Gubernur Gorontalo 2011, Tidak Pake Doyi (?) (Sebuah pertarungan antara “nilai” dan “uang” di titik persimpangan)
Oleh: Rahmad Katon Mohi. S.Sos. Pemerhati Politik Gorontalo Paul, itulah nama seekor gurita yang telah berhasil membuktikan prediksinya di piala dunia baru-baru ini. Dalam sekejap, popularitas paul melejit ke seluruh dunia dan telah berhasil ‘mematahkan’ rasionalitas sebagian manusia di bumi ini. Padahal paul tak lebih dari seekor binatang yang tentunya “strata kemahlukannya” tidak lebih mulia dari manusia. Tapi, percaya atau tidak, itulah yang terjadi. Kata orang itulah bola…. bulat, dan sulit diprediksi kemana larinya, sehingga menimbulkan berbagai spekulasi yang terkadang tidak berdasar seperti yang dilakukan paul. Hitung-hitungan diatas kertas terkadang sangat berbeda dengan kenyataan. Serupa tapi tak sama antara memprediksi sepak bola dengan memprediksi politik. Di Gorontalo misalnya, salah satu isu yang hangat dibicarakan sekarang adalah tentang suksesi pemilihan Gubernur Gorontalo periode 2011-2016. Jujur, pasca ditinggalkan Fadel sebagian besar masyarakat Gorontalo sangat merasa kehilangan. Terlepas dari segala kekurangannnya, gubernur yang meraih suara 82% itu seakan telah menyatu dengan rakyat Gorontalo selama 8 tahun terakhir. Fadel adalah Gorontalo, dan Gorontalo adalah Fadel, kurang lebih seperti itu yang ada dalam pikiran orang-orang. Hal Ini menyebabkan standar ekspektasi masyarakat terhadap Gubernur mendatang sangat tinggi. Minimal tidak lebih jelek dari Fadel, begitulah harapan banyak orang. Sebagaimana sebagian kalangan intelektual mengatakan bahwa, pasca Fadel Gorontalo berada pada “titik persimpangan”, akan lebih baik atau malah terpuruk. Berbicara mengenai suksesi Gubernur Gorontalo 2011, tentunya sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik. Partai politik, popularitas dan kualitas figure, birokrasi, visi-misi sang calon, serta dukungan dana, tentunya merupakan sebagian instrumen yang digunakan untuk mempengaruhi pilihan rakyat. Tetapi, instrument apapun yang dilakukan oleh elit politik, keputusannya tetap diserahkan kepada rakyat sebagai “sang pemberi mandat”. Dalam konteks ini maka kualitas figure pemimpin yang bakal menjadi Gubernur mendatang sangat ditentukan oleh kualitas rakyat Gorontalo hari ini. Kualitas rakyat Gorontalo yang dimaksud adalah suatu paradigma dan pemahaman rakyat Gorontalo terhadap arti demokrasi dan implementasinya dalam menghadapi Pilgub mendatang. Dalam konteks ini, setidaknya kecendrungan paradigma rakyat Gorontalo dalam menentukan pilihan politiknya terbelah menjadi dua kekuatan besar, yaitu pertama, kekuatan paradigma “Politik uang” dengan semboyan jabome gaya, doyi paralu, dan yang kedua adalah kekuatan paradigma “Politik nilai” dengan semboyan tidak pake doyi. Dua kekuatan inilah yang akan bertarung di pilgub mendatang. Paradigma “Politik uang” Politik uang (money politik) dalam setiap pemilihan umum di Indonesia sudah bukan rahasia lagi, termasuk di Gorontalo. Pembagian uang, beras, pakaian, sembako, dll yang berbentuk materi pasti ramai menjelang pemilu, sehingga tanpa harus terkatakan masyarakat sudah tahu betul apa maksud dan tujuan sang pemberi. Maka tak heran sekarang ini bagi sebagian masyarakat Gorontalo uang telah menjadi “alat ukur” yang utama bagi mereka untuk menentukan pilihannya. Siapa yang punya uang banyak maka dialah yg akan memenangkan pertarungan. Kurang lebih seperti itulah yg ada dalam pikiran mereka. Sebenarnya “politik uang” itu timbul bukan serta-merta karena keinginan rakyat semata. Melainkan merupakan akumulasi dari suatu proses yang panjang dimana rakyat sudah tidak percaya lagi dengan pemerintah sebagai ‘pasangan hidupnya’. Korupsi, kolusi, nepotisme, ketidak-pastian hukum, ‘perselingkuhan’ pemerintah dan pengusaha, serta 1001 macam problema yang ada dalam ‘rumah-tangga’ yang bernama negara telah menyebabkan rakyat memilih jalannya sendiri. Di Gorontalo, slogan “Jabome gaya, doyi paralu” adalah sebuah refleksi ketika ‘gaya pemerintah’ sudah tidak memuaskan rakyat yang dipimpinnya. ‘Dendam rakyat’ terhadap pasangannya (pemerintah, red) yang sudah tidak memberikan ‘nafkah’ lahir maupun batin yang proporsional telah menyebabkan keputus-asaan rakyat sehingga mereka memilih jalan pintas dengan mensyaratkan “doyi paralu” untuk menghindar dari janji-janji palsu seperti yang lalu-lalu. Padahal tanpa disadari cara-cara seperti itu justru membuat rakyat semakin jauh dari arti demokrasi yang sesungguhnya. Namun bagaimanapun harus dapat dimaklumi, keadaan sebagian masyarakat Gorontalo masih berada dalam lingkaran paradigma ini. Sehingga secara perlahan telah membentuk satu kekuatan social politik yang mengandalkan uang dan kekuasaan untuk meraih segala sesuatu. Bagi ‘kaum’ ini, pembagian uang/materi dianggap merupakan salah satu implementasi dari “berkarya nyata” dengan semboyan jabome gaya, doyi paralu. Paradigma “Politik nilai” Dalam sepak bola tidak hanya sekedar menentukan siapa yang juara, tetapi hal yang jauh lebih penting adalah bagaimana sepak bola dapat menyuguhkan permainan yang cantik, taktik dan strategi yang mempunyai seni kualitas tinggi, skill para pemain yang mumpuni, serta kualitas wasit dan penyelenggara yang benar-benar fair sehingga bisa memuaskan semua pihak baik yang menang maupun kalah, serta seluruh penonton yang menyaksikan pertandingan. Itulah yang namanya “nilai” dalam sepak bola, yang tidak bisa diukur dengan apapun. Dalam politik seharusnya juga seperti itu. Paradigma “politik nilai” lebih mengutamakan perjuangan nilai-nilai universal ketimbang perebutan kekuasaan. Implementasi nilai-nilai demokrasi, etika, kesantunan, profesionalitas, kecerdasan, kejujuran, akhlak, keadilan dan kebenaran dijadikan sebagai instrumen utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pandangan paradigma ini, uang hanya dijadikan sebagai alat untuk memperjuangkan nilai-nilai tersebut. Tetapi bukan untuk dihambur-hamburkan membeli suara rakyat. Bagi sebagian masyarakat, kekuatan paradigma “politik nilai” merupakan salah satu kekuatan besar dalam peta perpolitikan di Gorontalo. Paradigma ini didalangi oleh para ‘kaum’ idealis rasional yang tidak ingin masa depan anak cucu Gorontalo terjerumus dalam belenggu materialisme. Berbagai cara mereka lakukan. Pendidikan “politik nilai” tak henti-hentinya disosialisasikan kepada masyarakat. Nilai-nilai kecerdasan, etika, moral, keadilan dan akhlaqul-qarimah terus-menerus dikampanyekan untuk melawan pembodohan-pembodohan yang dilakukan oleh sebagian elit politik yang hanya memikirkan kekuasaan, glamoritas, hedonisme dan kepentingan diri mereka sendiri. Perjuangan kelompok ini dinilai cukup berhasil membuat sebagian rakyat ‘sadar’ akan betapa pentingnya nilai-nilai tersebut. Kesadaran ini telah membangkitkan kembali nilai-nilai luhur Gorontalo seperti opiyohe lo loiya openu dila todoyia, opiyohe lo dudelo openu dila mo tonelo, sehingga telah membentuk satu kekuatan social politik yang sangat berpengaruh dalam menentukan masa depan Gorontalo. Bagi mereka, ja to doyia (tidak pake doyi) adalah semboyan perlawanan terhadap orang-orang yang menghambur-hamburkan uang dan menghalalkan segala cara untuk kepentingan diri sendiri. Dalam pilgub mendatang pertarungan antara dua kekuatan paradigma politik ini sangat sulit dihindari. Namun dari pemilu dan pilkada-pilkada sebelumnya kita dapat mempelajari dan mengukur sejauhmana kekuatan ke dua kubu ini. Pertama, pada pemilihan gubernur tahun 2006 lalu, Awalnya saya menduga bahwa Fadel Muhamad akan kalah. Karena pada waktu itu diisukan bahwa puluhan miliar rupiah siap digelontorkan oleh salah satu kandidat untuk mengalahkan Fadel. Tapi ternyata hasilnya justru terbalik dari dugaan saya. Dia justru menang telak dengan meraih 82% suara. Padahal pada waktu itu semboyan “jabome gaya doyi paralu” sudah sangat populer di hampir setiap sudut di propinsi ini. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa sering menggunakan istilah ini sehingga kalimat ini sudah menjadi “kata kunci” dalam setiap perbincangan di masyarakat luas. Tetapi walhasil, tanpa bermaksud untuk mengkultuskan Fadel, menurut hemat saya ini adalah bukti bahwa betapa “nilai” dalam figure seorang Fadel lebih berpengaruh dari apapun, termasuk partainya sendiri. Nilai-nilai kecerdasan, etika, kesantunan yang relative terdapat dalam diri Fadel, ditambah dengan jiwa kepemimpinan yang visioner terbukti telah mampu menerobos nurani rakyat Gorontalo. Sorakan, pekikan dan teriakan ja to doyia (tidak pake doyi) terdengar dimana-mana menyusul kemenangan Fadel yang begitu fantastis. Kedua, pada pemilihan bupati Gorontalo Utara tahun 2008 lalu. Paradigma “politik nilai” yang dimotori oleh Thariq Modanggu telah memenangkan pertarungan di tingkat rakyat walaupun kalah di Mahkamah Konstitusi (MK). Sangat sulit dipercaya, seorang anak desa yang cerdas dan hanya memiliki total harta senilai 132 juta rupiah sudah termasuk 2 buah sepeda motor kredit, ternyata mampu menyaingi kandidat yang memiliki harta puluhan miliar rupiah. Separuh rakyat Gorontalo Utara telah membuktikan bahwa betapa “nilai”, harga diri, kehormatan seorang insan manusia tidak dapat dinilai dengan apapun di dunia ini. Ketiga, pada pemilihan umum tahun 2009 lalu. Elnino M. Husein Mohi beserta para sahabatnya telah membuktikan bahwa betapa kekuatan paradigma “politik nilai” telah mampu membawa dirinya lolos ke kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI). Terinspirasi dari nilai-nilai luhur Gorontalo “opiyohe lo loiya openu dila todoyia, opiyohe lo dudelo openu dila mo tonelo” Elnino beserta para sahabatnya telah berhasil meraih 46.464 suara. Dengan semboyan ja to doyia (tidak pake doyi) Elnino telah berhasil unggul dari 16 calon anggota DPD lainnya. Dia hanya kalah dari isteri gubernur dan isteri bupati. Ini tentunya merupakan bukti bahwa sebagian rakyat Gorontalo masih punya nurani. Ke empat, Semboyan ja to doyia (tidak pake doyi) kembali memperlihatkan kekuatannya pasca kemenangan Haris Najamudin dan Hamim Pou (H2O) sebagai cabup dan cawabup Bone Bolango. Separuh rakyat Bone Bolango telah membuktikan bahwa kekuatan uang, kekuasaan dan partai politik tidak mampu membendung kekuatan paradigma “politik nilai”. Semangat perlawan H2O yang diberikan mandat oleh rakyat melalui calon independent itu telah berhasil membungkam kekuatan incumbent yang dijuluki “sang maestro”. Ini adalah bukti bahwa rakyat Bone Bolango semakin cerdas. Ke lima, Kemenangan Syarif Mbuinga dan Amin Haras (SYAH) dalam pemilukada Pohuwato adalah merupakan gambaran bahwa seorang Syarif Mbuinga dinilai lebih berpengaruh dari partai pendukungnya. Nilai kecerdasan, energik, muda, visioner serta kepemimpinan yang santun dari figure seorang Syarif Mbuinga telah membawanya memenangkan pemilukada Pohuwato dengan meraih 65% suara dan berhasil mengalahkan calon incumbent. Tak heran jika beberapa kalangan menganggap bahwa Syarif Mbuinga merupakan “Fadel-nya Pohuwato”. Kemenangan ini adalah bukti bahwa “nilai” kualitas seorang figure sangatlah menentukan. Ke enam, Walaupun hanya bermodalkan tekad dan semangat idealisme, tidak kurang dari 40 % rakyat Kabupaten Gorontalo telah membuktikan bahwa nilai-nilai kecerdasan intelektual harus dan patut dihargai setinggi-tingginya. Ketokohan seorang Prof. Dr, Hariadi Said yang juga rektor Universitas Gorontalo setidaknya telah memberi warna dalam kehidupan demokrasi di Kabupaten Gorontalo. Walaupun kalah, tetapi setidaknya telah berhasil membuat sebagian masyarakat kabupaten Gorontalo telah ‘tercerahkan’. Itulah beberapa hal sebagai gambaran singkat mengenai keadaan masyarakat Gorontalo menjelang pilgub tahun depan. Persaingan, gesekan, dan perbedaan paradigma politik di tingkat masyarakat menjadi suatu keniscayaan di alam demokrasi. Namun demikian, semboyan dan instrument apapun yang digunakan semuanya pasti dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan. Saya, anda, dan kita semua rakyat Gorontalo akan menjadi bagian sekaligus pelaku sejarah dalam menentukan nasib dan peradaban Gorontalo di masa depan. Anak, cucu, cicit, dan seluruh keturunan Gorontalo di masa depan akan menunggu keputusan apa yang diambil nenek moyangnya terhadap nasib mereka. Semoga rakyat Gorontalo dapat mengambil keputusan yang tepat disaat Gorontalo berada di “titik persimpangan”. Amin…..