Untuk tambahan informasi semoga bermanfaat. Salam, INS >To: <[EMAIL PROTECTED]> >From: "Elang Hermawan" <[EMAIL PROTECTED]> >Date: Fri, 20 Dec 2002 09:31:44 +0800 >Subject: [UPNVY] Sipadan-Ligitan: Ratapan memalukan ?
>Artikel berikut dari www.detik.com (19/12/02). Semoga bermanfaat. (EH) >---------------------------------------------------------------- >Kolom >Memalukan Ratapi Sipadan-Ligitan >Oleh : Eddi Santosa >detikcom - Den Haag, Begitu Malaysia dinyatakan sebagai pemilik Sipadan-Ligitan, reaksi pun tumpah. Dari sekedar menyesalkan, sampai reaksi galak, seolah-olah Indonesia telah kehilangan hak milik. Memalukan sekali. Kenapa? >Reaksi-reaksi menyusul putusan Mahkamah International yang menetapkan Malaysia sebagai pemilik definitif Pulau Sipadan-Ligitan, nampaknya memang merefleksikan seperti apa sesungguhnya elit politik Indonesia saat ini. Padahal reaksi mereka dipantau masyarakat internasional, bahkan oleh petinggi Malaysia, tetangga sebelah yang memenangi perkara. >Reaksi-reaksi tersebut mengesankan semau gue, cenderung bercerai-berai dan emosional, tapi malah menunjukkan tidak menguasai masalah. Dan ini yang memalukan ditonton dari luar. Bagaimana tidak memalukan, coba saja simak reaksi-reaksi tersebut: 'kita kembali kehilangan dua pulau', 'Sipadan-Ligitan jatuh ke tangan Malaysia', dst. >Dikatakan telah kehilangan pulau, itu memangnya Sipadan-Ligitan pulaunya siapa? Dalam bahasa Srimulat, "Iku pulone sopo?" Sebab berdasarkan data-data yang dikumpulkan detikcom dari Mahkamah Internasional dan catatan-catatan sepanjang persidangan sejak oral pleading 2001 lalu, Indonesia sebenarnya belum pernah memiliki kedua pulau yang menjadi sengketa itu. Belum pernah memiliki kok mengatakan telah kehilangan? >Bukankah sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan baru muncul pertama kali pada waktu dilangsungkannya perundingan mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 9-12 September 1969? Ketika sedang sibuk mengurus batas wilayah masing-masing itulah kedua negara terantuk pada pulau Sipadan-Ligitan. >Malaysia mengatakan bahwa kedua pulau milik mereka, sebaliknya Indonesia pun merasa bahwa kedua pulau masuk ke dalam wilayah teritorialnya. Selanjutnya kedua pihak mulai sibuk mengaduk-aduk dokumen, untuk memperkuat klaim masing-masing. >Dari rekonstruksi ini menjadi jelas bahwa dari awal muncul sengketa, siapa pemilik Sipadan-Ligitan belum jelas. Justru ketidakjelasan siapa pemiliknya itulah yang menjadi faktor pemantik sengketa tadi. Jadi, di mana logikanya Indonesia merasa kehilangan kedua pulau itu? Belum pasti pernah memiliki kok merasa kehilangan? Aneh, kan? >Malaysia Bukan Negeri Pandir >Nah, setelah sengketa itu muncul mulailah Indonesia dan Malaysia sibuk menempuh langkah-langkah diplomatik bilateral kedua negara untuk mencari penyelesaian sengketa. Tahapan inilah yang merupakan ajang kepiawaian diplomasi karena upaya penyelesaiannya masih di tataran politik. >Namun ternyata Malaysia bukan negeri pandir yang bisa dibujuk-bujuk begitu saja oleh Indonesia melalui medium perundingan dan meja diplomasi. Negeri jiran itu yakin betul atas klaimnya terhadap Sipadan-Ligitan, selain didukung 'girik' lama dari penjajah sebagaimana juga dipunyai Indonesia, Malaysia sudah secara efektif menguasai dan melaksanakan kedaulatan di kedua pulau, sebelum menjadi sengketa di tahun 1969 itu. Sehingga dengan pegangan yang kuat itu, Malaysia menghadapi diplomasi rezim kuat Soeharto sekalipun tak mau menyerah begitu saja. >Setelah gagal mencari penyelesaian melalui berbagai upaya diplomatik, a.l. Senior Official Meeting, Joint Commission Meeting dan Joint Working Group (1989), kedua pihak berkesimpulan bahwa sengketa mengenai kedua pulau tersebut sulit untuk diselesaikan dalam kerangka diplomatik. >Akhirnya pada 1997 kedua pihak sepakat untuk memasukkan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional dengan menandatangani dokumen Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan. Jika kedua pihak telah berusaha menyelesaikan masalah namun masing-masing tetap merasa sebagai yang benar, maka wajar diperlukan lembaga peradilan untuk menguji dan memutus siapa yang benar. >Diplomasi Telah Lewat >Dari rekosntruksi kedua ini jelas, bahwa fase diplomasi untuk menyelesaikan sengketa Sipadan-Ligitan telah lama lewat. Begitu perkara dimasukkan ke Mahkamah Internasional, urusannya sudah merupakan urusan hukum. Adu barang bukti dan argumentasi hukum. Sehingga meributkan soal diplomasi dalam pertarungan di mahkamah, sama saja mempertontonkan ketidaktahuan mengenai masalah. >Dan hasilnya, setelah berbagai tahapan proses (memorial, counter memorial, reply, counter reply, written pleading, oral pleading, oral hearing dan pembacaan putusan) di mahkamah selesai dilalui, mahkamah menilai bahwa 'girik' Treaty Based Title berdasarkan Konvensi 1891 yang diajukan Indonesia dan Chain of Title yang diajukan Malaysia tidak kuat menunjukkan hubungan kepemilikan sesuai klaim mereka. >Dengan demikian mahkamah sama saja menilai bahwa kedua pulau yang disengketakan sebagai tidak bertuan alias terra nulius. Sehingga mahkamah memutus siapa yang menguasai kedua pulau lebih duluan, dialah yang berhak dan menjadi pemiliknya. Malaysia telah secara efektif menduduki dan melaksanakan kedaulatannya di kedua pulau selama 78 tahun, sejak 1891 sampai 1969, ketika perselisihan dengan Indonesia muncul. Dan dari 1969 terus berkesinambungan sampai sekarang. >Jadi sejak mula pertama (1969), jamannya Orde Baru, Indonesia merasa memiliki pulau itu, sebenarnya secara hukum kedua pulau adalah milik Malaysia. Dan setelah melalui pergulatan diplomasi (1969-1997) dan pertarungan hukum yang melelahkan (1997-2002), Malaysia kini mendapat penguatan hukum, berupa 'sertifikat' yang dikeluarkan Mahakamah Internasional. >Jelaslah sekarang, bahwa Indonesia tidak kehilangan sejengkal pulau pun. Sebaiknya elit politik mulai bekerja sungguh-sungguh mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus serupa di masa depan daripada ribut dan berbuat ngawur. Masa perjuangan diplomasi Sipadan-Ligitan telah lewat (1969-1997). >Kekalahan yang diderita Indonesia adalah kekalahan hukum, karena bukti-bukti Malaysia memang lebih kuat. Belajarlah mematuhi hukum dan segala keputusannya supaya tertib seperti mereka, tidak ribut terus. (es,nrl) > --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------