http://www.sasak.net/modules/news/article.php?storyid=192


Kau Yang Memulai dan Mengingkari

Oleh Ir. Muhammad Umar Alkatiri

Konflik horizontal yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sepertinya 
susah reda. Meski sudah ada perjanjian damai seperti Deklarasi Malino untuk 
kasus Poso, namun konflik tetap saja terjadi. Setidaknya ada dua penyebab utama 
yang menjadi akar permasalahan, namun keduanya enggan diakui oleh pemerintah 
dan tokoh-tokoh agama yang mengupayakan damai.

Pertama, pencetus terjadinya konflik horizontal bukan umat Islam. Para juru 
damai umumnya berkesimpulan bahwa kedua belah pihak salah, sehingga harus duduk 
bersama untuk merumuskan perundingan. Padahal, sebagai mana fakta yang terlihat 
di mata, pihak non Islam yang sering kali memulai konflik.

Sebagai contoh kasus Poso, yang pertama kali terjadi 25 Desember 1998. Seorang 
pemuda Kristen (Roy) yang mabok membacok Ridwan yang sedang berada di dalam 
masjid. Saat itu hari Natal, dan umat Islam sedang menjalankan ibadah Shaum 
Ramadhan. Tentu saja Ridwan tidak tingal diam. Ia mengadu ke kelompoknya. 
Begitu juga dengan Roy, ia mengadu ke kelompoknya. Terjadi bentrok, yang 
kemudian bergulir secara serial. Kelompok Islam meyakini pihak Kristen yang 
memulai dan merasa telah dianiaya. Anehnya, kelompok Kristen justru menuding 
kelompok Islam yang lebih dulu memulai konflik dan menganiaya.

Kelompok Kristen tidak mau mengakui telah memulai konflik, mereka justru 
memfitnah, memutar-balikkan fakta. Bahkan secara resmi mereka menerbitkan buku 
putih yang diterbitkan oleh Crisis Centre Majelis Sinode GKST (Gereja Kristen 
Sulawesi Tengah). Bahkan materi pembelaan dan pemutar-balikan fakta ini juga 
dilansir melalui situs internet yang diforward ke berbagai mailing list dan 
situs lokal dan internasional. Buku putih ini disusun oleh Pendeta Renaldy 
Damanik dan kawan-kawan. Kalangan Islam tentu saja berang. Meski tidak 
menerbitkan buku putih, namun di internet terlihat perang pernyataan.

Selama ini, tidak pernah terjadi ada pemuda Islam yang dalam keadaan mabok 
kemudian masuk ke Gereja dan membacok salah satu jemaat yang sedang beribadat, 
sebagaimana dilakukan Roy, pemuda Kristen yang mabok dan masuk Mesjid kemudian 
membacok Ridwan.

Tiga pekan kemudian, pecah kasus Ambon khususnya peristiwa di Batu Merah yang 
terjadi 19 Januari 1999, saat Idul Fitri. Ketika itu dua preman Ambon Kristen 
memalak dua pemuda Muslim. Terjadi keributan. Inilah awal terjadinya konflik 
horizontal secara serial. Dari kasus ini kemudian lahir kasus-kasus lainnya 
seperti terjadi di Galela, Ternate, Tobelo, Jailolo, Halmahera Utara, Bacan, 
dan sebagainya yang menimbulkan ribuan korban jiwa.

Lagi-lagi, umat Kristen tidak mau mengakui bahwa jemaatnya-lah yang menjadi 
awal pemicu konflik horizontal ini. Sebagaimana kasus Poso, mereka juga 
memutar-balikkan fakta, memfitnah, memposisikan umat Kristen sebagai korban 
kebiadaban umat Islam. Kebohongan itu disebarkan oleh Salawaku, yang salah satu 
edisinya mengabarkan tentang gencarnya Islamisasi di Maluku. Masariku Network 
yang menerbitkan Siwalima Report, bersikap senada. Juga, Eskol-Net yang 
dikelola aktivis muda gereja.

Media Internasional seperti International Herald Tribune edisi Maret 2000, 
memberitakan seenaknya. Antara lain, mereka menyebut jatuh korban 3000 jiwa 
tanpa menjelaskan dari kalangan mana korban terbanyak. Sehingga timbul kesan 
bahwa kalangan Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia telah membunuh 
sekitar 3000 Kristen. Padahal, berita itu seharusnya menjelaskan dari 3000 
korban tadi 2800 di antaranya adalah Muslim.

Umat Islam tidak saja dipojokkan oleh media internasional, anehnya juga 
dizalimi oleh Presidennya sendiri yang berasal dari keluarga Kyai yang ketika 
itu berdampingan dengan Wakilnya seorang perempuan anak dari Bapak Nasionalis 
Indonesia.

Belum kering luka umat Islam akibat dua kasus di atas, pada Mei 2000 pecah 
kasus Poso babak ketiga yang menyebabkan sekitar seribu orang tewas. Termasuk 
korban muslim cleansing yang dilakukan Tibo dkk terhadap komunitas pondok 
pesantren Walisongo.

