Indonesia, Lokalitas, dan Dunia

Basri Amin 


KAHMI Kabupaten Gorontalo memberikan kesempatan kepada saya menyampaikan sebuah 
orasi pada acara pelantikan pengurus baru KAHMI periode 2010-2015, Sabtu 7 
Agustus 2010 di Menara Keagungan Limboto. Orasi ini bukanlah orasi ilmiah. Tak 
ada stand point dan argumen tertentu yang hendak ditegaskan. Isinya adalah 
pandangan-pandangan umum yang hendak dibagi dan (diharapkan) bisa didalami oleh 
forum ini dan publik. Perkenankan saya menyebut uraian ini sebagai "orasi 
kebangsaan".

Pandangan ini ditulis dalam situasi dimana sebagian warga kita di Gorontalo, 
dan di tempat-tempat lain di tanah air sedang menghadapi masalah banjir, 
pemukiman yang tidak sehat, krisis energi, dan biaya pendidikan yang makin 
mahal, kriminalitas dan amoralitas yang makin meluas. 

Angka statistik negara tak pernah mencukupi untuk mengurai realita penderitaan 
warga kita. Dan jika kita merenungi kembali lima tahun terakhir ini, negeri 
kita hanya berhasil menghasilkan daftar masalah daripada terobosan jalan keluar 
yang dahsyat, di berbagai tingkatan dan lokasi. Kita berhasil mencipta banyak 
seremoni, tapi harmoni makin sedikit kita wujudkan. Peraturan yang banyak hanya 
menghasilkan ketidakteraturan. Makin kuat terkesan bahwa institusi yang ada 
hanya menjadi gudang distorsi.

Sayangnya, karena pada saat yang sama, tabiat "promosi diri" bagi kalangan 
elite dan mentalitas "mempertontonkan kemewahan" dan "gaya hidup konsumtif" 
tengah melanda kalangan kelas-menengah kita, dan mulai menyebar di masyarakat 
kita. Kota-kota kita makin berkarakter tradisional (mentalitasnya), sementara 
desa-desa kita makin modern (di lapis materialnya). Di level lain, kita 
mengalami "krisis panutan" dan "kepemimpinan" di mana-mana. Leadership kita 
makin posisional, dan jauh dari karakter otentiknya, serta lemah basis 
interaktif-nya.

Dalam kesan umum saya, negeri kita sedang gagap menghadapi atau melakukan 
perubahan. Nyaris semua institusi di negari kita hanya sampai pada tahap 
memproduksi paradoks dan inkonsistensi. Di masyarakat kita, sepertinya 
"apatisme" makin menguat, sementara mentalitas "status quo" makin identik 
dengan dunia birokrasi dan legislasi kita. Ada ungkapan, "hanya pemain yang 
terus berganti dari waktu ke waktu, tapi permainan tak pernah berubah…"

Tapi, menurut Simon Philpott, seorang ahli Indonesia di Australia, : 
"dibutuhkan langkah revolusioner untuk meruntuhkan Indonesia, baik sebagai 
gagasan, atau sebagai realitas" (baca: pengantar Lkis pada buku Meruntuhkan 
Indonesia, 2000).

Indonesia hari ini lebih mudah dikenali dari titik nol, dan bahkan di titik 
minus. Dengan formula yang sama, kita bisa menerapkannya di berbagai lokalitas, 
termasuk di Gorontalo. Meski demikian, kita wajib untuk tidak lupa bahwa yang 
lokal adalah bagian dari yang global, dan yang global tersusun dari 
lokalitas-lokalitas.

Indonesia adalah pertama, sebagai cita-cita atau idealisme dan produk historis, 
hasil dari sintesa ideologis dan nilai-nilai kemanusiaan, di mana kemerdekaan 
adalah hak semua bangsa, hak untuk makmur, cerdas, dan menikmati keadilan; 
kedua, Indonesia sebagai "akumulasi teritorial"; ketiga, sebagai bagian dari 
dunia, sebagai lokasi yang memiliki batas-batas dan resources; itulah sebabnya 
Indonesia dikenal sebagai negara-bangsa (nation-state) 

Dalam konteks ini, barangkali kita perlu mengingat ungkapan Tagore:

"…Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. 
Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, 
dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas 
tersebut. Kesulitan-kesulitan itu berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka 
bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus." 
Dalam bahasa Inggris, Tagore menggunakan kata distinction." Menurut Kleden, 
kata ini tak ada dalam bahasa Indonesia saat ini, dan mungkin juga dalam bangsa 
Indonesia (Kleden, 2008: 79).
 
Indonesia adalah negeri besar. Di negeri inilah berbagai puncak peradaban 
pernah dicapai oleh manusia dalam sejarahnya. Bagaimana hal itu pernah ada, dan 
mestinya terus ada? Karena tradisi perjumpaan dan penciptaan pernah dikerjakan 
dan tumbuh subur di negeri ini. Bangsa ini didirikan dengan cita-cita dan etos 
besar, bukan oleh jiwa-jiwa kerdil dan manusia-manusia picik hati.

Apa bukti perjumpaan itu? Bukankah Indonesia, pada awalnya adalah kata Asing, 
tepatnya bahasa Latin, Indus dan Nesioi (kata jamak dari Nesos), yang artinya 
gugusan pulau-pulau yang terletak antara daratan China dan Persia; yang populer 
disebut Hindia ketika itu. Sebutan ini dipakai oleh penjelajah Eropa awal, yang 
kemudian dipopulerkan tahun 1884 oleh seorang dokter, etnolog dan antropolog 
Jerman dari Universitas Berlin, Adolf Bastian. Tapi Bastian bukanlah yang 
pertama menemukan kata Indonesia itu. Adalah James Logan-George Earl yang 
menggunakannya pertama kali (Indunesia, 1850) pada Journal of the Indian 
Archipelago and Eastern Asia (Vol. IV, 1850) (baca: Musim Gugur di Kubur 
"Penemu" Indonesia, majalah Tempo, 2 November 2008: 66-67). Oleh Bung Hatta dan 
teman-temannya di negeri Belanda, tepatnya tahun 1922, kata Indonesia dipakai 
sebagai nama dan cita-cita bangsa, melalui organisasi mereka "Perhimpunan 
Indonesia".

Sebagai salah satu pusat perubahan-perubahan besar di dunia, Indonesia mestinya 
mampu kembali merebut sebuah martabat terhormat. Bukankah misalnya pemahaman 
dunia tentang sumber daya alam lahir dari negeri kita. Dari sebuah pulau kecil, 
di Ternate sana, Alfred Wallace menggoyah pemahaman Eropa tentang "seleksi 
alam", ketika surat panjang yang ditulisnya tahun 1858 tiba di Inggris (baca: 
Ternate Paper, Februari 1858).

Selama ini dunia banyak membicarakan kita, tapi kita sepertinya masih lemah 
berbicara kepada dunia. Tentang capaian-capaian kita, tentang konsistensi kita 
membangun kemakmuran rakyat, tentang sikap-sikap dan kebijakan negeri kita 
untuk lingkungan hidup dan pendidikan, kesehatan, dan pemerintahan yang baik. 
Sepertinya, demokrasi politik -–yang tampaknya tidak akan pernah menjadi sistem 
yang sempurna itu—telah menyeret negeri kita kehilangan kapasitasnya untuk 
berkeringat, mencipta etos kerja, dan karakter kolektif, untuk masa depan 
bersama yang adil.

Mari kita merenung sejenak. Sebenarnya, berapa banyak diantara kita yang 
sungguh-sungguh bekerja? Bekerja dengan hurup "B" besar. Bekerja dengan 
keringat, dengan dedikasi waktu, pikiran, dan tenaga. Kesan saya, yang banyak 
kita produksi adalah posisi, organisasi dan kapitalisasi, dan bukan eskalasi 
produktifitas. 

