--- In mayapadapr...@yahoogroups.com, "si Brewok   [0_-]" wrote:

Tauhid, Melampaui Dualisme

diambil dari catatan sdr. Aried Rahman di Facebook

Apakah sebutan ustadz dan habib lebih islami daripada sebutan ajengan
dan kiai ?
Apakah ucapan assalamu'alaikum lebih islami ketimbang ucapan selamat
pagi, selamat siang, selamat malam yang sangat Indonesiawi itu?
Apakah perayaan milad lebih islami ketimbang perayaan ulang tahun?

Apakah menggunakan kata Ahad lebih islami ketimbang menggunakan kata
Minggu dalam bahasa Indonesia?
Apakah ber-ana antum lebih islami ketimbang ber-aku anda dalam bahasa
Indonesia?
Apakah miara janggut tanpa kumis lebih islami ketimbang kelimis, atau
berjanggut dan berkumis yang dikira rabi Yahudi itu?

Apakah  nasyid dan kasidahan lebih islami ketimbang jenis musik pop dan
rock n roll?
Apakah nama Yusuf dan Daud misalnya lebih islami ketimbang nama Joseph
dan David?
Apakah syura dan imamah lebih islami ketimbang demokrasi dan HAM?
Apakah syariat Islam lebih ilahi daripada UUD 1945?

Apakah pemerintahan khilafat yang berideologi Islam lebih ilahi daripada
pemerintahan  NKRI yang berideologi Pancasila?
Apakah kaligrafi Allah lebih islami daripada kaligrafi Om?
Apakah Ka'bah lebih ilahi daripada patung Yesus, sungai Gangga dan
arca Buddha?

Apakah mengenakan gamis dan surban lebih islami ketimbang mengenakan
sarung dan peci, t-shirt dan jeans?
Apakah berjilbab lebih islami ketimbang mengenakan busana saree, kebaya,
dan blus?
Apakah shalat menggunakan bahasa Arab lebih islami (sah) ketimbang
shalat bilingual?

Allah dalam Islam, disebut dengan beragam Nama dalam agama lain. Yahwe,
Hyang Widhi, Adi Buddha, Tao dan seterusnya adalah Nama Dia Yang Esa
Itu, Tuhan segala agama. Apakah Allah dalam agama Islam lebih Ilahi
daripada Allah yang disebut dengan pelbagai Nama dalam agama-agama lain?

Begitulah dalam memandang dunia, otak umat beragama, khususnya umat
Islam dewasa ini sangat terpatri dengan dikotomi Ilahi dan non-Ilahi,
Islami dan non-Islami. Segala sesuatu yang tidak ada dalam agama (Islam,
misalnya), maka serta merta difatwai non-Ilahi atau non-Islam, haram,
sesat, bid'ah. Allah pun menjadi sempit ruang lingkupnya, karena
pemahaman sempit semacam ini. Alhasil Allah yang ada di masjid, mushala,
surau dan langgar "tampak berbeda" dengan Allah "yang
sama" yang berada di gereja, pura, wihara, sinagog, kelenteng dan
tempat-tempat ibadah umat lain. Ritual ibadah pun sudah dianggap tujuan,
sementara ritual ibadah umat lain dipandang sebagai syirik karena
menyembah berhala, thaghut, non-ilahi.

Renungkan, jika orang beranggapan bahwa Allah yang ada di masjid lantas
berbeda dengan Allah yang ada di sinagog, lalu dengan dingin tangan dia
membakar tempat suci itu, dimanakah Tauhid orang itu? Apakah ia
beranggapan bahwa si Setan Kafir-lah yang ada di sinagog itu? Apakah ia
tidak merasakan kehadiran Allah di tempat-tempat suci agama lain? Apakah
gereja, sinagog, pura, wihara dan tempat-tempat ibadah lain itu
non-Ilahi,non-Islami, alias setani ? Dimanakah keyakinan Tauhid kita
bahwa Allah itu Esa, Wajah-Nya di Timur dan di Barat, di mana-mana itu?

Kebiasaan berpikir dikotomi, dualitas, membeda-bedakan ini Ilahi dan itu
non-Ilahi, ini Islami dan itu non-Islami adalah akar syirik
(menyekutukan Allah). Waspadalah dengan pikiran kita yang liar itu.
Salah satu hadis mengatakan "syirik bekerja seperti semut hitam yang
merayap di bebatuan di malam yang gulita", tidak terasa tetapi
berbahaya. Sebuah dosa besar dimana Yang Maha Pengampun pun sulit
mengampuni.

