http://jkt1.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2004/bulan/11/tgl/05/time/172021/idnews/236899/idkanal/10

Pakar: Tengkorak di Flores adalah Homo
Sapiens
Reporter: Bagus Kurniawan
detikcom - Jakarta, Tengkorak yang
ditemukan di Flores dan diklaim
peneliti Australia sebagai spesies
baru keluarga manusia dari Flores
disangkal sebagai temuan baru.
Temuan itu diyakini sebagai spesies
homo sapiens yaitu manusia modern,
sama seperti manusia sekarang ini.
"Yang dikatakan sebagai homo
floresiensis itu nyata-nyata adalah
homo sapiens. Sama dengan kita
cuma bentuknya kecil," kata pakar
paleo antropologi Prof Dr T. Jacob
kepada wartawan di Lab Paleo
Antropologi UGM Bulaksumur
Yogyakarta, Jumat (5/11/2004).
Oleh karena termasuk homo sapiens,
kata Jacob, maka sama seperti
manusia modern seperti sekarang ini
cuma tubuhnya pigmi atau kate
dengan kepala kecil atau disebut
mikro sefali (micro cephali).
Menurut dia, pada orang kate itu juga terdapat micro sefali, yakni suatu
keadaan patologis yang tidak normal. Namun tidak seluruh populasi yang
ditemukan di Flores itu otaknya kecil.
"Dengan volume otak 380 cc itu, otak tidak bisa mengerjakan banyak. Itu berarti
lebih rendah dari simpanse dan jelas lebih kecil dari pigmi Afrika atau negrito di
Andaman dan Nikobar di utara Pulau Sumatera," kata Jacob didampingi Prof Dr
RP Soejono, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas).



Bukan Ras Baru
Jacob menegaskan, penamaan homo floresiensis yang ditemukan di Liang Bua
sejak September 2003 lalu itu bukanlah ras baru seperti yang disebutkan dua
peneliti Australia, Mike Morwood dan Peter Brown, sebagai Homo Floresiensis.
Fosil yang ditemukan di Flores itu termasuk homo sapiens yang hidup sekitar
1.300 hingga 1.800 tahun yang lalu.
Menurut Jacob, terjadinya kekerdilan itu disebabkan oleh evolusi insiter. Evolusi
ini terjadi akibat lingkungan hidup yang mereka tempati di pulau-pulau kecil.
Makhluk hidup yang tinggal di pulau-pulau kecil yang terpisah dengan pulau
besar dalam jangka waktu lama akan menyesuaikan dengan kondisi
lingkungannya.
"Proses pengerdilan ini tidak hanya terjadi pada manusia, namun juga terjadi
pada binatang," katanya.
Dia menambahkan, tengkorak dan sejumlah tulang yang ditemukan di Liang
Bua itu belum bisa disebut sebagai fosil tetapi sub-fosil. Bila fosil, maka
semuanya sudah membatu. Sedangkan sub-fosil masih bisa ditemukan
jaringan hidup, sehingga diharapkan masih bisa dilakukan penelitian DNA.
"Kalau sudah berupa fosil, tidak lagi bisa dilakukan penelitian DNA," kata
mantan Rektor UGM itu.
Setelah meneliti secara seksama, Jacob juga tidak sependapat dengan
pernyataan Mike Morwood dan Peter Brown dari University of New England
Australia yang mengatakan bahwa tengkorak kepala yang ditemukan di Liang
Bua itu berjenis kelamin perempuan, tetapi laki-laki. Diperkirakan juga
meninggal berumur di atas 30 tahun.
"Kalau dilihat dari bentuk rongga mata serta lengkungan tulang pinggul yang
lebih cenderung ke arah laki-laki," ujarnya.
Jacob menambahkan penelitian di Flores sebenarnya juga sudah banyak
dilakukan oleh peneliti Indonesia di antaranya oleh Puslitarkenas yang dipimpin
Prof Dr RP Soejono. Jadi tidak seperti yang diberitakan berbagai media saat ini
yang dinyatakan penelitian baru dilakukan oleh ilmuwan dari Australia.
Liang Bua ini sebenarnya sudah diselidiki sejak tahun 1950-an oleh seorang
pastor Belanda yang bekerja di Maumere yakni Pastor Verhoeven. Pada
awalnya dia akan menggunakan gua tersebut untuk mengajar anak-anak Flores
sekolah tapi ditemukan banyak tulang-tulang.
"Tulang-tulang itu dibawa ke Belanda dan saya sempat mempelajari temuan
milik Verhoeven ketika mengambil doktor," kat Jacob.



Terorisme Menanggapi adanya klaim oleh peneliti Australia itu, Soejono mengatakan, pihaknya tidak mau berpolemik dan komplain. Secara etika seharusnya diumumkan secara bersama bukan satu pihak dan harus lengkap. Bahkan mengajak Prof Dr T Jacob dalam penelitian tersebut, juga tidak diperbolehkan. "Saya rasa memang ada yang kurang tepat. Bukan karena I am the master dan I am the funding. Ya sudahlah," kata Soejono. Jacob menilai pengumuman temuan fosil itu dinilai tidak etis karena dilakukan di Australia dan tanpa melibatkan peneliti Indonesia. Ada kesan peneliti Australia juga telah memaksakan pendapatnya dengan menyebut temuan itu sebagai fosil manusia dengan ras khusus (homo florensiesis). "Mereka telah melakukan 'terorisme' ilmiah karena telah memaksakan gagasannya. Kita tidak boleh tunduk kepada mereka," tandas Jacob. (nrl)

Baca juga:
  Fosil Manusia Purba Berukuran Mini Ditemukan di Flores


--------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------



Kirim email ke