Meski sudah berkali-kali terbukti bahwa umat Kristen adalah pembantai umat 
Islam, mata dunia tetap tidak bisa membacanya. Apalagi mata Gus Dur sang 
Presiden RI kala itu. Kasus perkosaan dan Kristenisasi sebagaimana terjadi pada 
Wawah di Sumatera Barat, kian membuat umat Islam marah. Masalahnya, sebagian 
besar umat Islam cuma bisa marah dengan menggunakan mulutnya dengan menerbitkan 
aneka pernyataan sikap dan caci-maki saja. Itu pun masih mending, malah ada 
sebagian lainnya yang justru menyalah-nyalahkan umat Islam. Namun demikian, 
ternyata ada sebagian kecil dari umat Islam yang kemudian mengambil tindakan 
balasan dengan menempuh cara-cara kekerasan antara lain berupa Bom Malam Natal 
2000. Sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui, semua tokoh Islam termasuk yang 
bergelar fundamentalis seperti Sumargono dengan lantang mencaci-maki pelaku Bom 
Malam Natal 2000, seraya menjelaskan bahwa kekerasan seperti itu bukan ajaran 
Islam.

Kasihan sekali. Mereka sama sekali tidak punya perspektif lain.

Contoh lainnya adalah kasus Sampit yang terjadi pada Februari 2001. Kasus 
pembantaian terhadap etnis Madura ini, berawal dari terbunuhnya empat anggota 
sebuah keluarga Madura di sana. Pembunuhan terjadi pada pukul 03:00 dinihari 
waktu setempat. Tentu saja komunitas Madura di sana melakukan balasan. Anehnya, 
opini yang berkembang justru menyudutkan etnis Madura. Antara lain digambarkan 
mereka sebagai sosok pendatang yang arogan, suka menenteng-nenteng clurit, dan 
sebagainya.

Kedua, adanya salah kaprah yang mengabaikan realitas. Bahwa, kekerasan dilarang 
oleh semua agama. Nyatanya, di dalam Bibel memang diajarkan kekerasan di dalam 
melawan musuh-musuhnya. Misalnya pada I Samuel 15:2-3 diajarkan, "Jadi pergilah 
sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan 
janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun 
perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta 
maupun keledai."

Masih ada sejumlah ayat dari Kitab Suci Bibel yang mengajarkan kekerasan. Hal 
ini dapat menjelaskan mengapa Tibo dkk begitu sadis membantai komunitas ponpes 
Walisongo. Kemungkinan ia telah 'dibisiki' oleh orang seperti Pendeta Damanik 
dkk.

Secara kultural, orang Dayak memang terbiasa memenggal kepala lawan perangnya. 
Apalagi, bila tindakan itu ternyata mendapat pembenaran teologis sebagaimana 
'dibisiki' para misionaris di sana. Maka, para Dayak itu pun secara 
demonstratif melakukan pemenggalan terhadap etnis Madura di hadapan kamera 
televisi yang sedang meliput.

Lalu, apa yang dijadikan alasan pembenar bagi umat Kristen untuk melakukan 
kekerasan bak di medan perang? Karena pada dasarnya yang terjadi memang perang.

Para Pendeta dan Misionaris di Sampit, Maluku dan Poso menyadari adanya 
kecenderungan yang kian hari dirasakan kian tinggi terhadap Islam. Kalau 
kondisi normal ini dibiarkan, akan mengancam eksistensi Gereja dan aktivitas 
para Misionaris. Jemaat mereka bisa berkurang dan Gereja akan kian sepi seperti 
terjadi di Barat.

Oleh karena itu, mereka merasa perlu proaktif. Apalagi Sun Tzu mengajarkan 
bahwa the best defense is attack. Maka, mereka pun memulai penyerangan seraya 
mengingkarinya. Membunuh demi tegaknya Kerajaan Kristus, apa yang salah? Bush 
dan Presiden AS lainnya telah pula memberi contoh. Berbagai pembantaian 
terhadap anak-anak, wanita dan target sipil lainnya telah terjadi di Qana, 
Afghan, Iraq, Lebanon, Palestina dan sebagainya. Mereka melakukan itu bekerja 
sama dengan Israel atau menggunakan tangan orang lokal sendiri seperti terjadi 
di Pakistan 30 Oktober 2006 lalu, militer Pakistan memborbardir sebuah madrasah 
yang terletak di Desa Chingai, di dekat Kota Khar, Bajur, Pakistan.

Maka, bila kedamaian yang mau diraih, hendaknya pemerintah bersikap jujur dan 
proporsional dan memahami akar masalahnya. Pihak yang memulai pertikaian 
didorong untuk meminta maaf secara terbuka dan secara tulus. Insya Allah damai 
akan terwujud.


Reply via email to