Wakh saya saluut pada pak Awang, yang bukan saja mampu menelorkan tulisan2
yang secara ilmiah cukup berbobot, tapi juga seorang pemerhati folkore yang
memang sering membuat tanda tanya, gerangan apa yang tersirat darinya,
karena memang nampaknya banyak cerita rakyat yang latar belakangnya adalah
peristiwa alam, yang tentunya pada kala itu sangat sulit diterangkan oleh
akal, maka disusunlah suatu legenda ……………sekali lagi  saluut pak !!!!

 

   _____  

From: Awang Harun Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, March 20, 2007 11:59 AM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: [iagi-net-l] Pararaton 1296 Caka : Bencana "Pagunung Anyar" dan
Sandyakala ning Majapahit

 

Judul di atas maksudnya adalah menurut Kitab Pararaton yang diterjemahkan
Brandes (1896), bahwa pada tahun 1296 Caka atau 1374 Masehi telah terjadi
sebuah bencana bernama “Pagunung Anyar” yang memundurkan Majapahit, kerajaan
Nusantara terbesar. Apakah bencana Pagunung Anyar ? Saya menafsirkannya,
itu adalah erupsi gununglumpur ala semburan LUSI (!)

 

 Di bawah ini adalah catatan2 saya setelah mempelajari buku2 sejarah,
geologi, dan folklore yang berselang lebih dari 100 tahun penerbitannya.
Dimulai dari Daldjoeni (1984, 1992) “Geografi Kesejarahan”, lalu bersambung
ke depan dan ke belakang menuju Purwadi (2001) “Babad Tanah Jawi :
Menelusuri Jejak Konflik”, Slamet Muljana (1968, 2005) “Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana
(1965, 2005) “Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan Majapahit)”, Denys
Lombard (1990) “Le Carrefour Javanais”, James Nash (1932), “Enige voorlopige
opmerkingen omtrent de hydrogeologie der Brantas vlakte - Handelingen van
6de Ned. Indische Natuur Wetenschappelijke Congres”,  H.J. de Graaf (1949)
“de Geschiedenis van Indonesie”, J. Brandes (1896) “Pararaton (Ken Arok) of
het Boek der Koningen van Tumapel en van Majapahit”, buku2 geologi karya
Duyfjes (1936-1938) untuk pemetaan wilayah Kendeng bagian timur (“Zur
geologie und stratigraphie des Kendenggebietes zwischen Trinil und
Soerabaja” dan “Toelichting bij blad 115,109, 110, 116), juga karya
masterpiece van Bemmelen (1949, 1972) “The Geology of Indonesia”, dan buku
folklore karya James Danandjaja (1984) “ Folklor Indonesia : Ilmu gossip,
dongeng, dan lain2”

 

Maksud hati ingin menelusuri tulisan2 sejarah tentang kronik kejadian Bledug
Kuwu di selatan Purwodadi agar bisa mencari analogi untuk kronik semburan
LUSI, ternyata penelusuran buku2 di atas malahan membawa saya ke pemikiran
bahwa : selain oleh alasan politik, Majapahit MUNGKIN telah mundur oleh
deformasi Delta Brantas akibat rentetan erupsi gununglumpur
Jombang-Mojokerto-Bangsal pada kawasan sepanjang 25 km. Mari kita lihat
sisik-meliknya. 

 

Kita mulai dari panorama sebuah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk dan
tokoh2 kerajaan sejak Mpu Sindok, Erlangga, dan para pengikutnya : Gunung
Penanggungan. Gunung Penanggungan, sebuah gunung setinggi 1659 meter di
utara Gunung Arjuno-Welirang, adalah gunung paling dekat ke lokasi semburan
LUSI. Gunung ini terletak di sebelah selatan Sungai Porong dan masih ke
sebelah selatan dari Gawir Watukosek, sebuah gawir sesar hasil deformasi
Sesar Watukosek yang juga membelokkan Sungai Porong , melalui titik2
semburan lumpur panas termasuk LUSI, juga melalui gunung2 lumpur di sekitar
Surabaya dan Bangkalan Madura. 

 

Dalam sejarah kerajaan2 Hindu di Jawa Timur, Gunung Penanggungan adalah
sebuah gunung yang penting (Daldjoeni, 1984; Lombard, 1990). Kerajaan2 yang
pernah ada di Jawa Timur, selain berurat nadi Sungai Brantas, kerajaan2 itu
mengelilingi Gunung Penanggungan, misalnya Kahuripan, Jenggala, Daha,
Majapahit, dan Tumapel (Singhasari).  Daerah genangan LUSI sekarang dulunya
adalah wilayah Medang atau Kahuripan dari zaman Sindok dan Erlangga, juga
termasuk ke dalam wilayah Majapahit. Setiap kali ada kekacauan di wilayah
kerajaan2 itu, maka Gunung Penanggungan dijadikan ajang strategi perang.
Erlangga pun pada saat pengungsian dari serangan Worawari  tahun 1016 yang
menewaskan Dharmawangsa mertuanya (Maha Pralaya), bersembunyi di
Penanggungan sambil memandang ke utara menuju lembah Porong dan Brantas
memikirkan bagaimana membangun kerajaannya yang baru.  Penanggungan pun
dijadikan tempat2 untuk memuliakan tokoh-tokoh kerajaan. Di lereng timur
gunung ini di Belahan terdapat makam Erlangga, makam Sindok di Betra, dan
makam ayah Erlangga di Jalatunda. Di Penanggungan pun terdapat ratusan
candi, yang saat ini tidak terawat. Makam2 keramat ini ditemukan penduduk
Penanggungan pada awal abad ke-20 setelah beratus2 tahun terkubur, saat
mereka membakar gelagah yang menutupinya untuk keperluan pembuatan pupuk. 

 

Dari Gunung Penanggungan ke lembah dan delta Brantas pemandangannya permai
dan subur lahannya, sehingga banyak kerajaan didirikan di dataran Brantas.
Menurut Nash (1932) – “hydrogeologie der Brantas vlakte”, Delta Brantas
terbentuk berabad-abad lamanya; dan peranannya penting di dalam percaturan
politik kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Jawa Timur. Kemajuan dan
kemunduran kerajaan2 ini kelihatannya banyak dipengaruhi oleh segala yang
terjadi di Delta Brantas.

 

Menurut penelitian Nash pada tahun 1930, tanah Delta Brantas itu tidak
stabil karena di bawahnya masih terus saja bergerak tujuh jajaran antiklin
sebagai sambungan ujung Pegunungan Kendeng yang mengarah ke Selat Madura.
Misalnya, pernah terjadi kenaikan tanah di sekitar sambungan (muara) Kali
Brantas dengan Kali Mas; palung sungai bergeser ke kiri sehingga airnya
mengalir ke barat. Setelah mengisi ledokan yang dinamai Kedunglidah (di
sebelah barat Surabaya sekarang), kemudian mengalir menuju laut dan bermuara
di dekat Gresik. Menurut catatan sejarah, Kedunglidah itu masih ada pada
tahun 1838. 

 

Denys Lombard, ahli sejarah berkebangsaan Prancis yang menulis tiga volume
tebal buku sejarah Jawa tahun 1990 “Le Carrefour Javanais - Essai d’Histoire
Globale” (sudah diterjemahkan oleh Gramedia sejak 1996 dan cetakan ketiganya
diterbitkan Maret 2005) menulis tentang “Prasasti Kelagyan” zaman Erlangga
bercandra sengkala 959 Caka (1037 M). Kelagyan adalah nama desa Kelagen
sekarang di utara Kali Porong. Prasasti Kelagyan mmenceritakan bahwa pada
suatu hari sungai Brantas yang semula mengalir ke utara tiba-tiba mengalir
ke timur memutuskan hubungan negeri Jenggala dengan laut, merusak tanaman
dan menggenangi rumah2 penduduk. Erlangga bertindak dengan membangun
bendungan besar di Waringin Pitu dan memaksa sungai kembali mengalir ke
utara. Mungkin, inilah yang disebut sebagai bencana “Banyu Pindah” dalam
buku Pararaton. Bencana seperti ini kelihatannya terjadi berulang2, bencana
yang sama dicatat di dalam buku Pararaton terjadi lagi tahun 1256 Caka (1334
M) pada zaman Majapahit. 

