Jatim Miliki Kekayaan Alam Sekaligus Potensi Bencana BENCANA banjir bandang di kawasan Wana Wisata Padusan Pacet Mojokerto yang menewaskan 26 pengunjungnya pada tanggal 12 Desember 2002, tidak hanya meninggalkan kesedihan yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Namun, peristiwa tersebut juga menjadi pelajaran sekaligus peringatan bahwa kondisi lingkungan, khususnya areal hutan dan tanah sudah dalam kondisi yang rusak.
SELAIN karena faktor alam, faktor perbuatan manusia semakin mendorong terjadinya bencana alam yang lebih cepat. Penjarahan hutan, penambangan liar, dan pembangunan kawasan perumahan yang tidak sesuai tata ruang adalah beberapa contoh kegiatan yang sampai saat ini masih dilakukan. Dampaknya, ancaman bencana alam semakin meluas, tidak hanya banjir bandang atau tanah longsor, tetapi juga menyebabkan kerusakan ekosistem darat dan laut. Datangnya bencana pun sepertinya hanya tinggal menunggu waktu. Seiring datangnya musim hujan, tanda-tanda datangnya bencana pun mulai tampak. Mulai dari tragedi Pacet yang menewaskan 26 orang, longsor di Batu yang menewaskan satu orang dan merusak puluhan rumah, banjir di Situbondo, Bojonegoro, dan Gresik merupakan peringatan awal datangnya bencana yang lebih besar. Dari data Stasiun Meteorologi Juanda Jawa Timur (Jatim) pun disebutkan bahwa curah hujan di Jawa Timur akan lebih besar mulai awal Januari 2003 hingga bulan Maret 2003. Curah hujan yang turun bisa mencapai 2.500 milimeter (mm). Sementara dari hasil penelitian dan pemetaan yang dilakukan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Jawa Timur tahun 2002, di Provinsi Jawa Timur terdapat lebih dari 140 titik zona rawan bencana banjir bandang dan longsor. Zona tersebut menyebar merata di hampir seluruh wilayah Jawa Timur. MENURUT Pelaksana harian IAGI Sofyan Hadi, penetapan zona rawan bencana tersebut didasarkan pada kondisi lingkungan secara komprehensif. Mulai dari kondisi geologis, hutan dan pohon, daya tangkap tanah, serta curah hujan. Laporan IAGI menyebutkan, beberapa daerah yang terdeteksi paling rawan bencana di Jawa Timur di antaranya Kabupaten Malang, Pacitan, Situbondo, Bondowoso, Mojokerto, Banyuwangi, Lumajang, Ngawi, dan Bojonegoro. "Selain daerah ini memiliki curah hujan yang tinggi, kondisi bumi di daerah ini sangat rentan," ujar Sofyan. Dari sisi tektonis, wilayah Jawa Timur merupakan daerah yang berada dekat dengan jalur tumbukan lempeng tektonik Austroindia dengan lempeng Erasia. Kondisi ini memunculkan potensi kegempaan, baik dari frekuensi kejadian maupun intensitasnya akan cukup tinggi pada sisi pantai selatan. Hal ini terjadi karena daerah Jawa Timur berhadapan langsung dengan zona tumbukan yang berada di palung jawa. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya hantaman gelombang tzunami cukup besar. Sofyan menyebutkan, peristiwa tumbukan lempeng ini juga akan menjadi penyebab terbentuknya jalur gunung api yang berada di bagian tengah Jawa. Sementara, Pegunungan lipatan maupun vulkanik merupakan daerah ketinggian dengan potensi longsor yang cukup besar karena usianya relatif muda yang menyebabkan batuan dan tanah yang terbentuk masih bersifat labil. "Iklim tropika basah juga menyebabkan laju proses pelapukan batuan maupun tanah cukup tinggi," kata Sofyan. Selain itu, kata Sofyan, potensi gerakan tanah yang merupakan gabungan kejadian penguraian tubuh batuan maupun tanah, matra dimensi tubuh tanah atau batuan, pembebanan eksternal maupun internal, pengikisan, peralutan, maupun pelumasan oleh cairan, dan perubahan sudut lereng di wilayah Jatim cukup tinggi. JIKA dipetakan, wilayah Jawa Timur bagian Selatan dan Utara merupakan wilayah yang kondisi tanah dan batuannya tidak stabil karena hampir di seluruh wilayah ini terdiri dari pegunungan kapur. Di bawah tanah dan bebatuan pegunungan kapur terdapat banyak rongga yang berpotensi bergeser atau runtuh. Usia pegunungan kapur tersebut termasuk dalam usia tersier, yakni sekitar 10 sampai 65 juta tahun. Untuk wilayah utara Pulau Jawa memiliki potensi kekayaan alam berupa minyak bumi dan gas yang luar biasa besar dan belum banyak tergali. Sementara untuk wilayah selatan, kandungan emas dan logam-logam lainnya seperti perak, tembaga juga merupakan potensi yang sangat besar jumlahnya. "Jadi, selain punya potensi bencana yang besar, Jawa Timur memiliki potensi kekayaan yang luar biasa pula," ujar Sofyan. Sementara untuk bagian Tengah, wilayah Jatim terdiri dari pegunungan vulkanik yang masih aktif dan usia bebatuan dan tanahnya relatif muda antara 4 juta sampai satu setengah juta tahun. "Jadi, hampir semua gunung di wilayah ini aktif dengan produk material lepas dan larva yang volumenya sangat banyak," ujar Marsilinus Setiawan, anggota IAGI Jatim. Dengan kondisi demikian, kata Marsilinus, secara alamiah kondisi alam di Jatim memang rawan bencana. "Sayangnya kondisi ini diperparah lagi dengan berbagai kegiatan manusia yang merusak lingkungan," kata Marsilinus. Dilihat dari kondisi hutan di Jatim, berdasarkan data yang dikeluarkan PT Perhutani Unit II Jatim, luas hutan di Jatim sekitar 1,3 juta hektar. PT Perhutani sendiri mengelola seluas 1,1 juta hektar yang terbagi mejadi hutan produksi seluas 812.889 hektar dan hutan lindung seluas 28.892 hektar. SEMENTARA hutan yang lain terdiri dari hutan suaka dan wisata yang dikelola Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan. Menurut Kepala Seksi Hubungan Masyarakat (Humas) PT Perhutani Unit II Jatim Sutowibowo, kerusakan hutan di Provinsi Jatim sejak tahun 1998 hingga tahun 2002 mencapai 150.000 hektar. Namun, menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Jatim, luas hutan yang mengalami kerusakan sudah mencapai 400.000 hektar. Sutowibowo mengatakan, rusaknya hutan di kawasan Jatim sebagain besar disebabkan penjarahan dan kebakaran yang tejadi pada musim kemarau tahun 2002 lalu. Dikatakan, selain merusak kawasan hutan, penjarahan kayu sepanjang tahun 2002, telah merugikan PT Perhutani sekitar Rp 69,5 milyar. "Jumlah kerugian tersebut lebih sedikit dibanding tahun 2001 yang mencapai Rp 214 milyar," ujar Sutawibowo. Salah satu kesulitan yang dihadapi Perhutani untuk mengurangi gangguan hutan, termasuk pencurian, adalah karena hutan itu sendiri merupakan aset terbuka. "Saat ini luas lahan PT Perhutani untuk Jawa Timur mencapai 1.128.395 hektar yang terdiri dari hutan jati seluas 812.890 hektar dan hutan nonjati yang ditanami dengan pohon sengon, mahoni, pinus seluas 594.992 hektar. Sementara, untuk menjaga area yang sangat luas tersebut, Perhutani hanya mempunyai petugas sebanyak 10.000," kata Sutawibowo. Sejauh ini, lanjut Sutawibowo, untuk mengatasi permasalahan tersebut, Perhutani mengupayakan konsep pengikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satunya adalah dengan sistem tumpang sari di lahan PT Perhutani. Dengan demikian, masyarakat ikut merasa memiliki. Namun, hal itu dibantah oleh Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Syafruddin Ngulma. Menurut dia, kehancuran hutan tidak semata disebabkan oleh penjarahan, tetapi lebih kepada pengelolaan PT Perhutani yang tidak konsisten dengan misi dan visinya yang berwawasan lingkungan. SYAFRUDDIN menegaskan, akibat pengelolaan yang tidak benar menyebabkan kondisi hutan menjadi hancur. Sementara bencana alam, seperti tanah longsor atau banjir bandang tidak pernah lepas dari kehancuran hutan. "Jika kondisi hutan sudah hancur, maka bencana alam tidak akan mungkin dapat dicegah," ujar Syafruddin. Syafruddin mencontohkan, musibah banjir bandang di kawasan Wanawisata Padusan Pacet merupakan akibat gundulnya hutan yang terdapat di kawasan gunung sekitar taman rekreasi yang berada di bawah pengawasan Perhutani. "Secara teoretis gundulnya hutan dan yang menyebabkan bencana alam tersebut merupakan tanggung jawab Perhutani. Tapi, ironisnya Perhutani berusaha menutupi kesalahan mereka dengan program reboisasi," kata Syafruddin. Syafruddin menilai, kegiatan reboisasi merupakan kegiatan yang tidak efektif untuk dilakukan pada masa sekarang ini. "Ancaman bencana alam di Jawa, sudah sangat serius, upaya reboisasi membutuhkan waktu yang lama untuk dapat memulihkan kondisi hutan. Kami melihat, program reboisasi yang dilakukan Perhutani adalah program jangka pendek untuk kepentingan Perhutani guna mengalihkan persoalan," ujar Syafruddin. Menurut Syafruddin, ada tiga hal yang harus segera dilakukan Pemerintah dan PT Perhutani, selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola hutan di Indonesia. Pertama, pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan Moratorium Loging (penghentian sementara penebangan hutan) sekurang- kurangnya tiga tahun. "Dengan demikian hutan yang masih tersisa dapat terselamatkan," kata Syafruddin. Selain itu, kata Syafruddin, pemerintah dan Perhutani juga harus menata ulang tentang batas hutan secara jelas. "Status hutan juga harus dipertegas, sehingga kawasan hutan lindung dapat terpelihara dengan baik," tuturnya. PEMERINTAH juga harus menata kembali sistem pengelolaan hutan. Sebaiknya Perhutani tidak perlu lagi dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Ia beranggapan, PT Perhutani tidak terlihat gigih mengejar aktor intelektual atau sponsor pencurian dan penjarahan. Selama ini yang kerap tertangkap merupakan buruh belaka. Syafruddin juga berkeberatan jika PT Perhutani bersikap bahwa pencurian kayu yang selama dituduhkan semata kepada warga menjadi penyebab kehancuran lingkungan. "Masyarakat desa masih sering dituding sebagai maling. Padahal, kalaupun masyarakat terlibat dalam pencurian, mereka hanyalah buruh upahan," ujarnya. Kedua, pemerintah harus tegas mengeluarkan kebijakan baru bahwa Pulau Jawa harus bebas hutan produksi. Jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia, luas Pulau Jawa kurang dari 10 persen. Sementara jumlah penduduk Indonesia lebih dari 50 persen berada di Pulau Jawa. Ancaman bencana alam karena gundulnya hutan di Jawa merupakan hal yang sangat serius. "Karena itu, pemerintah harus berani untuk tidak lagi menyediakan hutan produksi di Pulau Jawa," kata Syafruddin. Ketiga, pemerintah hendaknya dapat mengeluarkan kebijakan yang bisa memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menanam jati, mahoni, dan pinus di luar hutan tanpa dikenakan pungutan, seperti halnya mereka menanam rambutan atau pohon Mangga di pekarangan rumah misalnya. Syafruddin menambahkan, dampak kerusakan hutan tidak hanya menimbulkan bencana di darat, tetapi juga berimplikasi pada kerusakan ekosistem laut. Menurut dia, material lumpur dan benda lainnya dari longsoran gunung atau bukit akan terbawa arus sungai hingga laut. Akibatnya, material tersebut akan menutupi dan merusak terumbu karang yang menjadi tempat tinggalnya ikan-ikan. Sementara itu IAGI Jatim memperkirakan, jika tidak ada upaya serius dari pemerintah dan semua kalangan untuk memperbaiki kondisi lingkungan hutan yang sudah tidak memiliki daya tangkap air yang banyak, maka dalam beberapa tahun mendatang, Kota Surabaya bisa saja terendam air. Aduh serem sekali! --- --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------