Rekan-rekan netter yang budiman,

Apa yang terjadi sekitar 30-40 tahun yang lalu di Erstberg, Jayapura, tidak lama lagi akan terjadi lagi di tempat-tempat lainya di Indonesia. Harga beberapa komoditi mineral logam yang sedang naik daun, menjadi "primadona" bagi sebagian besar daerah yang mempunyai prospek tambang untuk menjual "tanah-air" begitu saja. Pertemuan SBY dengan Putin kemarin memungkinkan "BARTER" jutaan ton "aluminium-bauxite" dengan pesawat Shukoi! Kapan kita bisa mengolah bauxite hingga bisa menjadi "panci" atau pesawat "TETUKO dan CN-235 ? Bagaimana industri "MATERIAL" dibagian hilir dinegri kita ? Adakah kabel produksi Indonesia dari tembaga di Freeport Papua dan Newmont Batuhijau ? Adakah di Indonesia komoditi dan industri "STRATEGIS" yang tidak begitu saja dijual dalam bentuk gelondongan "TANAH AIR"! Mestinya industri berbasis mineral bisa memakmurkan rakyat, koq dinegeri kita malah sebaliknya ?

salam
Andri SSM

----- Original Message ----- From: "Awang Harun Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Friday, September 07, 2007 2:04 PM
Subject: [iagi-net-l] 1967 : Ertsberg Ditukar dengan Belasan Parang dan Efeknya Kini


Tahun lalu dan beberapa bulan yang lalu, teman sebangsa kita dari Papua
melakukan unjuk rasa di mana-mana menuntut penutupan Freeport. Tuntutan
tentu tak bisa dipenuhi sebab Pemerintah Indonesia sudah terlanjur
terikat kontrak dengan perusahaan besar asal Amerika ini. Bila ditutup,
Pemerintah bisa diadukan ke Mahkamah Internasional dan bisa dipastikan
Pemerintah kita bakalan kalah. Tahun2 lalu pun kita suka mendengar
penyanderaan orang2 (asing) Freeport oleh suku2 setempat, atau ada
beberapa anggota suku yang ditembak, dsb..dsb..pendeknya bisa dikatakan
penuh konflik. Konfliknya memang ada, tetapi ada juga yang
memanfaatkannya untuk dipolitisasi. Mengapa bisa begitu ? Barangkali
cerita di bawah bisa sedikit menerangkan mengapa generasi muda Papua
marah, cerita diramu dari berbagai publikasi. Walaupun peristiwa ini
terjadi 40 tahun lalu, saya yakin kita masih bisa belajar daripadanya
bagaimana mengatur investasi di Indonesia, di wilayah yang begitu
beragam kemajuan masyarakat dan budayanya, agar kelak tak terjadi
konflik.



Diceritakan kembali berdasarkan sebuah artikel dari Kompas 11 Juni 1969.
"Eksplorasi Tembaga di Ertsberg, Irian Jaya" (oleh Adjat Sudradjat)



Tahun 1967, 40 tahun lalu, Tim Freeport sedang berusaha mengebor bagian
dari Gunung Bijih untuk mendapatkan sampel-sampel bijih guna penelitian
kadar mineralisasinya. Konon, para pembor itu dipilih dari yang pernah
berpengalaman di Kutub Utara dan Alaska sebab mereka mesti melawan suhu
sedingin 0-4 Celsius, kabut, dan hujan. Mereka mendirikan kemah di
pelataran Cartensz Weide. Mereka diterbangkan ke situ dari Timika
menggunakan helikopter selama 40 menit.



Sementara itu, tiga orang kepala suku berhiaskan bulu burung, kalung
merjan, dan tusuk hidung merayap menuju Ertsberg tiga hari tiga malam
bersama bala tentaranya tanpa selembar benangpun melekat di badannya,
tak peduli hawa sedingin es pun. Akhirnya, mereka sampai di perkemahan
para pembor tersebut. Suasana tidak menyenangkan terjadi sebab tidak ada
saling pengertian di antara tim Freeport dan suku setempat, maklum tidak
ada yang saling mengerti bahasa masing2. Orang2 Indonesia di tim
Freeport pun tak mengerti bahasa mereka sebab sebagian besar datang dari
luar Papua.



Keesokan harinya, saat para pekerja bangun tidur, mereka menemukan
perkemahan sudah dipagari tonggak seperti salib digantungi berbagai
bunga dan daun. Di tengah kecemasan itu, untung terpikir untuk memberi
suku-suku Papua itu makanan. Makanan diterima dan suku2 itu pulang.
Keesokan harinya datang lagi, tetapi kali ini untuk membantu tim
mengangkati batu-batu dari Ertsberg. Lalu mereka pulang.