Upacara, seremoni tepuk-tepuk tangan, sorakan histeris yang elitis dan 
visualisasi ego-ego diri dan kelompok –-contoh: fenomena baliho—nyaris sudah 
melampaui batas-batas akal sehat kita sebagai bangsa yang cerdas dan yang punya 
peradaban. Padahal, tak banyak yang pantas kita reklamekan sebagai prestasi 
ber-jangka panjang. Hampir semua yang kita nyatakan sebagai "hasil negara" 
adalah "biaya" yang boros –yang dikeruk dari public resources-- untuk 
agenda-agenda jangka pendek, yang jauh dari kepentingan dan prioritas masa 
depan yang lebih substantif.

Kita butuh penyegaran di mana-mana. Kita butuh kepemimpinan baru: Kepemimpinan 
yang lebih interaktif dan visioner –yang konsisten memobilisasi cita-cita, 
nilai-nilai, dan transformasi gagasan dan institusi--; dari pada kepemimpinan 
posisional yang basisnya adalah semata sandaran legalitas-administratif, 
organisasi, dan mobilisasi massa dan uang an sich.

Power dan knowledge sudah saatnya berada di tempat yang saling menguatkan. 
Intensi pokok kita adalah bahwa kuasa yang diwujudkan di negeri ini semaksimal 
mungkin dipandu oleh basis pengetahuan yang memadai. Demikian pula sebaliknya, 
pengetahuan yang dalam dan utuh hendaknya bisa memandu praktik-praktik 
kekuasaan di negeri kita, di daerah-daerah. Semuanya demi perbaikan dan 
kemajuan, demi progresifitas bersama, dan bukan untuk rivalitas yang mematikan 
akal sehat dan vitalitas kolektif kita sebagai bangsa.

Kegagalan yang dialami dunia saat ini, sebagaimana pernah diurai dengan sangat 
mendalam oleh David Korten, seorang ahli dan konsultan pembangunan di Asia 
Tenggara, lulusan Stanford dan pengajar di Harvard, bahwa: terdapat 
tiga-serangkai krisis kemanusiaan, yaitu kemiskinan yg makin parah, 
disintegrasi sosial, dan pengrusakan lingkungan (Korten, 1997: 44-45). Ini 
semua terjadi karena kekuasaan yang tengah dijalankan "semakin jauh dari 
realitas rakyat", dan pengetahuan yang dihasilkan tidak secara utuh diposisikan 
sebagai jawaban di tingkat lokal. Padahal, sudah sangat mendesak untuk 
menerapkan, apa yang menurut Corten mendesak, yaitu: "melokalisasi ekonomi dan 
mengglobalisasi kesadaran" (baca: When Corporations Rule the World, 1997: 398).

Momentum untuk mengubah keadaan sewajarnya tercipta di banyal lokalitas di 
negeri kita. Bagi kita yang kini berada di Gorontalo, lokalitas itu sungguh 
besar artinya karena demikian banyak tuntutan yang menantikan jawaban. Daerah 
ini, seperti negeri ini, memerlukan terobosan-terobosan berlapis, yang kalau 
bisa –seperti saya sering ungkapkan pada banyak kesempatan—- untuk menggunakan 
"kecerdasan teritorial".

Kepercayaan di antara kita, konsistensi (ucapan-tindakan), kemampuan belajar 
dari kasus ke kasus, berbagai kebijakan dan pengetahuan hendaknya dibangun di 
atas "kecerdasan teritorial" yang memadai. Negeri ini, juga daerah kita, tak 
lagi membutuhkan momentum historis yang melahirkan sejumlah pahlawan. Yang kita 
rindukan adalah sikap-sikap kenegarawanan, etos kepahlawanan, "volunterisme 
baru", kesadaran dan titik-titik percontohan untuk perbaikan. 

Dalam konteks besar seperti inilah, peran-peran lokal, nasional dan global 
KAHMI menjadi keniscayaan, bukan hanya agar bisa survive sebagai sebuah 
organisasi, tapi yang jauh lebih serius adalah agar KAHMI menjadi bagian kunci 
dari progresifitas bangsa kita ke depan, sebagai bangsa yang cerdas, berdaulat, 
dan beradab. Sebagai Indonesia yang punya cita-cita dan terwujud dari 
lokalitas-lokalitas yang ada. Dan hanya waktu yang akan (terus) menjawab.
 


Kirim email ke