 

Sejak zaman Kerajaan Medang abad ke-9 dan 10, Delta Brantas yang dibentuk
dua sungai (Kali Mas dan Kali Porong) diolah dengan baik, muara Brantas
dijadikan pelabuhan untuk perdagangan (Pelabuhan Hujung Galuh). Ibukota
kerajaan didirikan dan dinamakan Kahuripan yang letaknya di dekat desa
Tulangan, utara Kali Porong, di sebelah barat Tanggulangin, di dalam wilayah
Kabupaten Sidoarjo sekarang (sekitar 10 km ke sebelah utara baratlaut dari
lokasi semburan LUSI sekarang). Setelah kerajaan Erlangga pecah menjadi dua
pada abad ke-11, yaitu Panjalu (Kediri) dan Jenggala (Kahuripan), dan
Kahuripan mundur lalu dianeksasi Kediri, pelabuhan dari Brantas ditarik ke
pedalaman di Canggu, dekat Mojokerto sekarang. Kemudian, Kediri digantikan
Singhasari, lalu akhirnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1293 M, pusat
kerajaan kembali mendekati laut di Delta Brantas, sehingga Majapahit menjadi
kerajaan yang menguasai maritim. 

 

Daldjoeni (1984) menulis bahwa mulai mundurnya Majapahit pada akhir tahun
1300-an mungkin bukan hanya karena sepeninggal patih Gajah Mada (1364 M)
atau Raja Hayam Wuruk (1389 M), tetapi juga dapat dihubungkan dengan
mundurnya fungsi delta Brantas yang didahului oleh rentetan bencana
geomorfologis yang dalam buku-buku sejarah tidak pernah ditulis. Namun,
sebagai gejala alami, Kitab Pararaton mencatat hal-hal yang menarik untuk
kita perhatikan. Kitab Pararaton menurut Prof. Slamet Muljana ditulis pada
tahun 1613 M. Kitab Pararaton menceritakan kronik Singhasari sejak Ken Arok
sampai habisnya Kerajaan Majapahit. Pararaton adalah sumber sejarah penting
Majapahit di samping Negara Krtagama karangan Mpu Prapanca (Mpu Prapanca
hidup sezaman dengan Gajah Mada).

 

Dalam hubungan dengan kemunduran Majapahit, kitab Pararaton mencatat
(Brandes, 1896: “Pararaton” terbit lagi tahun 1920 setelah diedit oleh N.J.
Krom) :

 

-         Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut “BANYU PINDAH” (terjadi
tahun 1256 Caka atau 1334 M).

-         Bencana yang dalam kitab Pararaton disebut “PAGUNUNG ANYAR”
(terjadi tahun 1296 Caka atau 1374 M)

 

Secara harafiah, Banyu Pindah=Air Pindah, Pagunung Anyar = Gunung Baru. 

 

Penelitian selanjutnya (Nash, 1932) telah menemukan bukti-bukti bahwa telah
terjadi berbagai deformasi tanah yang pangkalnya adalah bukit-bukit
Tunggorono di sebelah selatan kota Jombang sekarang, kemudian menjalar ke
timurlaut ke Jombatan dan Segunung. Akhirnya gerakan deformasi tersebut
mengenai lokasi pelabuhan Canggu di sekitar Mojokerto sekarang, lalu makin
ke timur menuju Bangsal (sekitar 25 km di sebelah barat lokasi semburan LUSI
sekarang). Di dekat Bangsal ada sebuah desa yang namanya GUNUNG ANYAR.
Begitu juga di tempat pangkal bencana terjadi di selatan Jombang ada nama
desa serupa yaitu DENANYAR yang semula bernama REDIANYAR yang berarti gunung
baru.

 

Perhatikan bahwa nama GUNUNG ANYAR juga dipakai sebagai nama sebuah kawasan
di dekat Surabaya yang sekarang menjadi terkenal dalam hubungan dengan kasus
semburan LUSI sebab ternyata GUNUNG ANYAR  adalah sebuah mud volcano yang
membentuk kelurusan dengan LUSI. 

 

Nah, apakah bencana alam yang memundurkan era keemasan Majapahit yang dalam
kitab Pararaton disebut bencana “Pagunung Anyar” adalah bencana-bencana
terjadinya erupsi jalur gununglumpur dari selatan Jombang-Mojokerto-Bangsal
? Jalur itu membentuk jarak sepanjang sekitar 25 km. Kalau erupsi semua
gununglumpur itu sedahsyat seperti semburan LUSI sekarang, bisa dibayangkan
bagaimana terganggunya kehidupan di Majapahit pada akhir tahun1300-an dan
pada awal 1400-an. Serangan fatal mungkin terjadi karena rusaknya pelabuhan
Canggu di dekat Mojokerto, sehingga Majapahit yang merupakan kerajaan
maritim menjadi terisolir dan perekonomiannya mundur. Zaman itu, Canggu di
Mojokerto masih bisa dilayari dari laut sekitar Surabaya sekarang.

 

Secara geologi, Jalur Jombang-Mojokerto-Bangsal adalah masih di dalam Jalur
Kendeng, sejalur dengan lokasi semburan LUSI, masih di dalam wilayah
bersedimentasi labil dan tertekan (elisional), yang menurut Nash (1932) di
bawahnya dari selatan ke utara ada jajaran antiklin Jombang, antiklin
Nunung-Ngoro, dan antiklin Ngelom-Watudakon yang terus bergerak yang
menyebabkan Delta Brantas tidak stabil. Aktivitas deformasi di bagian timur
Kendeng ini secara detail digambarkan oleh Duyfjes (1936) yang memetakan
lembar peta 109 (Lamongan), 110 (Mojokerto), 115 (Surabaya), dan 116
(Sidoarjo) pada skala 1 : 100.000. Beberapa gambar2-nya dimuat di buku van
Bemmelen (1949) yang juga mengatakan bahwa secara struktural deformasi di
wilayah Kendeng bagian timur ini terjadi melalui gravitational tectogenesis
sebab geosinklin Kendeng timur-Madura Strait masih sedang menurun. Kondisi
elisional semacam ini tentu memudahkan piercement structures seperti mud
volcano eruption. Dari geosinklin menjadi antiklinorium jelas melibatkan
sebuah sistem elisional.

 

Sepeninggal Hayam Wuruk, raja-raja Majapahit kurang cakap memimpin negara,
banyak perang saudara, seperti Paregreg, yang melemahkan negara sampai
akhirnya Majapahit musnah pada tahun 1527 M saat diserang kerajaan Islam
pertama di Jawa : Demak. Suksesi tidak berjalan dengan baik, one-man show
mendominasi pemerintahan selama Gajah Mada dan Hayam Wuruk, tak ada
regenerasi ke penerusnya. Sepeninggal pasangan Gajah Mada-Hayam Wuruk,
negara melemah. Tetapi, catatan2 tak tertulis di buku sejarah, kecuali
Pararaton beserta kondisi geologis-geomorfologis Delta Brantas menunjukkan,
bahwa bencana alam erupsi gununglumpur ala semburan LUSI juga patut
diperhitungkan sebagai penyebab kemunduran Majapahit. 

 

Cerita rakyat atau dongeng Jawa Timur “Timun Mas” (seperti pernah di-posting
Pak Dwi-PetroChina dan kita diskusikan tahun lalu dalam hubungannya dengan
semburan LUSI) berasal dari sekitar zaman Kahuripan di Delta Brantas sekitar
abad ke-11 (James Danandjaja, 1984 : “Folklor Indonesia”). Kemunculan
raksasa yang selalu disertai gempa, garam yang dilempar Timun Mas yang
menjadi lautan, dan terasi yang dilempar Timun Mas yang menjadi lumpur panas
yang akhirnya menenggelamkan sang raksasa, secara samar menggambarkan
kondisi bagaimana kalau sebuah mud volcano ala LUSI meletus. Kita melihatnya
sekarang, lumpur panas dan genangan seperti laut dengan air asin
menengelamkan desa2 Sidoarjo yang dulunya adalah  wilayah Kahuripan. Apakah
dongeng Timun Mas sebenarnya menggambarkan bahwa dulu pun kasus seperti LUSI
pernah terjadi ? Walahualam, tetapi penelusuran buku2 sejarah, geologi, dan
folklore Timun Mas rasanya memungkinkan hal itu. 

 

Apakah bencana LUSI sekarang akan memundurkan Jawa Timur atau bahkan
Indonesia ? Sekitar 500-600 tahun yang lalu mungkin hal yang sama telah
terjadi terhadap Majapahit ! Lima ratus tahun kemudian, mestinya kini kita
tak semudah itu patah diterjang bencana bukan ?

 

Salam,

awang

 


--
No virus found in this incoming message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.446 / Virus Database: 268.18.14/727 - Release Date: 3/19/2007
11:49 AM



-- 
No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.446 / Virus Database: 268.18.14/727 - Release Date: 3/19/2007
11:49 AM
 

Kirim email ke