On 9/28/05, [EMAIL PROTECTED] <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > > Vicky > > Mengapa harus heran ? Itu wajar , karena keluar dari ekonoom yang > berfikir secara liberalisme tulen. > Jadi karena sokogurunya liberalisme itu adalah "KAPITALISME" maka > apa yang akan menggangu kapitalis (entah asing atau domestik) akan > serta merta dianggap tabu dan dosa . > > Si Abah >
Abah, Ternyata dalam teori ekonomi pemikiran saya ini termasuk dalam Mazhab Ekonomi Klasik. Dimana tangan-tangan penguasa bisa menstabilkan transaksi dengan 'subsidi'. Uraian ringkas temen saya dibawah sangat membantu mengenal ilmu transaksi (ilmu ekonomi). RDP --- In [EMAIL PROTECTED], Fahmi Wibawa <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Teman RDP yang prihatin (sebagaimana kita semua), Memang benar subsidi merupakan salah satu kata kunci dalam teori ekonomi. Ijinkan saya sedikit memberi gambaran tentang posisinya di belantara ilmu ekonomi (dari yang saya ketahui tentunya). Dalam ekonomi dikenal 2 mazhab yaitu ekonomi klasik, pengikutnya biasa disebut dengan neo-klasik dan ekonomi keynes (disesuaikan dengan penemunya Jhon Keynes) dan pengikutnya neo-keynes. Dua2 nya menganggap bahwa mekanisme pasar memang jalan yang paling manjur untuk menyelesaikan masalah transaksi, hanya klasik menganggap ada tangan ajaib kalau ada ketidakstabilan menuju pasar yang stabil kembali, sementara keynes membutuhkan pihak lain (terutama pemerintah) untuk mempercepat stabilisasi. Apa yang diuraikan RDP cenderung aliran klasik. Karena dalam prspektif neo-keynes, subsidi sudah lama ada dalam, istilah mas RDP rumus ekonomi, untuk mempercepat/ menstabilkan mekanisme pasar. Ibarat pisau, mau dipakai untuk memasak atau membunuh tergantung si pemakainya. Sebagian besar negara termasuk "barat" tidak pernah secara jelas dan konsisten memakai aliran tersebut, tapi disesuaikan dengan "kebutuhan" dan yang menguntungkan negara mereka. Tengok saja salah satu penyebab hasil WTO mandeg, karena barat memaksa memberi proteksi (dengan mensubsidi petaninya) atas komoditas pertaniannya, sementara mereka memaksa diluar mereka untuk membuka pasarnya termasuk industri dan migasnya (BBM). Hipokrit banget kan mereka.... Untuk kasus BBM kita, tulisan mas Soni di republika hari ini sangat pas untuk menggambarkan fenomena ini. Bagi saya, BBM memang suatu saat (bukan sekarang) perlu dikurangi subsidinya supaya memiliki competitiveness. Namun, prioritas pemerintah harusnya selesaikan dulu secara tuntas rekapitulasi perbankan lewat BLBI, BPPN (yang mengelola aset negara sekitar 570 Triliun (perhitungan 1999), "hanya" mengembalikan ke negara 160 T saat dibubarkan), dana rebosiasi dan lahan gambut sejuta hektar,program2 kemiskinan yang salah sasaran, dsb. Ibarat mau makan, cuci dulu dong piringnya hasil makan yang lalu sebelum makan lagi karena piringnya sedikit. Bukanya meminjam atau malah mencuri piring "anaknya sendiri". Demikian, menunggu diskusi yang lain Wassalam, Fahmi -----Original Message----- --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina (Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id) Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id) ---------------------------------------------------------------------