KONFLIK AMBALAT’

HANYA MENGUNTUNGKAN PENJAJAH

Buletin Al-Islam Edisi 245

 

Dalam sepekan ini, selain isu BBM yang masih hangat, yang tidak kalah hangatnya adalah isu Ambalat. Isu ini berkembang setelah pemerintah Malaysia mengklaim kawasan perairan Ambalat sebagai wilayahnya. Klaim ini muncul setelah Malaysia memenangkan putusan Mahkamah Internasional atas sengketa pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002. Secara sepihak, Malaysia telah mengklaim wilayah perairan sepanjang 70 mil dari garis pantai Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah perairannya. Sementara Indonesia menganggap, kewenangan Malaysia itu hanya 12 mil dari garis pantai kedua pulau tersebut. Padahal secara historis, baik Sipadan, Ligitan, maupun Ambalat sebenarnya merupakan wilayah Kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim.

Sejak tahun 1979, Malaysia telah mengklaim Blok Ambalat yang terletak di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu sebagai miliknya, lalu memasukkannya ke dalam peta wilayah negaranya. Dengan klaim tersebut, melalui Petronas, Malaysia kemudian memberikan konsesi minyak (production sharing contracts) di Blok Ambalat kepada Shell, perusahaan minyak Inggris-Belanda.

Sebelumnya, kegiatan penambangan migas di lokasi yang disengketakan itu dibagi oleh pemerintah Indonesia menjadi Blok Ambalat dan Blok East Ambalat. Blok Ambalat dikelola kontraktor migas ENI asal Italia sejak tahun 1999, sementara Blok East Ambalat dikelola Unocal Indonesia Ventures Ltd. asal Amerika sejak Desember 2004. Pemerintah Malaysia menyebut Blok Ambalat sebagai ND 6 atau Blok Y, sedangkan blok East Ambalat sebagai ND 7 atau Blok Z.

Pemberian konsesi minyak di perairan tersebut memang lebih dulu dilakukan Indonesia kepada berbagai perusahaan minyak dunia, termasuk Shell, sejak tahun 1960-an; antara lain kepada Total Indonesie untuk Blok Bunyu sejak 1967 yang dilanjutkan dengan konsesi kepada Hadson Bunyu BV pada 1985. Konsesi lainnya diberikan kepada Beyond Petroleum (BP) untuk Blok North East Kalimantan Offshore dan ENI Bukat Ltd. Italia untuk Blok Bukat pada 1988.

Menurut data Ditjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kawasan ini memang mempunyai kandungan minyak yang kaya. Di wilayah perairan timur Kalimantan itu, kandungan minyaknya diperkirakan mencapai 700 juta hingga satu miliar barel, sementara kandungan gasnya diperkirakan lebih dari 40 triliun kaki kubik (TCF).



Mendudukkan Persoalan Ambalat

Harus didudukkan bahwa Malaysia dan Indonesia adalah sama-sama negeri Islam, karena mayoritas penduduknya adalah Muslim. Sebagai sesama negeri Muslim, kedua negeri ini sesunguhnya merupakan satu tubuh, dan penduduknya adalah bersaudara, sekalipun wilayah mereka, satu sama lain berbeda. Allah SWT berfirman:

 

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ

 

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah (Q.S. al-Hujurat: 10)

 

Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa akar persoalan ini terjadi sebagai akibat dari adanya nation state (negara-bangsa), yang lahir setelah hilangnya Khilafah Islam. Dibumbui dengan doktrin Nasionalisme, maka negara-bangsa tersebut telah berhasil digunakan oleh kaum penjajah untuk mengerat negeri kaum Muslim sehingga menjadi negara-negara kecil dan lemah, di antaranya seperti Malaysia dan Indonesia. Setelah itu, persatuan dan kesatuan mereka terkoyak-koyak. Akhirnya, mereka pun menjadi lemah untuk selama-lamanya, sehingga negara-negara penjajah Kafir dengan mudah menguasai mereka.  

Selain itu, perairan di Laut Sulawesi itu jelas merupakan hak milik umum. Sebagai hak milik umum, tentu siapa yang terlebih dahulu menguasainya, maka dialah yang lebih berhak.

Dilihat dari sejarahnya, Ambalat dahulu jelas merupakan wilayah kesultanan Bulungan, yang kini menjadi salah satu kabupaten di Kaltim, serta kedekatan jarak perairan tersebut dengan Indonesia dibanding dengan Malaysia, maka dalam konteks penguasaan hak milik umum, tentu Indonesialah yang lebih berhak ketimbang Malaysia. Rasulullah saw. bersabda:

 

«مِنَى مُنَاخٌ مَنْ سَبَقَ»

 

Mina adalah hak bagi siapa saja yang terlebih dahulu sampai di sana. (H.R. Hakim, Ibn Huzaimah, Ibn Majah, at-Tirmidzi, dan al-Baihaqi)

 

Artinya, pemerintah Indonesialah yang berhak mengelola kawasan tersebut. Meski begitu, pemerintah Indonesia tetap tidak boleh memberikan konsesi pengelolaannya kepada pihak swasta, baik asing maupun domestik. Karena ini jelas merupakan hak milik umum, bukan milik negara.

Karena kawasan ini bukan hak  milik negara, maka negara tidak berhak memberikan konsesi apapun kepada pihak swasta. Karena itu, tindakan pemerintah Indonesia dengan memberikan konsesi kepada ENI dan Unocal, atau tindakan pemerintah Malaysia dengan memberikan konsesi kepada Shell, adalah bentuk pelanggaran terhadap hak milik umum, apapun alasannya. Apalagi jika yang mendapatkan konsesi itu adalah negara penjajah, seperti Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika. 

 

Siapa yang Diuntungkan?

Dengan demikian, jika persoalan tersebut tidak diletakkan secara proporsional, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik bersenjata antara Malaysia dengan Indonesia, sebagaimana yang dituntut oleh sebagian kalangan yang akhir-akhir ini kian nyaring terdengar di Indonesia. Masalahnya adalah, siapa yang diuntungkan jika akhirnya konflik bersenjata itu benar-benar meletus? Tentu bukan keduanya. Mengapa?

Pertama, secara ekonomi, karena perairan tersebut konsesi migasnya telah diberikan oleh pemerintah masing-masing negara kepada pihak ketiga—yaitu Inggris, Belanda, Italia, dan Amerika—maka kalau pun Malaysia menang ‘perang’, maka mereka pun tidak akan mendapatkan apa-apa, selain kompensasi bagi hasil dan pajak. Begitu juga kalau Indonesia yang menang. Malaysia dan Indonesia hanya mendapatkan kepedihan, baik berupa perang sesama saudara maupun luka hingga generasi mendatang.

Kedua, secara politik, jika masing-masing pihak bersikukuh dengan klaimnya, dan tidak ada salah satu pihak yang mengalah, maka bisa jadi kawasan tersebut akan diinternasionalisasi oleh badan dunia, sebagaimana yang pernah hendak dilakukan terhadap al-Quds. Jika demikian, maka baik Indonesia maupun Malaysia akan sama-sama rugi. Lagi-lagi yang diuntungkan tentu negara-negara besar yang mempunyai pengaruh paling kuat pada badan dunia tadi, baik di Mahkamah Internasional, PBB, maupun lembaga-lembaga internasional lainnya.

Ketiga, dari aspek pertahanan dan keamanan, jika konflik bersenjata antara Indonesia dan Malaysia itu sampai pecah, pasti akan menjadi justifikasi (pengesahan) bagi pihak asing, khususnya negara-negara penjajah tadi,  supaya mereka bisa melakukan intervensi (campur tangan) di kawasan tersebut. Jika ini terjadi, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit, dan perseteruan tersebut bisa diramalkan akan berlarut-larut. Ini seperti yang dialami oleh Suriah dan Lebanon, Iran dan Irak, atau India dan Pakistan.  Padahal, Allah SWT telah melarang kaum Muslim memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai mereka, sebagaimana firman-Nya:

 

وَ لَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِيْنَ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلاً.

 

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (QS an-Nisa’ [4]: 141).

 

Jalan Keluar Bagi Krisis Ambalat

Dengan duduk perkara dan logika di atas, maka krisis Ambalat itu seharusnya diselesaikan dengan cara damai (diplomasi), bukan melalui konfrontasi (konflik bersenjata).

Pertama, secara syar'i, perseteruan akan menyebabkan terjadinya perang saudara, yang melibatkan peperangan antara sesama Muslim. Memulai peperangan antar sesama Muslim jelas diharamkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ

 

Muslim yang satu dengan Muslim yang lain itu haram (saling mengganggu) kehormatan, harta, dan darahnya. (HR at-Tirmidzi).

 

Karena itu, saat ada sesama Muslim yang berperang, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim yang lain untuk menghentikannya, sebagaimana firman-Nya:

 

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

 

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang, maka damaikanlah antara keduanya. (QS al-Hujurat [49]: 9).

 

Larangan memulai perang dan perintah menghentikan peperangan antarsesama kaum Muslim menunjukkan haramnya menumpahkan darah di antara sesama mereka.

Kedua, secara ekonomi, perseteruan itu juga akan memakan biaya yang sangat mahal, sementara hasilnya belum tentu baik. Pihak Indonesia belum tentu diuntungkan, demikian juga Malaysia; baik secara ekonomis, politis, maupun pertahanan dan keamanan.

Karena itu, penyelesaian melalui jalur diplomasi (perundingan damai)-lah yang paling logis dan rasional, dengan biaya yang lebih murah. Dengan kata lain, pemerintah Indonesia harus bisa membuktikan kepada pemerintah Malaysia bahwa Indonesialah yang lebih berhak atas wilayah tersebut, baik dari aspek kesejarahan maupun dokumen hukum kelautan. Sebaliknya, Malaysia tidak mempunyai satu pun bukti yang bisa dijadikan sebagai acuan, selain klaim sepihak. 

Lebih dari itu, sebagai sesama negeri Muslim, masing-masing pemerintahan kedua negara itu harus menyadari bahwa hukum sesama Muslim bermusuhan jelas diharamkan oleh Islam. Karena itu, apapun bentuknya, tindakan permusuhan tersebut harus dijauhi.  Kaum Muslim ---termasuk para tokoh masyarakat, ulama' dan intelektual--- di Indonesia dan Malaysia juga harus bersama-sama mencegah terjadinya perang saudara.  Sebab, yang diuntungkan dari perang tersebut bukan umat Islam di kedua negara tersebut, melainkan negara-negara penjajah Kapitalis tadi.

 

Khatimah

Pada akhirnya, lagi-lagi persoalan ini semakin menguatkan keyakinan kita, bahwa akar masalahnya adalah karena negeri-negeri kaum Muslim yang asalnya satu, di bawah naungan bendera Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh itu telah dicabik-cabik oleh penjajah. Inilah yang  sebenarnya menjadi masalah utama yang menyebabkan munculnya masalah perbatasan (al-hudûd). Karena itu, masalah teritorial yang dipersengketakan tadi sebenarnya bukan merupakan masalah utama. Masalah utamanya adalah karena umat Islam saat ini tidak lagi hidup dalam satu negara, yaitu Khilafah Islamiyah. Sebaliknya, mereka telah dikotak-kotakkan dalam sekat nation state (negara-bangsa).

Kenyataan ini juga semakin memperteguh keyakinan kita, bahwa Khilafah Islamiyah bukan saja wajib, tetapi juga perlu untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri-negeri kaum Muslim. Jika tidak, umat Islam akan terus-menerus disibukkan dengan riak-riak seperti ini. Sampai kapan? Wallâhu a'lam. []

 

Komentar al-Islam:

 

Komnas Perempuan: Buka Kembali Bahasan Naskah Tandingan Kompilasi Hukum Islam. (Kompas, 8/3/2005).

 

Waspadailah selalu berbagai upaya dari pihak-pihak anti syariat Islam.


http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=438


Yahoo! Messenger - Communicate instantly..."Ping" your friends today! Download Messenger Now

--------------------------------------------------------------------------

All views expressed herein belong to the individuals concerned and do not in any way reflect the official views of Hidayahnet unless sanctioned or approved otherwise.

If your mailbox clogged with mails from Hidayahnet, you may wish to get a daily digest of emails by logging-on to http://www.yahoogroups.com to change your mail delivery settings or email the moderators at [EMAIL PROTECTED] with the title "change to daily digest".



Yahoo! Groups Sponsor
ADVERTISEMENT
click here


Yahoo! Groups Links

Kirim email ke