Cara pandang dualisme mengingkari nilai-nilai agama yang sejatinya
mengakui adanya kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang
Islam diwajibkan menjalankan agamanya, begitu juga umat dalam agama
lain. Dalam surah al-Maidah (5:66) tertera: "Dan sekiranya mereka
mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala yang diturunkan dari
Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati kesenangan dari
setiap penjuru." Dari ayat ini jelas bahwa ukuran derajat seseorang
dengan orang lain adalah "melakoni" ajaran agamanya
masing-masing dengan sungguh-sungguh, bukan formalisme agama apa yang
dianut. Melakoni ajaran agama berarti mewujudkan kesalehan sosial dalam
pelayanan terhadap sesama dengan penuh kasih tanpa embel-embel, tanpa
membeda-bedakan, tanpa dualisme.

Sangat disayangkan, cara berpikir dikotomi/dualisme yang senantiasa
membedakan ini Ilahi dan itu non-Ilahi, yang membeda-bedakan Tuhan agama
yang satu dengan lainnya telah merambahi beberapa petinggi dan tokoh
lembaga agama di negeri ini. Jika seorang rakyat jelata berwawasan cupet
seperti itu, mungkin akibatnya tidak terlampau signifikan. Mungkin hanya
merugikan dirinya sendiri. Tetapi jika seorang petinggi negara sudah
dualisme dalam cara pandangnya, maka yang celaka bukan saja dia sendiri,
bahkan segenap rakyat yang dipimpinnya.

Cara pandang dualisme adalah khas cara pandang seorang politisi, bukan
seorang negarawan. Negeri ini sungguh butuh banyak negarawan yang
berpandangan luas dan utuh serta mengutuhkan selaras dengan semboyan
negara kita "bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa"
(berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada dualisme dalam Kebenaran).
Pendirian dualisme hanya akan melahirkan tindakan diskriminatif yang
memecah belah bangsa dan negara, yang tidak pantas dimiliki seorang
pemimpin, seorang negarawan.

Sebagai penutup, berikut ini saya sajikan sepenggal contoh dalam hidup
sehari-hari tentang beberapa petinggi negara, tokoh agama dan warga
masyarakat kita yang berwawasan dualisme itu, sebuah "delusi"
yang tidak mereka sadari. Saya kembalikan kepada pembaca untuk
mencermati dan menemukan dimana letak kekacauan cara pandang mereka.
Saya berharap, semoga cara pandang demikian tidak menulari kita segenap
anak-anak bangsa yang di dadanya masih memiliki cinta terhadap Ibu
Pertiwi, Indonesia Jaya.

(1) Ketika memberikan pendapatnya soal Ahmadiyah, Fulan, seorang petingi
negara kita mengatakan,"Jika menghendaki menjadi bagian dari komunitas
Muslim, sebaiknya mengakui nabinya adalah Muhammad dan bukan Mirza
Ghulam Ahmad. Jika Mirza tetap menjadi nabi mereka, Ahmadiyah bisa
mendeklarasikan keluar dari Islam. Jika keluar dari Islam, maka umat
Islam harus mendukung keberadaan mereka. Umat yang lain yang BERBEDA
TUHAN dengan umat Islam kan tidak ada masalah."

(2) Fulan, seorang tokoh agama yang terkenal, memandang bahwa demokrasi
sebagai kafir, tidak Islami, tidak sesuai dengan sunnah Nabi. (Catatan
saya: paradoksnya yang menggelikan adalah di negeri yang demokratis
seperti Indonesia ini justru dia bisa mendirikan organisasinya dengan
bebas yang tak pernah bisa ia dapatkan di "negeri impian yang
menganut Allah-krasi yang konon islami" itu)

(3) Fulan, tokoh agama yang sama beranggapan bahwa masalah kepemimpinan
bukan soal duniawi, tetapi masalah keagamaan. Di sisi lain ia mengatakan
sistem pendidikan ala madrasah yang mengenal kelas-kelas itu tidak bisa
dikatakan bertentangan dengan sunnah Nabi, sebab sistem itu menyangkut
urusan duniawi, bukan masalah ibadah.

(4) Pada suatu kesempatan, gerombolan radikal menunjukkan arogansinya
dengan bersepeda motor keliling kota tanpa mengenakan helm. Para Fulan
menantang aparat keamanan atas nama hak manusia atau agama mereka,
dengan mengatakan "kopiah kami ialah identitas keagamaan kami".

(5) Dalam sebuah seminar, Fulan, seorang cendekiawan ternama menolak
terminologi hukum karma ketika seorang pembicara lain mengaitkannya
dengan problem bangsa ini. Fulan membantah "Itu adalah Hukum menurut
Teologi Hindu dan Buddhis, tidak bersifat universal. Janganlah dikaitkan
dengan perkara non Hindu dan non Buddhis!"

(6) Fulan, pejabat daerah menolak memberikan izin pembangunan Gereja dan
Pura walau mereka telah mengumpulkan tanda tangan sesuai aturan yang
berlaku. Misalnya, komunitas masyarakat Hindu tak bisa membangun Pura di
kota tertentu walau mereka sudah memenuhi kuota jumlah tanda tangan yang
dibutuhkan. (Catatan saya: berdasarkan Surat Keputusan Bersama Dua
Menteri yang dikeluarkan pada 21 Maret 2006 silam, kelompok agama yang
hendak membangun tempat ibadah wajib membubuhkan minimal 90 tanda tangan
dari umatnya dan 60 tanda tangan dukungan pembangunan dari pemeluk agama
yang berbeda di lingkungan tersebut, serta menyertakan surat persetujuan
dari kantor urusan agama setempat)

Bandingkan contoh di atas dengan lakon nyata berikut ini yang bisa
menjadi sumber inspiratif bagi kita untuk beringsut dari cara pandang
dualisme/dikotomi menuju Tauhid dalam pengertian yang sesungguhnya.
(1) Dalam Tarikh Ibn Khaldun dijelaskan, `Umar ibn Khathtab datang
ke Syam guna mengikat perjanjian damai dengan penduduk Ramalla. Umar
datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan yang (sebagian)
berbunyi: "Dengan nama Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari
Umar ibn Khaththab kepada penduduk Ailea (Baytul Maqdis atau Yerusalem),
bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita
mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh
dirusak."

Umar ibn Khaththab masuk Baytul Maqdis dan sampai ke Gereja Qumamah
(Qiyamah), berhenti di plazanya. Waktu sembahyang datang, ia katakan
pada Patriak: "Aku hendak sembahyang." Jawab Patriak:
"Sembahyanglah di tempat Anda." Umar menolak, lalu sembahyang di
anak tangga yang ada pada gerbang Gereja, sendirian. Umar yang hidup
pada masa Rasullullah, melakukan lompatan-lompatan intelektual yang
melampaui zamannya. Dan banyak contoh kasus di mana Umar menimbulkan
kontroversi pada masanya.

(2) Saking intensifnya mengikuti dialog lintas iman, K.H.Abdul Muhaimin,
Pengasuh PP Nurul Ummahat, Kota Gede, Yogyakarta ini kerap shalat di
Katedral. "Kalau saya nginep di Katedral, shalatnya yo di
Katedral," kata mantan aktivis GP Ansor ini. "Di Yogya sudah
tahu semua, kalau waktu shalat, saya akan shalat. Ju'ilat al-ardhu
masjidan. Bumi seluruhnya dijadikan sebagai tempat shalat," katanya
mengutip sabda Nabi Saw. "Tapi saya tidak shalat di altar
gereja," jelas Anggota Dewan Kebudayaan DIY ini.

Pandangan-pandangan keagamaan yang memberikan ruang kepada toleransi dan
apresiasi tampaknya semakin penting disosialisasikan, Hambatan teologis
seyogianya bisa diatasi dalam upaya silaturahim antar umat beragama.
Dalam surah Ali Imran (Q.S. 3:64), Al-Qur'an jelas-jelas
menganjurkan kita mencari titik temu (kalimat-un sawa'). Bukan
membesar-besarkan perbedaan yang ada. Selaras dengan ini, Begawan
Naradha, seorang resi yang hidup ribuan tahun yang lalu menganjurkan
agar orang harus "cuek" (indifferent) terhadap perbedaan yang
ada, sehingga melampaui dualitas. Itulah Tauhid yang sesungguhnya.[]

Arief Rahman
15 Februari 2009

--- End forwarded message ---


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Quote: 
** In this age of Aquarius, science will become religious, and religion will 
become scientific. Disagreements between science and religion will come to an 
end, and people will begin to comprehend that both spirit and matter are 
derived from the same source, and are only modifications of the One Universal 
Energy **

Milis HU Internasional: 
http://health.groups.yahoo.com/group/harmonization-universal
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke