Kejutan (MW+BP+KP)K

Oleh Teten Masduki

MENGEJUTKAN! Itulah perasaan saya, atau mungkin yang lainnya juga, begitu
mendengar berita Jumat (8/4) malam lalu Mulyana W Kusumah ditangkap oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di kamar 609 Hotel Ibis, Slipi,
Jakarta.

Seperti dalam sebuah film spy produk Hollywood, anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU) itu dengan mudah masuk ke dalam bubu KPK, sesuai dengan desain
skenario bersama Badan Pengawas Keuangan (BPK) sebulan lalu.

Dalam adegan tersebut, Mulyana (MWK) petang itu memenuhi janjinya menemui
petugas BPK yang sudah menunggunya di kamar hotel dan seketika petugas KPK
lengkap dengan surat penangkapannya mencokok MWK. Barang bukti yang
ditemukan, berupa uang sebesar Rp 50 juta dan dua lembar cek perjalanan
senilai Rp 100 juta, menjadi alasan yang cukup untuk menahannya di Rutan
Salemba.

Katanya, BPK telah lama mengendus adanya dugaan korupsi dalam pengadaan
barang di KPU dalam pemilu legislatif dan presiden tahun lalu, yang
menghabiskan anggaran Rp 3,5 triliun. Dan BPK meneruskannya ke audit
investigasi. Hampir semua anggota KPU terlibat dalam pengadaan barang.
Antara lain, MWK menjadi penanggung jawab pengadaan kotak suara (Rp 361,5
miliar) dan bilik suara (Rp 220 miliar). Chusnul Mar'iyah dalam pengadaan
surat suara (Rp 247,256 miliar), kertas kraft (Rp 4,124 miliar), dan
teknologi informasi (TI) (Rp 295,332 miliar). Hamid Awaludin dalam
pengadaan kartu pemilih (Rp 70 miliar). Ramlan Surbakti untuk validasi
surat suara (Rp 18 miliar).

Mengejutkan! Karena MWK dikenal orang kebanyakan sebagai seorang
kriminolog, dosen UI, dan aktivis perjuangan demokrasi dan HAM yang cukup
gigih melawan pemerintahan otoriter Soeharto. Kariernya tumbuh dan
berkembang di dalam lingkungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI). Bahkan pernah memimpin dewan eksekutif lembaga tersebut,
mendirikan dan memimpin Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan
akhirnya terpilih oleh DPR menjadi anggota KPU. Ketika di YLBHI, sangat
dekat dan mengayomi aktivis mahasiswa. Bersama Hendardi dan Luhut
Pangaribuan ia juga mendirikan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI)
seusai "konflik" dengan kubu Adnan Buyung Nasution dan Bambang Widjoyanto.
Dan bersama almarhum Munir mendirikan Kontras.

Para aktivis sering diidealisasikan dan diidolakan oleh mereka yang tidak
puas dengan perilaku penguasa yang kotor dan sewenang-wenang. Ketika
terjadi perubahan politik sejak jatuhnya Soeharto, setidaknya ada 11
lembaga/komisi baru yang dibentuk di Jakarta atau di daerah diisi oleh para
aktivis. Sejumlah kalangan aktivis juga memasuki dunia partai politik dan
menjadi anggota DPR. Mereka mendapat tempat di wilayah publik karena
sejarah perjuangannya bagi kepentingan umum dan realitas ketidakpercayaan
masyarakat terhadap penguasa.

PERISTIWA penangkapan figur MWK bisa berimplikasi dan dikapitalisasi bahwa
kalangan aktivis tidaklah seideal yang diharapkan. Pesimisme masyarakat
terhadap kalangan aktivis dan LSM, yang sudah mulai muncul sejak banyak
kalangan aktivis di DPR dan lembaga-lembaga publik lainnya, tidak membawa
perubahan, bahkan menjadi masalah, bisa- bisa bergeser ke arah sinisme.
Korupsi hanya masalah kesempatan. Saya sendiri menerima banyak SMS yang
bernada sinis dan mengutuk aktivis. Semakin sulit kerja aktivis karena
kekuatannya telah semakin menipis, yaitu kepercayaan masyarakat.

Tidak hanya itu, ini juga bisa dikapitalisasi untuk mendelegitimasi
keberadaan state auxialary body hasil reformasi. Citra KPU yang independen,
terbuka, dan bersih kini mengarah bopeng dan kotor laksana Lembaga
Pemilihan Umum di bawah Mendagri yang digantikannya. Keinginan Depdagri
untuk mengambil alih pelaksanaan pemilu, seperti telah berhasil dalam
pemilihan kepala daerah dan dibenarkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi,
menjadi punya alasan pembenar. Orang bisa tidak peduli dan lupa pada masa
Orde Baru, kemenangan Golkar dan Soeharto sudah diperoleh sebelum pemilu
usai.

Mengejutkan! Seorang (yang diduga) penyuap pejabat masuk bubu. Ini nyaris
tak pernah ada riwayatnya dalam penegakan hukum di Tanah Air. Periode
keemasan penegakan hukum antara tahun 1950-1959 sepertinya akan terulang.
Saat itu, di bawah tiga pendekar hukum kebal suap, yang dipimpin Jaksa
Agung Mr Soeprapto, Kepala Kepolisian Negara Said Soekanto, dan Ketua
Mahkamah Agung Wirjono Projodikoro, tak ada penjahat atau koruptor yang
lolos dari jerat hukum. Entah itu seorang menteri senior yang dekat dengan
Presiden Soekarno, pemimpin partai politik, perwira berpengaruh, atau
pengusaha kroni penguasa, semua diperlakukan sama: ditahan dan dihukum.
Sekecil apa pun kejahatannya atau nilai uang yang dikorupsinya.

Biasanya kasus-kasus penyuapan atau transactive corruption sulit dibongkar
karena menguntungkan dan membahayakan penyuap dan yang disuapnya. Juga
tidak meninggalkan jejak karena tidak pernah ada suap-menyuap yang
menggunakan kuitansi. Ini kemajuan strategi investigasi korupsi: ada
koordinasi antara BPK dan KPK dan menggunakan teknologi penyadapan modern.
Walaupun Ketua BPK Anwar Nasution membantah tak pernah ada perintah kerja
sama dalam penangkapan MWK. Masih dibutuhkan waktu untuk melacak asal-usul
uang suap yang dibawa MWK, apakah dikumpulkan dari orang-orang KPU ataukah
memang seluruhnya milik MWK.

Biasanya laporan korupsi hasil investigasi BPK tidak pernah digubris.
Pemerintah tidak pernah menindaklanjuti laporan BPK untuk mereformasi
sistem yang rentan terhadap penyimpangan. Laporan BPK lama disusul laporan
baru, angka penyimpangan anggaran terus berulang dan semakin besar. Aparat
penegak hukum tidak pernah menyeret pelakunya, bahkan acap kali menilai
laporan BPK belum memenuhi delik korupsi. Misalnya dalam kasus BLBI, sampai
sekarang sekitar Rp 600 triliun yang dinikmati konglomerat busuk cuma
beberapa kasus yang dibawa ke pengadilan. Tersangka BLBI tak pernah
ditahan, bahkan diberi izin "berobat" ke luar negeri, akhirnya 12 orang
melarikan diri dan tak pernah ada usaha serius untuk mencarinya.

Tahun 2004 lalu ada 43 kasus korupsi besar yang dihentikan dan biasanya tak
pernah dibuka kembali. KPK sendiri sejak didirikan hampir dua tahun lalu
belum banyak berbuat. Baru ada dua kasus yang mengemuka, salah satunya
kasus Abdullah Puteh dijatuhi hukuman 10 tahun penjara Senin (11/4)
kemarin.

KPK mulai menggunakan taringnya. Korupi adalah kejahatan luar biasa.
Cara-cara luar biasa dalam pemberantasan korupsi sudah lama dinantikan
masyarakat. Apalagi korupsi di Tanah Air memiliki rezim yang kokoh,
jejaringnya ke mana-mana dari hulu ke hilir, dari pusat ke daerah, dan
punya kekuasaan untuk mematikan semua sistem antikorupsi yang dibangun.
Tunggu apa lagi, semua instrumen antikorupsi yang ada di negara-negara yang
sukses membasmi korupsi telah ada di sini.

TENTU saja banyak harapan KPK tidak berhenti hanya pada dugaan percobaan
suap oleh MWK. Bila berhenti sampai di sini, layak dicurigai ada upaya
untuk meminimalisasi kasus korupsi di KPU dan sekadar MWK tumbalnya. KPK
harus berhasil membongkar semua indikasi korupsi dalam pengadaan fasilitas
pemilu di KPU. Tidak ada alasan bagi MWK pasang badan untuk melindungi
institusi. Dan KPK semestinya menjadikan MWK sebagai wistleblower untuk
menguak pelaku lainnya. Memang undang-undang perlindungan saksi belum
tersedia. Namun, KPK bisa membuat diskresi untuk itu.

Hal itu bisa memberikan jawaban rasional mengapa KPK mulai dari MWK dengan
dugaan percobaan suapnya. Tentu tidak sekadar mencari perhatian dan
membangun citra tertentu. Mengapa tidak dimulai dari hasil temuan KPU
sendiri? Pertanyaan itu sangat menggoda. Kendati KPK bisa berdalih, pilihan
strategi itu kewenangan absolut KPK.

Disebutkan indikasi penyimpangan anggaran di KPU sudah cukup kuat dan akan
ada ledakan yang lebih besar. Apa itu? Sejumlah LSM juga pernah melaporkan
indikasi korupsi ke KPK dan dilaporkan balik oleh KPU ke kepolisian dengan
tuduhan pencemaran nama baik. Semua menjadi tidak sabar ingin menyaksikan
skenario mengejutkan KPK berikutnya. Apakah itu ada hubungannya dengan data
korupsi di BUMN dan kelembagaan pemerintah yang sudah dimiliki Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, seperti disampaikannya kepada media dalam
perjalanan kenegaraan ke Australia baru-baru ini?

Tidak ada alasan umum untuk mengkhawatirkan langkah KPK ini, sejauh murni
membasmi korupsi. KPU mungkin legitimasi moralnya sedikit terganggu.
Aktivis dan LSM bisa tercoreng idealismenya. Namun, kearifan akan
mengatakan bahwa korupsi bisa ada di mana-mana dan menghinggapi siapa saja
yang tidak kuat terhadap rayuannya. LSM bukan sesuatu yang sakral dan tidak
kebal penyimpangan, selama sistem akuntabilitas dan personalnya rentan
terhadap itu. Korupsi seperti virus pemicu sakit, akan selalu ada dan kebal
terhadap antiviral lama. Penyakit tidak pernah bisa dihilangkan sama
sekali, hanya harus terus dicari vaksin atau obatnya.

Teten Masduki Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Pernah
Menjadi Bawahan MWK di YLBHI



---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED]
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL 
PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke