Pengamatan yang baik, Pak Andang.
Itu juga gairah sekaligus keprihatinan saya. Gairah, karena sebentar-sebentar sebagai anggota tim penilai penawaran wilayah kerja Migas, saya diundang untuk memberikan penilaian atas proposal dan presentasi calon investor yang akan bereksplorasi di suatu wilayah. Prihatin, karena sebagai pekerja Divisi Eksplorasi BPMIGAS, saya sering melihat surat2 dari investor baru mengajukan penundaan pelaksanaan komitmennya, juga saya tak jarang menagih2 ke investor2 tersebut agar segera mengebor sumur yang proposal dan AFE-nya sudah disetujui. Gairah bereksplorasi dalam bidang migas bisa ditunjukkan dengan data bertambahnya blok2 baru dalam pengawasan BPMIGAS. Misalnya : 2002 (2 blok baru), 2003 (15 blok), 2004 (16 blok), 2005 (10 blok), 2006 (5 blok), 2007 (25 blok). Maka sekarang BPMIGAS mengawasi 155 blok, bandingkan dengan 93 blok pada lima tahun lalu (sudah termasuk pengurangan oleh blok2 yang terminasi). Keprihatinan, di sisi yang bertentangan, bisa ditunjukkan dengan data realisasi jumlah sumur eksplorasi dibor dan menurunnya penambahan cadangan migas baru. Coba lihat : 2002 (74 sumur eksplorasi, success ratio 50 %), 2003 (53 sumur, SR 48 %), 2004 (62 sumur, SR 46 %), 2005 (53 sumur, SR 30 %), 2006 (82 sumur, SR 25 %). Penambahan cadangan migas baru : 2000 (2757 MMBOE), 2001 (2236 MMBOE), 2002 (2373 MMBOE), 2003 (1050 MMBOE), 2004 (907 MMBOE), 2005 (250 MMBOE). Catatan tambahan : kebanyakan sumur dibor di wilayah matang dan sudah puluhan tahun jadi wilayah produksi, kebanyakan penemuan bervolume kecil, juga success ratio-nya). Data gairah dan keprihatinan ini memang tidak paralel sebab realisasi pekerjaan di atas sebagian besar bukan dilakukan oleh para investor baru, tetapi oleh para investor lama. Tetapi, saat ini memang tengah terjadi dua sisi yang berlawanan : di satu sisi betapa bergairahnya akuisisi blok eksplorasi, di sisi lain : prihatin pemenuhan realisasi program eksplorasi. Tidak selarasnya antara gairah yang menggebu untuk mendapatkan wilayah eksplorasi dengan pelaksanaan komitmen yang banyak ditunda sebenarnya telah diusahakan diatasi dengan berbagai peraturan baru yang termuat dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM no. 040/2006. Menerapkan butir2 di peraturan tersebut, diharapkan calon investor yang menang tender blok baru adalah benar2 investor yang mampu dalam hal teknis dan pendanaan. Tetapi, ternyata, masih ada juga yang tak sesuai seperti yang diharapkan. Untuk itu, tim lelang dan tim penawaran wilayah kerja sedang meninjau lagi Permen no. 040/2006 tersebut untuk melakukan modifikasi2. Dalam Permen tersebut, seperti yang Pak Andang ceritakan, memang tim memeriksa lebih detail calon investornya. Banyak proposal dan presentasi yang diulang alias "di-herd" sebab dalam pengujian pertama calon investor tak lulus secara teknis. Ada yang mengulang sampai 3x, tetapi ada juga yang sekaligus lulus. Nama-nama calon investor yang asing di telinga atau baru didengar mau tak mau diperiksa lebih ketat, terutama masalah kemampuan finansialnya. Untuk investor2 yang namanya baru ini banyak didukung oleh konsultan2 G & G dari oil companies atau perguruan tinggi yang umumnya saya kenal. Yang mengejutkan saya adalah bahwa pemain2 baru di bidang migas ini betapa beraninya mengajukan daerah yang dalam penilaian saya sangat berisiko. Banyak yang proposal teknisnya hanya berisi regional petroleum geology suatu cekungan. Yang seperti ini pasti akan diulang, sampai ia bisa menunjukkan mengapa ia tertarik ke suatu wilayah yang sudah ditinggalkan orang, apa kini strateginya, dll. Aturan2 dalam Permen tentang penjaminan pun mestinya bisa cukup menyaring bahwa calon investor yang menawar adalah yang cukup mampu secara finansial. Contohnya, ia harus memasukan jaminan pelaksanaan joint study sebesar 500.000 USD. Dalam studi, si calon investor harus meningkatkan mutu data melalui re-processing data seismic dan/atau penambahan data baru melalui survey seismic bila calon investor ngotot pengen mengambil suatu daerah tetapi datanya kurang. Lalu, ketika memasukkan dokumen tender (partisipasi) si calon investor harus memasukkan jaminan penawaran (bid bond) 20 % dari nilai bonus tanda tangan. Kemudian jaminan bonus 100 % dari besar bonus tanda tangan diserahkan 14 hari setelah diumumkan sebagai pemenang. Kemudian si investor juga harus menyerahkan jaminan pelaksanaan (performance bond) sebesar anggaran survey seismic komitmen 3 tahun pertama masa eksplorasi. Kegagalan memenuhi semua komitmen itu (studi, tender, pelaksanaan komitmen), maka jaminan tersebut secara sepihak akan dicairkan. Nah, bisa kita lihat bahwa aturan2 penjaminan tersebut cukup "memberati" calon investor yang "main-main" alias perusahaan minyak-minyakan. Setelah gagal dalam pengujian teknis apalagi setelah tahu banyak penjaminan yang mesti diserahkan, ada juga yang mengurungkan niatnya berinvestasi di bidang migas. Maka, sekarang banyak investor yang dari awal mengajukan daerah sudah membentuk konsorsium beberapa perusahaan agar secara financial cukup mampu. Yang saya prihatin juga adalah masalah penegakan dan pelaksanaan peraturan2. Peraturan2 telah dibuat cukup bagus atau bagus, tetapi melaksanakannya di lapangan kok bisa saja "diakomodasi untuk pelanggarannya". Inilah justru yang membuat peraturan sekedar peraturan, hal ini mengakibatkan "kok masih ada juga ya yang lolos" - yaitu tadi, -"diakomodasi untuk lolos". Harusnya ketegasan lebih ditingkatkan, penalti ya penalti. Bagaimana bisa sebuah company tetap eksis sampai mau tahun ke-10 padahal ia berjanji akan mengebor sumur2 eksplorasinya di tahun ke-2 dan ke-3. Ini khususnya kritik buat BPMIGAS dan Ditjen Migas, tempat saya tergabung di dalamnya - auto-critic. Permen 40/2006 baru tahun lalu, belum kelihatan keberdayaan peraturan2nya dalam realisasi komitmen - itu akan terlihat beberapa tahun ke depan. Saya akan mengamatinya dan akan tetap menjalankan salah satu tugas saya : menagih komitmen (walaupun pengalaman menunjukkani "cape deh nagih2 realisasi komitmen" !) Bergairah sekaligus prihatin. Salam, awang From: Andang Bachtiar [mailto:[EMAIL PROTECTED] Sent: Friday, July 20, 2007 2:17 C++ To: iagi-net@iagi.or.id Subject: [iagi-net-l] anomali gairah eksplorasi di Indonesia Kabar terakhir yang saya dapatkan dari sumber resmi (dalam acara tidak resmi), saat ini ada lebih dari usulan100 joint studi pengajuan blok-blok migas baru di Indonesia, mulai daerah yang di-relinquish dengan satu-dua sumur indikasi minyak, sampai yang tanpa sumur dengan hanya beberapa lintasan seismik; mulai dari daerah-daerah offshore dangkal yang bahkan batas cekungan terpublikasikanpun tidak sampai kesitu, sampai ke offshore dalam - fore-arc area; mulai dari daerah rawan mud-volcano jateng-jatim sampai dengan daerah-daerah relatif aman dari berita hazard; semuanya menunjukkane euphoria yang tidak biasa alias tidak pernah terjadi bin anomali dalam sejarah eksplorasi di Indonesia. Yang perlu kita waspadai dari gejala ini adalah ke-awam-an para regulator kita dibidang migas terhadap bentuk-bentuk komitmen terobosan (menurut istilah pengaju joint-study) dan kelemahan daya enforcement dari kontroler/pelaksana apabila pihak-pihak kumpeni ini tidak menjalankan komitmen-nya. Harga minyak yang sudah 2 tahun terakhir ini melambung diatas 50USD/barrel dan juga likuiditas dana-dana dari luar negeri yang butuh porto-folio-2 bisnis skala besar nampaknya ikut melatarbelakangi euphoria tersebut. Sebagai efek sampingannya banyak pemain-pemain baru dibidang migas dari Indonesia yang ikutan dalam hiruk-pikuk mencari blok-blok baru tersebut. Pemain-pemain baru tersebut, pada umumnya datang dari kalangan ex-bisnis-man yang ikutan meramaikan bisnis Indonesia dimasa pra-krisis, menghilang (berganti bentuk/nama) dimasa krisis (ada juga yang main-main dengan BPPN dan BLBI), dan sekarang kembali lagi berkiprah ikutan meramaikan oil&gas Indonesia. Sebagian besar dari mereka punya attitude bisnis yang short-term, quick-yielding, risk-free venture, certain-captive commodity, dan asset-certificate based financial banking players. Sebagian besar dari mereka itulah yang pertanyaan dasarnya kalau ketemu dengan konsultan adalah: "carikan saya blok yang sudah ada minyaknya, yang bisa di-bank-kan, dapetinnya gampang, saingannya gak banyak". Lha, yo, opo tumon?? Maka, beberapa kawan konsultan moon-lighter maupun retiree yang mereka temui -dalam kebingungannya- seringkali kehabisan akal terus menunjukkan daerah-daerah kosong yang tidak pernah 'proven" tapi mereka jelaskan sebagai "ini ada minyaknya, cuma belum bisa diambil ke permukaan". Pengertian speculative, hipotetical resources, possible, probable, dan proven reserve jadi saling tumpang tindih, loncat sana-sini dan hasil akhirnya ..... ya itu tadi: lebih dari 100 Joint-Study sekarang ada di Ditjen Migas. Ada juga kumpeni2 yang punya visi dan misi benar-benar eksplorasionis, sebagian karena memang ditukangi oleh old-crackers eksplorasionis di dalam gerak langkahnya. Tetapi kalau diurut-urut ke ujung atasnya, seringkali mereka juga mengandalkan pendanaan financial banking (atau trend terbaru-nya: private equity investment group), dimana untuk kasus yang pertama bukannya pengerjaan eksplorasi penemuan cadangan-nya yang menjadi tujuan, tetapi penguasaan atas data dari blok yang diajukan untuk joint-study yang jadi venture-bisnis-nya. Dengan akusisi data di hampir seluruh daerah baru (benar-benar new frontier) di Indonesia, dimana mereka punya hak paling tidak s/d 5 tahun untuk mengelola data-nya (termasuk membuatnya menjadi komoditas bisnis), maka sebenarnyalah mereka mengantongi hak "spec-survey" di wilayah-wilayah yang mereka ajukan tersebut. Bedanya dengan spec-survey biasa, begitu mereka mendapatkan hak "joint-study" di suatu block/wilayah, pihak lain manapun tidak bisa melakukan survey / study apapun yang berkaitan dengan migas di daerah tersebut. Selentingan penyebutan ide-ide daerah baru yang diajukan dalam joint-study bisa-bisa membuat kita terkaget-kaget menyimaknya; dimana selama 20 tahun terakhir ini jarang sekali ada perhatian ditunjukkan oleh new-venture group dari PSC-PSC besar terhadap daerah-daerah tersebut. Pembuang Basin yang dianggap tipis, keberlanjutan Sunda-Asri Basin ke arah utara, Rendahan-rendahan baru di sepanjang Selat Malaka dari utara Bengkalis sampai Aceh, Cekungan Sula, daerah sekitar Buton, Cekungan Melawi-Ketungau, Barito Basin (bagian lebih selatan dari existing producing blocks), Cekungan Gorontalo dan Tomini, Cekungan Sula, fore-arc basin sebelah barat Sumatra dari Aceh s/d Lampung dan tak ketinggalan juga di sepanjang laut dangkal dataran Sahul. Fenomena banyaknya inisiatif pihak swasta yang mengajukan blok dibandingkan dengan jumlah blok-blok yang distudi sendiri oleh pemerintah memperlihatkan bahwa: kapasitas pemerintah kita dalam meng-eksplorasi daerah sendiri sangat-sangat terbatas; baik dari segi financial maupun (yang mengkhawatirkan) dari segi pemahaman dasar tentang potensi secara umumnya. Apabila hal ini menyebabkan posisi tawar pemerintah terhadap usulan joint-study menjadi rendah, maka pihak swasta bisa dengan leluasa memaksakan skenario-skenario akuisisi-nya dalam proses joint-study tersebut. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam menyeleksi keseriusan pihak swasta dalam pengajuan-pengajuan blok tersebut. Persyaratan 500K USD jaminan joint-study, 1.5 - 2M USD aminan pelaksanaan komitmen seismik merupakan terobosan baru dari pihak pemerintah yang patut diacungi jempol. Perkembangan terbaru dari ide seleksi keseriusan tersebut adalah: kemungkinan akan ada persyaratan adanya permanen-employe G&G (terutama Exploration Manager) dalam perusahaan yang dibuktikan dari pembayaran pajak ybs oleh perusahaan. Kalau hal itu benar adanya, maka posisi eksplorasionis akan terlindungi (dan benar-benar mendapatkan manfaat) dari euphoria bangkitnya gairah eksplorasi di Indonesia ini. Kita sudah sama-sama mengamati dalam 3-4 tahun terakhir ini, gebrakan pemerintah dalam mendongkrak aktifitas eksplorasi di pemberian award untuk blok-blok baru ternyata berujung pada minimnya pelaksanaan komitmen PSC-PSC baru tersebut. Hal ini seringkali dibahas baik oleh BPMigas maupun Ditjen Migas, dan diterangkan sebagai akibat dari "kurang professional"nya para pemain baru Indonesia dalam oil&gas e&p bussiness (baca: "tidak mengerti resiko bisnis migas") atau dalam bahasa yang lebih kasar "karena kebanyakan mereka adalah broker, financial player, quick yielder, dsb dsb"; sehingga begitu mendapatkan block hal pertama yang mereka lakukan adalah "mencari partner", "jualan saham", "mencari pinjaman dana", dan hal-hal lain yang tidak mencerminkan proses eksplorasi sejati yang agressif dan / tapi benar. Akhir tahun 2007 ini akan kita tunggu sama-sama, bagaimana enforcement dari pihak pemerintah untuk blok-blok yang tidak melaksanakan komitmennya dari kontrak-kontrak 2003 dan 2004 (sudah 4 dan 3 tahun). Kalau memang tidak ada itikad serius sama sekali, boleh jadi memang pemilik-2 blok "makelaran" tersebut perlu di'cerai'kan dari bloknya, block ditender ulang, atau dicarikan operator baru sementara operator lama disuruh diam dan didilusi. Memakai analogi kasus-kasus blok macet 2003-2006, kita semua patut kuatir dengan nasib blok-blok yang nantinya dihasilkan dari "lebih dari 100 joint-study' saat ini. Kalau pihak pemerintah tidak betul-betul selektif dalam menerima lamaran kumpeni-kumpeni baru tersebut, bisa jadi kasus cacat-cedera-komitmen akan terulang lagi dalam kurun waktu s/d 3 tahun ke depan. Dengan demikian maka anomali gairah eksplorasi yang kita amati sekarang ini akan menjadi tidak lebih dari gairah palsu, gairah semu, yang tidak berujung pada penyatuan 2 gairah cinta (swasta-pemerintah), tidak akan menghasilkan buah-buah cinta meningkatnya cadangan dan produksi oil&gas Indonesia dimasa mendatang. Dalam gairah dan keprihatinan. Andang Bachtiar Exploration Think Tank Indonesia