Kedatangan yang berikutnya, suku2 ini membawa seorang anak bernama Karel
didikan misionaris. Anak ini bisa berbahasa Indonesia walaupun
patah-patah. Akhirnya, terungkaplah bahwa keinginan suku2 ini yaitu
mereka minta ganti rugi atas gunung mereka yang telah digali. Tentu saja
suku2 ini tidak tahu bahwa di Jakarta kontrak pertambangan antara
Pemerintah Indonesia dan Freeport telah ditandatangani setahun
sebelumnya, 1966.



Minta ganti rugi ? Dengan serentak, sang superintendent Freeport tanpa
segan-segan memberikan berbilah-bilah parang sebagai ganti Ertsberg.
Ternyata, belasan parang itu diterima dengan sangat sukacita oleh para
anggota suku. Seorang kepala suku lalu menyerahkan sebilah pisau batu
kepada si "pembeli gunung" sebagai hadiah tanda sukacita. Lalu, si
kepala suku menari-nari di depan tim Freeport sambil mengeluarkan bunyi
seperti ribuan burung. Tangannya mencabut bulu cenderawasih di kepalanya
dan mengacungkannya ke depan. Upacara ini diikuti dengan khidmat oleh
seluruh anggota suku. Ketika ditanyakan kepada Karel apa arti upacara
itu, dijawabnya bahwa itu adalah upacara agar Sang Hyang merelakan
gunungnya digali dan sekaligus memberikan berkat kepada para pembeli
gunung itu. Tak lama kemudian para suku pulang.



Dan, kita tahu Ertsberg yang menjulang pun digali habis tidak sampai 20
tahun (Adjat Sudradjat, 1996).



-------------------------------------



Andre Vltchek, Rossie Indira mewawancarai Pramoedya Ananta Toer (2004)



"Selama masa Soekarno, modal asing sulit masuk ke Indonesia. Setelah
kudeta di tahun 1965, Soeharto membuka pintu lebar-lebar untuk modal
asing....termasuk investasi Freeport di tambang emas di Papua....Pada
awalnya Freeport mengatakan bahwa mereka akan melakukan eksplorasi
tambang tembaga, ternyata kemudian seorang dokter dari Bandung yang
bekerja di sana menemukan bahwa yang mereka tambang adalah emas. Dia
membuat laporan mengenai hal ini agar pemerintah bisa menyelidikinya,
tapi tak lama kemudian dia dipecat, rumahnya diobrak-abrik orang dan
seluruh dokumennya dicuri. Dokter ini pada akhirnya harus lari ke luar
negeri...Irian sekarang sudah hancur. Perusahaan tambang emas ini saja
sudah menghancurkan tiga bukit di sana."  (demikian jawaban Pram atas
pertanyaan Andre Vltchek dan Rossie Indira dalam bukunya "Saya Terbakar
Amarah Sendirian").



-------------------------------



Saya trenyuh membaca artikel di Kompas 38 tahun yang lalu itu yang
ditulis oleh Pak Adjat Sudradjat (mantan Dirjen Geologi dan Sumberdaya
Mineral, gurubesar Geologi Unpad). Pak Adjat kala itu adalah pegawai
Direktorat Geologi dan merupakan  salah satu anggota Indonesia dalam tim
Freeport.  Pak Adjat menulis apa yang disaksikannya.



Selama pemerintahan ORBA memang Freeport termasuk pembayar pajak paling
besar di Indonesia, tetapi adakah yang sampai ke generasi keturunan para
suku yang dulu pemilik gunung2 di Jayawijaya ? Kucuran hasil pajak ini
memang urusan pemerintah ORBA. Generasi penerus suku ini telah tahu
bahwa gunungnya itu bernilai jutaan dolar atau lebih, tetapi hanya
ditukar dengan belasan parang ! Bisa dipahami mengapa mereka marah.



Semoga tidak pernah terjadi lagi hal seperti itu. Hak-hak suku harus
dihormati.



Kini sebaliknya terjadi, para suku memberikan dukungan eksplorasi migas
di wilayahnya di beberapa blok di tanah Papua; apa daya wilayah2 itu
masuk ke hutan yang secara nasional dan internasional harus dilindungi,
dan Pemerintah pusat tak memberikan izin eksplorasi di wilayah2 seperti
itu. Maka, kini investor2 asing itu terpaksa mencari wilayah2 pengganti.



salam,

awang



































----------------------------------------------------------------------------
Hot News!!!
EXTENDED ABSTRACT OR FULL PAPER SUBMISSION:
228 papers have been accepted to be presented;
send the extended-abstract or full paper
by 16 August 2007 to [EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007
The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and 
Exhibition,
Bali Convention Center, 13-16 November 2007
----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke