Saya masih menyimpan tanggapan seniman Sardono W.Kusumo tentang maraknya pembakaran buku di republik ini, ucapannya dikutip dibawah (dalam Detik.com 10 Mei 2001 ): Sedangkan untuk buku-buku karya sastra, menurut Sardono, tidak gampang menilai mana buku yang bermuatan komunis atau tidak. Hal tersebut karena karya sastra mengandung multi-interpretasi dan paradok-paradok yang dalam pemahamannya tergantung dari referensi pikir setiap pembaca.
"Kita tidak bisa berpikir secara hitam putih untuk sebuah karya sastra. Misalnya, apakah setiap karya Pramoedya (Ananta Toer) bermuatan faham komunis. Nilai-nilai luhur kemanusiaan serta paradoks nilai dan pemikiran banyak terkandung dalam karya-karya Pram," tandas budayawan yang juga koreografer handal tersebut. "Karya-karya besar Pram adalah karya yang mengandung muatan humanisme dan paradoks nilai tersebut, bukan karya-karya yang berbau slogan," kata Sardono. Jadi, menurutnya, sangat tidak demokratis kalau menghakimi secara hitam putih untuk sebuah karya seni.(tis) Saya kira, setiap tulisan selalu mempunyai sisi subjectif penulisnya, dan para pembaca bebas menarik makna yang hendak diminatinya. Kalau dunia ini hanya berisi tulisan (yang notabene adalah pengejawantahan pikiran penulisnya) yang serupa, alangkah monoton nya hidup kita. Perbedaan pandangan adalah anugerah yang selayaknya dirayakan. bat -----Original Message----- From: Awang Satyana <[EMAIL PROTECTED]> To: iagi-net@iagi.or.id, [EMAIL PROTECTED] Date: Sun, 30 Oct 2005 17:49:10 -0800 (PST) Subject: [iagi-net-l] Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (Pramoedya Toer, Oktober 2005) > Di usianya yang ke-80 tahun, Pramoedya Ananta Toer - penulis Indonesia > terkenal, yang sepanjang hidupnya punya pengalaman getir tidur di > penjara2 atau daerah2 pembuangan Indonesia - masih menghasilkan buku. > > Karena dia menekuni sejarah, yang ditulisnya kali ini tak jauh dari > keahliannya itu. Kali ini, bukunya tipis, 147 halaman (Pramoedya juga > penulis roman/novel sejarah paling tebal "Arus Balik" yang tebalnya 700 > halaman lebih), berjudul "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels". Buku ini > baru saja terbit, Oktober 2005, oleh Lentera Dipantara, Utan Kayu, > Jakarta Timur. > > Pramoedya menguraikan sejarah kota-kota dan daerah-daerah yang dilalui > Jalan Daendels itu yang terbentang 1000 km di sepanjang Pulau Jawa dari > ujung barat di Anyer sampai ujung timur di Panarukan. Kalau Pramoedya > pernah singgah di kota itu, maka diceritakan pula kisah ketika ia > mengembara di wilayah itu - setengah autobiografi. > > Yang dilihat Pramoedya dalam pembuatan jalan itu (tepatnya pelebaran > dan pembatuan jalan yang sudah ada) adalah genocide - "pembunuhan" > massal karena ribuan rakyat tewas akibat kerja paksa perintah tangan > besi Herman Willem Daendels, juga korupsi kaum kolonial dan pribumi. > > Menggunakan referensi cukup berbobot dan wawancara yang cukup akurat > membuat buku kecil ini punya makna cukup besar. Paling tidak membuat > kita tahu peristiwa2 sejarah kota2 besar di Jawa dan peristiwa2 di > balik pembuatan jalan itu yang tak kita dapatkan dari buku2 pelajaran > sejarah. > > Mengapa Pramoedya kuat menulis ? Untuk bertahan dari vandalisasi > penjara. Penjara tak membuatnya berhenti sejengkal pun untuk menulis. > Menulis adalah tugas nasional, katanya. Maka, 40 buku pun sudah > ditulisnya, diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa asing. Sampai > kini, ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali > masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. > > Bahasanya lugas dan tak jarang keras, mungkin dilatarbelakangi > nynyirnya penjara. Inilah kata-kata mutiara di bukunya yang terbaru > ini, "Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak > bagi bangsa-bangsa lain" > > Yang mau mudik Lebaran via pantura Jawa sampai Panarukan sana, mungkin > buku ini bisa sedikit membagi pengetahuan sejarahnya he..he.. > > salam, > awang > > > --------------------------------- > Yahoo! FareChase - Search multiple travel sites in one click.