bahasa inggris saja yang tidak mereka pelajari lagi sejak kelas 3, tapi pelajaran UAN lain seperti fisika juga nasibnya sama.... Guru bahasa Inggris di sekolah itu adalah sekaligus kepala sekolah, yang hanya seminggu berada di kampung, dan lebih banyak berada di ibu kota kabupaten BONE BOLANGO. (Info ini bisa dipertanggungjawabkan! ) Sampe sekarang saya masih menyimpan foto kenangan saya belajar dengan anak-anak itu. antusiasme belajar mereka sangat tinggi, mereka meminta saya membahas soal UANnya sampe jam 3 sore without break. Mungkin, Pinogu hanya salah satu contoh kebobrokan kualitas pendidikan di Bone Bolango. Tidak perlu mencari siapa yang salah! walau pun There has to be someone held responsible for this! yang paling penting adalah Bagaimana kita berkontribusi terhadap perbaikan kualitas dan kuantitas pendidikan di Bone Bolango menurut saya. Setelah kunjungan itu saya pernah membicarakan solusi long distance learning dengan Camat Pinogu, Nikson Gubali. Saat itu beliau setuju dengan ide merekam pelajaran lewat VCD yang kemudian di putar di depan kelas. Beliau juga seorang mantan Guru, sehingga saya berfikir idenya mungkin lebih masuk kalau dibicirakan dengan beliau. But, Nothing Happens!!!! Mungkin saya hanya bisa berbuat sampai disitu, sesuai kemampuan dan keilmuan saya. Mungkin teman-teman bisa berbuat lebih banyak lagi, for the sake of Bone Bolango yang sekarang lagi diperebutkan oleh orang-orang yang mengaku dan merasa bisa memimpin. Maaf kalo ada salah-salah kata Salam, Dewi