Bisnis Indonesia (Bisnis.com)

Artikel #1

Rabu, 23/02/2005 11:52 WIB
Revisi Desain Proyek Seret Total ke Perkara Pailit 
Oleh : Suwantin Oemar 

Di kalangan industri perminyakan, nama Total E&P Indonesie sudah tidak
asing lagi. Dia adalah salah satu kontraktor bagi hasil migas terbesar
saat ini di Indonesia.

Total E&P Indonesie (Total) tercatat sebagai produsen gas terbesar di
Indonesia dan memasok sekitar 60% dari kebutuhan kilang LNG Bontang.
Pada 2002, perusahaan ini rata-rata memproduksi minyak mentah 79.800
barel per hari. Sementara total produksi gas mencapai 835,03 miliar
kaki kubik.

KPS (Kontraktor Production Sharing) yang digarap Total E&P Indonesie
memproduksi minyak dari lapangan Bekapai dan Handil yang berlokasi di
Delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Cadangan gas terbaru ditemukan
oleh perusahaan itu awal 1990-an di Tunu dan Peciko.

Namun belakangan ini perusahaan asal Prancis itu dirundung masalah.
Problem yang mereka hadapi bukanlah merosotnya produksi gas atau
tenaga kerja, melainkan kasus hukum.

Dua kontraktornya, yang sudah lama menjalin kerja sama dalam
mengerjakan proyek platform dan offsites di Kalimantan Timur,
tiba-tiba mengajukan permohonan penetapan pailit terhadap perusahaan
tersebut. Dalihnya, Total dinilai tidak mampu memenuhi kewajiban
membayar utang jatuh tempo dan dapat ditagih sebesar US$7,17 juta.

Permohonan pernyataan pailit diajukan dua perusahaan yaitu PT Istana
Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya melalui kuasa hukumnya O.C
Kaligis dari kantor hukum Otto Cornelis Kaligis & Associates.

Kasus, yang mendapat sorotan kalangan industri perminyakan itu, kini
memasuki tahap pembuktian di Pengadilan Niaga Jakarta. Keputusannya
konon baru akan diambil bulan depan.



Ihwal Kasus.

Perkara bermula ketika PT Sanggar Kaltim Jaya menandatangani kontrak
No. TP 8/EPSC 2 dengan Total E&P Indonesie pada 16 November 2000 untuk
proyek pengerjaan konstruksi NMP2 platform dan offsites.

Dalam lampiran J dan K kontrak change order instruction pada 27
Februari 2001, dengan jelas menunjukkan pemisahan jangkauan kerja
antara PT Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya dan mewajibkan
Total E&P Indonesie melakukan pembayaran secara terpisah.

Sesuai dengan kontrak itu, Total E&P Indonesie mempunyai hubungan
hukum dengan PT Sanggar Kaltim Jaya, sementara PT Sanggar Kaltim Jaya
itu sendiri diketahui bekerja sama dengan PT Istana Karang Laut.

Menurut Kaligis, dalam dokumen gugatannya, disebutkan bahwa hubungan
hukum antara PT Istana Karang Laut dan Total E&P Indonesie dimulai
saat perusahaan migas itu mengubah sekitar 80% desain proyek.

Perubahan desain pengerjaan proyek platform and offsites tersebut,
menurut praktisi hukum kondang itu, berdampak kepada perpanjangan
penyelesaiaan pekerjaan dan biayanya membengkak.

Pada Februari dan Maret PT Istana Karang Laut dan PT Sangar Kaltim
Jaya, menurut dia, mengajukan tagihan pembayaran US$18,092 juta kepada
Total E&P Indonesie. Tagihan sebesar itu berdasarkan pembengkakan
biaya akibat perubahan desain platform.

Namun Total menolak permintaan tersebut dengan alasan prosedural dan
tidak pernah ada technical clarification meeting sejak Februari 2003.
Penolakan pembayaran itu tercantum dalam surat 11 April 2003.

Setelah gagal mendapatkan tagihan dari Total, perusahaan kontraktor
itu menyampaikan permasalahan tersebut kepada BP Migas. Lalu mereka
sepakat menyetujui BP Migas sebagai mediator untuk menyelesaikan
masalah tagihan itu.

BP Migas kemudian mengusulkan agar klaim dua kontraktor itu diaudit
oleh BPKP sebagai auditor independen, sehingga dapat diketahui sejauh
mana klaim itu dapat dibayar oleh Total E&P Indonesie.

Total, menurut Kaligis, menyetujui penunjukan auditor independen itu
dan dia berjanji akan menaati hasil audit BPKP. Setelah diaudit, BPKP
menyatakan Total E&P Indonesie harus membayar US$7,17 juta dengan
rincian untuk PT Istana Karang Laut sekitar US$3,17 juta dan PT
Sanggar Kaltim Jaya sekitar US$3,9 juta.

Hasil audit BPKP itu lalu disampaikan kepada Total E&P Indonesie
melalui surat pada 9 Maret 2004. Surat itu antara lain berisi
instruksi kepada Total supaya membayar klaim kepada masing-masing
kontraktor sesuai audit BPKP.

Namun, menurut Kaligis, Total E&P Indonesie menolak merealisasikan
hasil audit BPKP tersebut walaupun sudah ada perintah membayar dari BP
Migas.

Penolakan pembayaran klaim itu menimbulkan kekecewaan terhadap PT
Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya, sehingga mereka
terpaksa menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan kasus itu.



Ajukan Sita Jaminan.

Guna menjamin tuntutan akan pembayaran klaim sebesar US$7,17 juta, PT
Istana Karang Laut dan PT Sangar Kaltim Jaya mengajukan permohonan
peletakan sita jaminan terhadap harta benda Total E&P Indonesia.

Tujuan peletakan sita jaminan tersebut antara lain supaya Total E&P
Indonesie tidak mengalihkan harta bendanya kepada pihak ketiga serta
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang akan menimbulkan
kerugian lebih banyak lagi kepada PT Istana Karang Laut dan PT Sanggar
Kaltim Jaya.

Peletakan sita jaminan itu memang dibolehkan oleh undang-undang
seperti tercantum dalam Pasal 10 ayat 1 UU No.37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Adapun harta benda Total E&P Indonesie yang dimohonkan peletakan sita
jaminan adalah.

Pertama, proyek Tunu Phase 8 di Kaltim. Kedua, gedung operasional
Total E&P Indonesie di Balikpapan. Ketiga, fasilitas process on-shore
di Senipah. Keempat, fasilitas off-shore di Bekapai, Tambora, Tunu,
Peciko, Sisi/Nubi.

Kelima, kantor perwakilan Total E&P Indonesie di Kuningan Plaza.
Keenam, aset/piutang dagang atas pembayaran gas dari pembeli LNG dari
Jepang, Korsel dan Taiwan.


Artikel #2

"Gugatan Pailit itu Salah Pihak"
â Suwantin Oemar 

Permohonan penetapan pailit yang dialamatkan kepada Total E&P
Indonesie tampaknya tidak membuat perusahaan asal Prancis itu gentar
menghadapinya. Bahkan kuasa hukumnya sudah menyiapkan jurus-jurus
hukum untuk mematahkan semua dalil yang diutarakan oleh kuasa hukum PT
Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya. Bagi Total, nilai
tuntutan dua kontraktornya itu mungkin tidak terlalu besar. Tapi letak
masalahnya bukan di situ. Perusahaan Prancis itu lebih
mempermasalahkan kepastian Ada tidaknya tagihan. Antara Total E&P
Indonesie dan mitranya PT Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim
Jaya masih ada perbedaaan soal ada atau tidaknya tagihan.

Menurut Todung Mulya Lubis, kuasa hukum Total E&P Indonesie,
Pengadilan Niaga Jakarta tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
menyelesaikan permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh dua
kontraktor itu karena utang yang menjadi dasar permohonan tidak
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan. Total E&P Indonesie,
katanya, tidak pernah mengakui dan menolak tagihan yang diajukan oleh
pemohon berkaitan dengan pembengkakan biaya akibat perubahan desain
platform dan offsites. Dalam kontrak Tunu Phase 8/EPSC-2, yang diteken
pada 30 November 2000, kata Mulya, ditentukan dengan jelas bila
terjadi sengketa, maka para pihak akan berusaha menyelesaikannya
secara damai, namun bila perdamaian tidak tercapai, para pihak sepakat
membawa kasus itu ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

"Hingga sekarang PT Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya tidak pernah 
membawa persoalan itu ke BANI. Mestinya sengketa mengenai ada atau
tidak adanya utang itu harus diputus oleh BANI lebih dahulu," katanya.
Hasil audit BPKP yang mengharuskan Total E&P Indonesie membayar
tagihan perusahaan kontraktor itu, menurut praktisi kondang dari law
offices Lubis, Santosa & Maulana tersebut, tidak bisa dijadikan alasan
bahwa perusahaan Prancis itu memiliki utang yang jatuh tempo dan dapat
ditagih.

"BPKP bukanlah otoritas atau lembaga yang berwenang untuk menentukan
ada atau tidak adanya utang sehubungan dengan persengketaan antara
Total E&P Indonesie dan PT Istana Karang Laut serta PT Sanggar Kaltim
Jaya, sehingga permasalaha itu belum definitif," katanya. Mulya
mengemukakan permasalahan ada atau tidaknya utang itu tersebut sangat
penting karena merupakan dasar untuk mengajukan permohonan pailit.

"PT Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya bukanlah kreditor
dan Total E&P Indonesie tidak memiliki utang yang jatuh tempo dan
dapat ditagih," tambahnya. Kurang pihak Selain itu, kuasa hukum Total
juga menyoroti permohonan pernyataan pailit kurang pihak karena tidak
mengikutsertakan Indonesia Petroleum Co. Ltd. (Inpex) selaku anggota
konsorsium. Dalam kontrak sudah disebutkan bahwa pihak pertama adalah
sebuah konsorsium yang terdiri dari Indonesia Petroleum Co. Ltd
(Inpex) dan Total E&P Indonesie, sehingga permohonan pailit yang
diajukan oleh PT Istana Karang Laut dan PT Sanggar Kaltim Jaya
haruslah ditujukan kepada konsorsium, bukan kepada Total E&P
Indonesie.

Total, menurut praktisi hukum itu, hanya berperan sebagai operator
untuk dan atas nama konsorsium. "Oleh karena itulah permohonan
pernyataan penetapan pailit yang diajukan oleh kontraktor salah pihak,
mestinya ditujukan kepada konsorsium," tegasnya.

Fredrik J. Pinakunary, yang juga kuasa hukum Total E&P Indonesie,
meminta kepada Pengadilan Niaga Jakarta menolak permohonan sita
jaminan atas aset Total E & P Indonesie berkaitan permohonan pailit
yang diajukan oleh dua kontraktor perusahaan minyak itu. "Aset atau
harta kekayaan yang dimohonkan penetapan sita jaminan itu bukan milik
Total, melainkan milik negara. Sedangkan gedung operasional di kawasan
Kuningan itu milik pihak ketiga," kata Fredrik, praktisi dari law
offices Lubis, Santosa & Maulana.

Menurut dia, kliennya bukanlah pemilik harta kekayaan itu, sehingga
tidak mungkin mengalihkan, memindahkan atau menjualnya kepada pihak
ketiga. Biasanya, alasan peletakan sita jaminan adalah termohon
pailit, dalam hal ini Total E&P Indonesie, akan mengalihkan atau
menggelapkan barang serta memindahkan harta tersebut kepada pihak
ketiga. "Unsur-unsur permohonan peletakan sita jaminan itu tidak
terpenuhi. Tak ada niat dari Total E&P Indonesie untuk mengalihkan
proyek itu kepada pihak lain. Untuk itulah kami meminta kepada
pengadilan niaga supaya menolak permohonan peletakan sita jaminan
itu," katanya.
 
Total, menurut dia, bukanlah pemilik barang sebagaimana disebutkan
dalam permohonan peletakan sita jaminana itu. "Proyek Tunu di Kaltim
dan fasilitas proses di off-shore dan onshore itu adalah kekayaan
negara yang dikelola oleh BP Migas, sedangkan gedung kantor perwakilan
Total di Indonesia adalah milik pihak ketiga. Klien kami hanya menyewa
di Kuningan, Plaza," tambahnya. Yang lebih penting lagi, ujarnya,
berdasarkan Pasal 50 UU No1/2004 tentang Perbendaharaan Negara,
terdapat larangan mengenai penyitaan terhadap kekayaan milik negara.
"Sebagian harta kekayaan atau aset itu adalah milik negara yang
dikelola oleh BP Migas," ujarnya.

Negara Rugi. 
Mulya Lubis menambahkan negara akan mengalami kerugian jika permohonan
pernyataan pailit dikabulkan pengadilan. Total adalah salah satu
produsen gas terbesar di Indonesia dengan perkiraan produksi 630.000
barel per hari. Dengan hasil produksi tersebut, Total telah
menghasilkan sekitar US$30 miliar per tahun atau 35% dari pendapatan
bersih negara yang diperoleh sektor migas atau 12% dari keseluruhan
pendapatan negara.

Dengan pendapatan yang sebesar itu, menurut Mulya, bila permohonan
pailit itu dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta, negara akan menderita
kerugian yang cukup besar. Kerugian itu, tambahnya, belum lagi
termasuk potensi kemungkinan kerugian lain yang terjadi seperti
berkurangnya secara drastis penjualan LNG serta potensi larinya
pembeli. Selain itu, tambahnya, dampak dari dikabulkan putusan pailit
adalah hengkangnya produsen LNG karena mereka enggan terikat kontrak
bagi hasil dengan pemerintah c.q BP Migas untuk menghasilkan LNG
mengingat rentannya status mereka untuk dapat dipailitkan di
Indonesia.

Perseteruan itu mengingatkan orang kembali kepada perkara Manulife.
Putusan Pengadilan Niaga yang pernah mempailitkan PT Asuransi Jiwa
Manulife Indonesia atas permohonan PT Dharmala Sakti Sejahtera (DSS)
beberapa waktu lalu sempat menghebohkan dan mendapat sorotan luas.
 
Tapi, akhirnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung menganulir putusan
pengadilan niaga yang mempailitkan perusahaan asing, yang sangat
terkenal itu. Akankah kasus Total E&P Indonesie berakhir seperti
perkara Manulife? Para pengacara kedua belah pihak yang berperkara
boleh-boleh saja mengajukan argumen dan fakta-fakta hukum ke muka
persidangan. Tapi, akhirnya hakimlah yang menentukan argumen yang
lebih dapat meyakinkan dalam membuat keputusan.



Artikel #3
Detail Berita
 
Kamis, 24/02/2005  
PEMBACA MENULIS  
   
Soal kontrak Total Indonesie 
Merujuk pada artikel Bisnis Indonesia 23 Februari 2005 yang berjudul
"Gugatan Pailit itu salah pihak", perlu kiranya kami melakukan koreksi
sebagai berikut.

Paragraf kedua: "Bagi Total E&P Indonesie nilai tuntutan dua
kontraktornya itu mungkin tidak terlalu besar". Paragraf ketiga:
"Antara Total E&P Indonesie dan mitranya PT Istana Karang Laut dan PT
Sanggar Kaltim Jaya masih ada perbedaan soal ada tidaknya tagihan".

Paragraf keempat: "......permohonan pernyataan pailit yang diajukan
oleh dua kontraktor itu karena utang yang menjadi dasar permohonan
dst....."

Berdasarkan hal di atas perlu kami tegaskan bahwa Total E&P Indonesie
hanya memiliki kontrak dengan PT Sanggar Kaltim Jaya yaitu berdasarkan
Kontrak No.TP8 yang terdiri dari EPSC 2 dan EPSC 5.

Sedangkan dengan PT Istana Karang Laut sebagai sub kontraktor Total
E&P Indonesie tidak memiliki hubungan kontrak apapun.

Jadi yang menjadi kontraktor Total E&P Indonesie hanya PT Sanggar
Kaltim Jaya, oleh karena itu kami berpendapat permohonan pailit yang
saat ini diajukan oleh PT Sanggar Kaltim Jaya dan Istana Karang Laut
tidak memenuhi persyaratan kepailitan karena PT Istana Karang Laut
bukan kreditur dari Total E&P Indonesie sedangkan permohonan
kepailitan hanya dapat diajukan terhadap debitur yang mempunyai 2
(dua) atau lebih kreditur.

TODUNG MULYA LUBIS
Kuasa Total E&P Indonesie/Termohon

---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke